Kamis, 29 Desember 2011

IDEOLOGI POPULARISME

 Oleh : Fauzul Iman
            Ideologi Popularisme dihadirkan oleh misi kapitalisme dalam menyebarkan industri budaya di seluruh dunia. Misi itu dilihat dari perkembangannya ternyata berhasil mencengangkan yang  berefek  melahirkan propoganda hidup konsumerisme. Indonesia sebagai negara religius tampaknya muali terkena  misi ideologi tersebut dengan diintervensinya agama oleh barang barang konsumerisme dan komoditas. Lihat saja bagaimana tayangan televisi Ramadhan yang melibatkan tokoh agama baik dalam acara ceramah agama, sinetron maupun lawakan. Semuanya tidak dapat dipisahkan dar iklan komoditas yang bernuansa konsumerisme. Para tokoh agama itu dengan tenang menyiarkan pesan-pesan ramadhan didampingi artis dan para pelawak yang sengaja menyeretnya dalam gelak tawa yang sesekali terasa tidak wajar. Padahal tanpa disadari para tokoh agama itu sebenarnya sedang diekplotasi oleh iklan komoditas dan konsumerisme.
            Di sinilah agama di bulan ramadhan telah didisain menjadi instrumen memasarkan komoditas konsumeris lewat para tokoh agamanya sehingga mereka pun menjadi  populer seiring dengan populernya iklan konsumeris. Lalu tanpa disadari mereka sebenarnya telah terjebak ke dalam ideologi populrasisme. Dalam industri budaya, ideologi popularisme dikembangkan berdasarkan budaya yang berselera rendah (soft culture). Artinya adalah budaya yang mengutamakan penampilan ketimbang esensi, tanda (symbol) ketimbang makna. Tegasnya budaya rendah diciptakan hanya untuk merayakan citra (image clibration) berdasarkan mekanisme hasratnya yang tak terbendung (disire mechanism). Dalam bahasa agama mekanisme hasrat tak terbendung itu disebut  oleh Ibnu Taymiyah  dalam kitabnya Minhaju As-sunnah An-nabawiyah dengan daya nafsu ofensif (Quwwatu asy-syahwat/nafsu al-amarah ). Ide dari culture soft itu yang penting adalah mencapai tingkat penampilan elite hidup yang segalanya serba ada dan menjadi populer tanpa mengutamakan makna esensinya dalam kehidupan.
            Pertanyaannya apakah para tokoh agama tersebut telah benar-benar menjadikan bulan Ramadhan sebagai ajang perhelatan ideologi popularisme?. Jawabannya tergantung pada  tingkat komitmen mereka dalam menegakkan amaliyah ramadhan sebagai bulan ihtisab (bulan mawas diri).    
Apabila komitmen itu benar-benar telah ditegakkan, maka para tokoh agama yang ditampilkan dalam sinetron atau lawakan sejatinya mereka tidak membiarkan artis genit atau cantik mempertontonkan setengah pakaiannya dalam sinetron/lawakan. Ironisnya justru iklan-iklan yang mengiringi sinetron/lawakan yang memerankan tokoh agma itu kerap  tidak sejalan dengan norma agama.  Peristiwa ini menggambarkan dengan jelas adanya misi ideologi popularisme secara pelan-pelan memasuki ranah aktivitas ramadhan dengan cara mengekplotasinya lewat komoditas tontonan film, komedi dan musik.
            Oleh karena itu, untuk menghindari ideologi populrasime  jadikanlah  ibadah puasa ini sebagai ibadah pengukuhan konsistensi. Upaya ini sangat tepat dengan hadis Nabi yang menyatakan “bahwa ibadah puasa adalah milik Allah Swt. dan Allahlah yang akan membalasnya”. Maksud dari hadis ini bahwa tingkat konsistensi dan ketulusan seseorang dalam menjalankan ibdah puasa hanya Allah yang mengetahuinya. Manusia tidak memiliki otoritas untuk menilai apakah ibadah puasa seseorang telah dijalankan dengan tulus atau tidak. Berdasarkan hadis ini jelaslah bahwa ibadah puasa tidak dapat dinilai oleh orang lain karena hanya popularitas amalannya atau gaya hidup konsumerismenya melainkan konsistensinya dalam menegakkan amalan ibadah puasa.
Dalam kontek ini, maka ibadah puasa yang berkualitas bukanlah ibadah puasa dengan menonjolkan amala-amalan Ramadhan sebatas ingin dikenal halayak. Penonjolan amalan ibadah puasa seperti caramah dan lain-lain ke ranah publik (tayangan televisi) lewat iklan komoditas film dan komedi komersial yang tidak mengindahkan moral, jelas merupakan cara-cara ideologi popularisme yang hanya ingin merayakan citra (image clabration) ketimbang makna, perayaan hasrat ketimbang mawas diri (desire clabration) kulit luar ketimbang isi, penampilan ketimbang esensi,  populratitas ketimbang intelektualitas dan pendangkalan pendidikan agama ketimbang  pencerahan agama (religion enlightenment).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar