Minggu, 03 Juni 2012

ETIKA JEPANG YANG ISLAMI



                                                                                                         Oleh : Prof. Dr. H. Fauzul Iman, M. A
                
 Mengikiti Studi Strategis Luar Negeri  ke Jepang (SSDN)yang dibidani oleh Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) beberpa minggu yang lalu banyak menorehkan catatan pengalaman yang sangat berharga. Penulis sebagai salah satu peserta dalam kegiatan tersebut ditugaskan untuk mencermati kehidupan masyarakat jepang sehari hari dari sudut pandang etika.Tugas ini sangat berat karena penulis harus menuangkannya dalam sebuah naskah ilmiah kurang lebih sebanyak empat puluh halaman dengan  metode dan analisa penulisan yang teruji. Sementara waktu yang disediakan lemhannas sangat terbatas dan menuntut untuk segera selesai tepat pada waktunya. Dengan alasan ini, tentu saja penulis tidak bisa membeberkan seluruh tulisan dimaksud dengan pembahsan yang lengkap apalagi  di sebuah surat habar yang notabenenya tersedia dengan setandar halaman terbatas.
                Penulis hanya ingin mengulas secara diskriptif bagaimana keunikan Negara Jepang  menanamkan etika kedisiplinan  di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat  dan bernegara dengan baik dan benar. Padahal selama ini masyarakat Jepang tidak pernah mengenal agama, tidak dijumpai di sana symbol-symbol atau sarana yang menunjukkan adanya kegiatan ibadah keagamaan yang disediakan untuk mereka.. Dalam sejarahnya jepang memang dikenal menganut agama Shinto, yaitu ajaran yang meyakini matahari sebagai penguasa alam yang wajib disembah karena mampu memberikan hukuman dan kesalamatan. Namun ajaran Shinto ini dipandang dapat membahayakan rakyat Jepang karena ajaranya sangat ambisi mendorong peperangan dengan Negara-negara lain yang mengantarkan keterlibatan Jepang  pada perang dunia ke II. Perang tersebut tidak hanya menghancurkan tatanan segala aspek kehidupan bekas Negara jajahan, tetapi juga sangat merugikan Negara Jepang sendiri dari banyaknya dendam dan kecaman bekas Negara jajahannya termasuk oleh dunia pada umumnya.
                Belajar dari pengalaman ini, maka Jepang merubah strategi kebudayaannya , terutama setelah era restorasi Meiji (1868-1912) dan Era Taisho (1912-1926) yang melahirkan era modernisasi mulai tahun 1854. Strategi itu berbentuk penghapusan ajaran agama Shinto yang beretoskan kekerasan hingga dari akarnya sampai  meniadakan kurikulum agama dalam sistem pendidikan Jepang. Seiring dengan itu di berbgai sekolah dan perguruan tingi yang ada di jepang diberlakukan pengajaran etika yang meliputi etika disiplin bekerja, berprilaku  jujur, menghargai dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan, menjaga lingkungan dan memelihara kebersihan. Pendidikan etika ini ternyata efektif mewarnai keseharian kehidupan bangsa Jepang  tidak saja dalam level kaum elite di pemerintahan tapi juga tumbuh di tengah-tengah kehidupan masyarakat pada umumnya.
                Dalam level pemerintahan, misalnya,  pengamalan etika ditandai dengan integritas tinggi para pemimpin atau tokoh pemerintah dalam menjalankan amanah pemerintahan. Budaya mengundurkan  diri dari seorang pemimpin Jepang yang dipandang sudah tidak mampu menjalankan amanah,  adalah  bukti adanya rasa tanggungjawab dan kepedulian seorang pemimpin  dalam mengutamakan integritas dari pada ngotot mempertahankan jabatannya yang sudah tidak efektif.  Rendahnya prilaku korupsi   para pejabat Jepang ditunjukkan  dalam indek korupsi internasional dengan nomr urut ke 164 menunjukkan tingginya integritas tersebut. Dibanding dengan  prilaku korupsi Negara Indonesia yang jauh lebih tinggi yaitu  mencapai angka urut ke 36. Disusul dengan negara-negara lain yang tingkat korupsinya paling rendah yaitu negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Jerman dan lain-lain.
                Pengamalan etika yang paling menarik justru terjadi pada masyarakat jepang yang berlevel status biasa. Suatu ketika penulis belanja di warung kecil yang secara kebetulan kendaraan yang kami tumpangi berhenti di depan warung tersebut. Saya berbelanja di warung itu dengan uang senilai sepeluh ribu yen. Dengan tidak sadar penulis meninggalkan warung tanpa mengambil uang sisa karena harus mengejar kegiatan lain. Setelah empat jam lebih saya kembali bersama rombongan ke kendaraan, tiba-tiba  sang pedagang tadi mencari saya di kendaraan untuk menyerahkan uang sisa. Saya pun terkaget-kaget pada pedagang tersebut dan berucap syukur alhmdulillah. Namun hati saya berkata, “betapa jujurnya orang ini” . Supir yang kami tumpangi ternyata juga memiliki etika yang baik. Ia seperti para supir lainnya mengemudi dengan cara tertib dan mengindahkan tata kesopanan berlalu lintas tanpa harus kebut-kebutan dan membunyikan kelakson dengan keras. Ia juga tidak  membuang sampah di sembarang tempat tetapi membuangnya di kantong sampah  yang telah disediakan. Rasa simpati penulis tumbuh untuk memberikan uang tambahan pada supir semata-mata karena ia seorang supir yang jujur, kerja jeras dan disiplin. Namun sang supir ternyata berkeras hati untuk menolak  karena menurut pengakuannya  sudah diberi upah oleh perusahaan traveling. 
                    Pengalaman lain yang  tidak kalah menarik adalah menyaksikan prilaku para polisi Jepang yang menjalankan tugasnya dengan tenang, jujur dan tanggungjawab. Penulis menyaksikan sendiri bagaimana para polisi menangani kaum demonstran dengan tenang dan penuh keramahan. Para demonstran pun menyikapi polisi dengan tindakan yang elegan dan penuh kearifan dalam menyampaikan aspirasinya  di kantor Parlemen Jepang. Cerita polisi  jujur  dijumpai pula pada saat teman kami kehilngan tas yang berisi uang dan surat berharga. Teman kami melaporkan kejadian itu kepada polisi Jepang dengan menjelaskan cirri-ciri sepesifik barang yang hilang tersebut. Sungguh luar biasa dalam waktu yang cepat polisi bertindak hingga hanya dalam batas dua hari barang yang hilang tersebut diantarkan oleh polisi ke hotel tempat kami menginap dengan utuh dan lengkap tanpa satu pun yang raib. Sebaliknya justru kami sangat kecewa terhadap staf KBRI di Jepang yang tidak bekerja disiplin dalam memenuhi janjinya untuk membawakan buku agenda penulis yang tertinggal saat berkunjung  di KBRI.  
                Gambaran di atas mengisyaratkan bahwa meskipun masayarakat Jepang tidak menganut suatu agama, namun mereka telah mengamalkan subtansi ajaran agama dengan baik dan benar. Masyarakat jepang tidak butuh symbol yang dibungkus dengan  ornamen-ornamen kemunafikan  dalam mengamalkan ajaran. Mereka lebih tertarik mengaplikasikannya ke dalam level bukti dan  tatanan yang kongkrit.    Tegasnya ajaran agama bagi masyarakat jepang bukanlah kata pemukau dan propaganda yang menghipnotis umat manusia tanpa realitas perbaikan (etika) individu, penyelesaian sosial dan penataan lingkungan. Jepang menjadi dinamis dan maju SDM-nya bukan dengan agama yang mengawang-awang  melainkan dengan pendidikan etika  memberesi manusia dari kelumpuhan  moral  dan menata lingkungan dari kekumuhan  politik, social, ekonomi dan budaya.
                Sungguh ironis apa yang terjadi di Indonesia sebagai negara yang sebagian besar penganut agama, namun pelanggaran moral dan hukum masih saja terjadi baik di kalangan elite sendiri maupun di kalangan masyarakat biasa. Sejak dari budaya pungli, suap, manipulasi, many politik, hingga KKN merupakan budaya yang meremehkan  etika secara kasat mata, rupaya sukar dipadamkan dari bumi Indonesia. Timbul pertanyaan apakah agama sudah tidak lagi relevan di negara kita?. Hemat penulis agama tetap berperan sebagai lokomotif rohaniah yang menyadarkan mental manusia melakukan perbuatan terpuji dan berkualitas. Namun, tentu terpulang pada manusia itu sendiri dalam memperlakukan agama. Bila agama hanya sebagai penyedap dan kosmetik pengelabu belaka tentu agama menjadi tidak efektif sebagai sumber inspirasi dan etika kehidupan.
                Oleh karena itu, bangsa Indonesia perlu belajar dari komitmen dan keteguhan jepang menerapkan pendidikan etika dalam kehidupan praktis. Meski tulisan ini hasil rekaman selintas penulis selama perjalanan di Jepang, namun secara realitas etika masyarakat (bangsa) Jepang memang terbukti  dan teraplikasikan dalam kehidupan nyata. Bagi masyarakat Banten yang  terkenal religius juga harus belajar dari kenyataan Jepang. Dalam hal ini, Masyarakat Banten tidak boleh bangga dengan mengklaim sebagai kota santri yang paling religius, sementara dari sudut pengamalan  dan kekuatan SDM-nya  masih limbung karena tercerabut dari akar pendidikan  etika  yang benar.    

PEJABAT PENJILAT


Oleh : Prof Fauzul Iman


Suatu hari Abu Nawas diundang sultan untuk mengikuti pertemuan di istana yang para menterinya suka bermaksiat dan cenderung korup. Sebelum pertemuan laksanakan, Abu Nawas dipanggil menghadap sultan. “Wahai Abu Nawas maukah kau aku beri tugas?” tanya Sultan. Abu Nawas menyatakan kesediaannya. “Apa hukumannya kalau kau gagal dalam melaksanakan tugas?” desak Sultan.  “Aku siap dihukum 10 kali cambukan,” ujar Abu Nawas.
Sultan pun memerintahkan para dayangnya untuk mempersiapkan pakaian ala kerajaan kepada Abu Nawas. Pertemuan dilakukan esok harinya. Abu Nawas muncul di tengah pertemuan dengan berpakaian ala kerajaan, kecuali pecinya yang kumal dan lusuh. “Wahai Abu Nawas, mengapa di acara terhormat seperti ini kau pakai peci kumal?” tegur Sultan. “Asal tahu saja Sultan, peci yang saya pakai ini wasiat dari ayahku. Bagi siapa yang tidak pernah maksiat, ia akan mampu membuka peci ini dan merasakan harumnya bau surga,” ujarnya. Raja pun memerintahkan menteri di sebelah kanannya untuk membuka peci Abu Nawas.
Menteri itu segera memenuhi perintah Sultan dan membukanya dengan perasaan gemetar. Tak ada bau surga di dalam peci itu kecuali bau busuk yang menyengat. Tapi, menteri menutupi kebohongannya dan berpura-pura di hadapan Sul tan. “Benar Tuan, bau surga di peci itu harum sekali,” ujarnya. Sultan manggut-manggut percaya.
Tidak cukup dengan pengakuan sang menteri ini, Sultan memerintahkan menteri yang duduk di sebelah kiri untuk melakukan hal serupa. Ia juga tak mencium bau harum surga, sebaliknya malah bau busuk yang menyengat. Tapi, ia juga berpura-pura dan mengatakan bahwa baunya harum sekali. Sultan pun penasaran. Lalu ia berusaha membuka peci Abu Nawas. Namun, tak lama setelah membukanya, Sultan langsung melepaskannya. Ia marah kepada Abu Nawas dan kedua menterinya yang tak jujur. Ia pun memerintahkan kedua menterinya itu dipecat. Abu Nawas, karena berbohong, dihukum dengan 10 kali cambukan.
Kisah di atas mempertontonkan dengan jelas bagaimana nasib nahas itu menimpa para menteri yang suka berbohong, bermaksiat, dan menjilat atasan. Pemecatan itu pun dinilai wajar. Karena diukur dari segi apa pun, tipe menteri penjilat merupakan sosok yang bermental lemah (soft culture). Mereka malas dan tidak akan mampu berpikir serius (high culture), apalagi berbuat untuk kemajuan negara dan rakyatnya.
Sikap penjilat telah melunturkan idealisme, membunuh kreativitas, dan mematikan kerja keras. Mereka tak mau pusing dan masa bodoh menyaksikan persoalan kenegaraan yang menantang dan menuntut pemecahan. Bagi mereka, watak penjilat hanyalah media hipokrit (kemunafikan) untuk mencari selamat dan menjunjung pimpinannya agar senang. Sementara urusan negara dan rakyat tak dihiraukan, karena hati dan telinganya telah disumbat oleh hawa nafsu, kesombongan, dan keserakahan. (QS [31]: 7).
Marilah kita singkirkan watak penjilat ini. Jangan beri kemudahan untuk membuat kerusakan dan menyebarkan fitnah dan kemunafikan. Sebab, hal ini akan membuat rusak akhlak dan moral bangsa. Wallahu a’lam.