Kamis, 29 Desember 2011

Rekonfigurasi Silaturrahim

Prof Dr H Fauzul Iman, MA 


Kata itu muncul setelah perintah bertakwa kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dari seorang diri, lalu menciptakan pasangannya, kemudian menyebarkan jenis laki-laki dan perempuan. Selain itu, “al-arham” juga muncul setelah perintah bertakwa pada Allah dari situasi sosial kehidupan yang saling meminta (menuntut) (Q.S.4:1). Mencermati ayat ini, tampak bahwa perintah silaturrahim sangat melekat dengan tiga kesadaran manusia, yaitu kesadaran sejarah biologis, kesadaran pluralisme, dan kesadaran interaksi sosial. Pertama, kesadaran sejarah biologis. Kesadaran ini mendorong manusia untuk menyadari bahwa dirinya berasal dari seorang diri (Adam) dan dibuat dari tanah. Kesadaran ini juga membuat yang bersangkutan mengakui kelemahannya sebagai manusia yang tidak pernah luput dari kekurangan karena ia berasal dari bahan rendah (tanah). 
Adam pernah khilaf dari perintah Tuhan dan dijatuhi hukuman turun ke bumi. Artinya, manusia pun mempunyai kelemahan seperti Adam; mempunyai potensi untuk jatuh. Dengan adanya kesadaran teologis ini, manusia dapat menginsafi dirinya untuk tidak berlaku congkak (sombong) dengan sesamanya. Sebaliknya, ia akan berupaya menjaring persahabatan dengan siapa pun tanpa memandang status, golongan, dan latar belakang kehidupan. Pada kondisi ini, seharusnya manusia membangun silaturrahim dengan penuh ketulusan tanpa didongkrak oleh kepentingan temporer. Dengan kata lain, silaturrahim yang dibangun bukan berdasarkan hormat atas pristise atasan atau karena jabatan seseorang sehingga ia menjadi inten dikunjungi bawahannya. Tetapi, sejatinya, silaturrahim berjalan konstan karena dibangun atas dasar prinsip martabat manusia yang sama-sama diciptakan Tuhan. 
Kedua, kesadaran pluralism. Kesadaran ini adalah suatu yang sangat entitas di alam hidup kemanusiaan. Al-Quran jelas mengisyaratkan akan terjadi kegagalan dalam kehidupan umat tanpa pengakuan terhadap keragaman. Amat mustahil jalan kehidupan ditempuh dengan cara monoton, rijid, dan ekslusif. Semua susunan dan dinamika hidup sejak umat manusia, hewan, hingga tumbuh-tumbuhan berkembang dan berjalan dalam keragaman. Oleh karena itu, jelas keragaman adalah prasyarat dan hikmat menuju keseimbangan, kematangan, dan kesuksesan. Segenap nikmat hidup yang telah kita gapai dari berbagai aspeknya telah membutuhkan dan melibatkan semua komponen yang beraneka ragam. Sejak membangun kehidupan rohani, pemikiran, fisik hingga berbentuk peradaban besar, semua unsur dan komponen yang berbeda dengan sendirinya, telah terlibat dan mengambil peran ke dalamnya. Berdasarkan realitas ini, ajaran agama memberikan reward kepada umat manusia yang saling tolong menolong, saling menghormati, dan menjalin kerjasama antara sesamanya. Sebaliknya, agama memberikan kecaman pada umat manusia yang berbuat kekerasan dan anti keragaman. 
Terakhir, interaksi sosial. Hal ini merupakan suatu wujud kegiatan umat manusia sebagai konsekuensi dari adanya keragaman yang satu sama lain saling membutuhkan. Prinsip ini membangun keyakinan bahwa siapa pun manusianya tidak akan mencapai tujuan hidup tanpa mengaitkan dirinya dengan eksistensi lain, seberapa pun derajat atau nilai dari eksistensi itu. Interaksi meniscayakan kesadaran semua pihak untuk tidak saling mengecilkan dan melemahkan. Sebaliknya, masing-masing pihak sesuai dengan kondisi dan fungsinya bersikap proporsional dan wajar. 
Silaturrahim semestinya berjalan dalam bingkai tiga kesadaran ini sehingga saatnya kita menata ulang kembali konfigurasi silaturrahim yang selama ini berjalan. Upaya ini perlu dibangun dalam rangka meningkatkan kepekaan semua umat dalam menanggulangi gejolak sosial yang semakin menuntut di antara mereka. Selama ini kegiatan silaturahim bergerak dalam ruang yang disekat kepentingan formalitas. Nuansanya sekedar memperlihatkan bahwa dirinya terbuka. Selain banyak teman, ia juga bersedia dikunjungi semua orang. Contohnya, model silaturahim yang lagi ngetren di abad modern ini adalah silaturrahim dalam bentuk kegiatan open hause yang digalang oleh para pejabat. Di samping itu, banyak bentuk silaturrahim yang berjalan berdasarkan struktur kelembagaan, sekte, dan kelompok. Misalnya, silaturrahim seremonial yang dimeriahkan oleh instansi, organisasi sosial, organisasi keluarga dan atau organisasi yang bersifat kedaerahan. 
Sepintas gaya silaturrahim model ini berjalan cair dengan segala riuh gemuruhnya manusia dari berbagai strata berdatangan dan berkumpul. Senyum kemegahan, kehangatan, peluk cium, dan berjabat tangan pun tampak sumingrah bahagia. Namun, perhelatan bahagia itu sekelebat cepat menghilang. Kini suasananya mengental kembali dibelakang layar silaturrahim dalam bentuk perkumpulan yang sangat adhoc, elitis, klenik, keronik dan bahkan politis. Suasana rohaniah yang dahulu mencair dalam bentuk puasa, bayar zakat, peluk cium dengan sesamanya kini berubah bentuknya menjadi berwajah tebal dan individual, tak tahu lagi makna pergaulan universal. 
Silaturrahim yang sejatinya mampu merajut umat dalam suatu kebersamaan, namun dari sisi sosial kehidupan tampaknya masih terjadi perbedaan taraf hidup yang mencolok. Adalah logis kalau selama ini di berbagai tempat selalu muncul gejolak sosial, konflik dan perbuatan keriminal yang sulit dibendung. Belum lagi kejahatan teror dan musibah lain yang kesemuanya hampir terjadi dilatarbelakangi ketidakdewasan pemimpin dan komponen elit menyikapi rakyat kecil sehingga muncul ketidakpuasan rakyat. Oleh karena itu kegiatan silaturrahim sebagai bagian dari perintah agama yang selama ini kehadirannya dibutuhkan untuk menyambung tali ikatan (komunikasi) batin antara sesama umat manusia, perlu dikonfigurasikan kembali kepada suatu wujud perbuatan yang dapat dirasakan kongkrit oleh rakyat. 
Wujud perbutan itu, paling tidak, sejalan dengan tiga kesadaran yang diisyarahkan dalam ayat al-Quran di atas, yaitu mengubah silaturrahim dalam konfigurasi kegiatan sosial interaktif (kesadaran biologis dan pluralism) yang dapat memecahkan secara langsung problem yang dirasakan masyarakat aneka bangsa. Wujudnya tetap melanggengkan kegiatan seremonial seperi tradisi open hause, halal bihalal, dan lain lain tetapi di dalamnya ditambah dengan komitmen bersama mengatasi penderitaan yang dihadapi bangsa. Seperti tekad bersama menanggulangi kejahatan korupsi dan kriminal lainnya, mengatasi kemiskinan, membantu penderitaan buruh, dan membantu masalah pendidikan dan kesehatan bagi yang tidak mampu. 

Guru Besar IAIN SMH Banten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar