Kamis, 29 Desember 2011

Ramadhan Emansipatoris

Oleh :  Prof Dr H Fauzul Iman, MA 





Bulan Ramadhan sebagai bulan suci, kehadirannya tidak dapat disangsikan telah mendapat sambutan yang begitu semarak oleh kaum muslimin baik dalam level dunia maupun level nasional.
Khusus di negeri kita hampir semua komunitas muslim menyambutnya dengan tingkat mobilitas kegiatan keagaman yang amat berbeda dengan bulan bulan biasa. Utamanya menyangkut antusiasisme aktifitas keagamaan yang dilakukan, tampak kepermukaan menonjol. Tidak saja dalam kegiatan-kegiatan yang sekalanya terbatas pada space sosial tertentu tetapi juga kerap pada kegiatan keagamaan yang melampaui batas lintas kultur. 
Dalam space tertentu sebut saja, misalnya, yang paling normatif adalah salat jamaah tarawih bersama, kontemplasi ibadah melalui tahajud, i’itikaf, kultum, buka bersama, bazar amal, dan diskusi-diskusi keagamaan. Sementara yang sifatnya paling kongkrit adalah gerakan pengumpulan zakat, infak dan sedekah baik oleh lembaga resmi maupun oleh lembaga soaial yang didirikan di masjid-masjid. Bahkan dalam bulan Ramadhan ini, tidak jarang diadakan pula kegiatan yang bersifat dialog keagamaan dengan melibatkan pemeluk agama non muslim untuk diajak bersama memecahkan problem sosial keagamaan. 
Pada batas yang paling formal antusiasisme keagamaan di atas, amat baik setidaknya umat Islam secara simbolik telah meletakkan keagungan Ramadhan sebagai syiar. Artinya umat Islam mampu mendeklarasikan Ramadhan di tengah-tengah umat dengan eneka kegiatan dan dengan pesertanya dalam jumlah massif. Tegasnya Ramadhan berhasil digerakkan umat menjadi media kolektif (bersama) dalam memperoleh inspirasi (pelajaran) agama, menggagas dan memecahkan persoalan pendidikan dan pembiasaan-pembiasaan disiplin. Termasuk dalam hal penggalangan solidaritas sosial islamiyah. Firman Allah SWT, “Demikianlah (perintah Allah) dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka itu sesungguhnya timbul dari ketakwaan hati ( Q.S. 22 : 32). 
Dari segi kemampuannya menggalang kegiatan umat secara massif, dalam diskursus sosiologi agama, Ramadhan dapat menjadi penggerak emansipatoris di tengah-tengah monumentalitas umat. Emansipatoris, sebagaimana menurut James Hastings, dalam bukunya Encyclopedia of Religion and Ethic artinya suatu pembebasan dari hidup pembekuan intelektual (kebodohan), kemiskinan, pemihakan individu, kekuasaan, dan golongan. Dengan kata lain emansipatoris adalah gerakan bersama membebaskan kezaliman (penindasan), sifat individualism, dan aroganisme dalam upaya mewujudkan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. 
Kita cermati bagaima Ramadhan menjadi lokomatif kegiatan rohaniah. Dengan tarawih bersama, secara psilologis umat didorong dapat melakukan temu sosial dan silaturahmi dalam batas dan lingkup kohesifitas masyarakat. Dengan kultum, umat sekali waktu diketuk dan disentuh batinnya dengan pesan pesan agama mengenai disiplin hidup, tentang persatuan, perdamaian, pencerahan dan perubahan hidup. Dengan diskusi umat diajak berfikir memperoleh wawasan rasional dan kreatif untuk memecahkan persoalan aktual kehidupan. Dengan menghimpun zakat, infak dan sedekah umat didorong bersatu padu menggalakkan kepekaan sosial dalam membantu kaum lemah (duafa) tanpa melihat latar belakang sosial dan kebudayaan. Pokoknya dengan mobilitas Ramadhan, momentum kegiatan keagamaannya sangat praksis dalam menggerakkan dan menggiring umat di atas kesatuan rohaniah, persamaan derajat kedudukan, dan hak hak bersama membebaskan penindasan (pembodohan dan pemiskinan). 
Inilah pentingnya kita lestarikan Ramadhan dalam nuansa emansipatoris. Pertanyaanya seberapa jauh nuansa ini dapat berjalan konsisten di tengah-tengah kehidupan umat. Amat disayangkan pembinaan Ramadhan yang begitu survive di masanya kini mati dan membeku kembali dalam sisa dan puing-puing realitas kehidupan umat terutama setelah masa Ramadhan berhenti. Nuansa pembiasaan menggalang hidup bersama yang dahulu sangat kolektif egaliter kini menyempit bersifat ad hoc dan rontok setelah umat memburu kepentingan sesaat. Hidup saling menghujat, mengadu domba dan mencela masih tetap bercokol dalam lembaga-lembaga yang seharusnya menjaga kedamaian dan saling tolong-menolong. Seperti kerap terjadi di partai politik, kantor maupun organisaasi sosial keagamaan. Teror bom masih saja terjadi oleh kelompok tertentu. Hidup saling tolong-menolong dan peduli umat tidak tumbuh karena anak yatim dibiarkan tidak sekolah dan tidak sedikit kaum elit mengusir para pengemis. Bahkan disiplin menghargai waktu di kantor-kantor tidak dilaksanakan karena para pegawai sering masuk kantor terlambat. Hidup selingkuh menyakiti suami dan istri masih terjadi di mana mana. Celakanya mereka masih memandang semuanya sebagai hal yang biasa dan lumrah terjadi dalam suatu kehidupan. 
Ironisnya nuansa hidup yang tidak emansipatoris ini justru masih terjadi pula dalam hal hal yang sangat sepele, misalnya umat masih meributkan perbedaan ritual yang bersifat furui’yyah. 
Suasana keberagaman semacam ini jelas merusak citra ibadah puasa dan bertentangan dengan tujuan, visi dan misi ibadah Ramadhan yang sangat emansipatoris. Untuk menghindari kondisi yang tidak kondusif bagi kehidupan keberagamaan masa depan, maka upaya menghidupkan semangat Ramadhan emansipatoris secara berkesinambungan merupakan suatu keniscayaan. 

Prof Dr H Fauzul Iman, MA 

Penulis adalah Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN SMH Banten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar