Kamis, 29 Desember 2011

BAB III

KONDISI IMPLEMENTASI KEWASPADAAN NASIONAL
TERHADAP ANCAMAN KONFLIK ANTAR UMAT BERAGAMA
SAAT INI DAN PERMASALAHANNYA


11.       Umum
Sebagai Negara dengan tingkat kemajemukan masyarakat cukup tinggi, potensi ancaman yang dimilki Indonesia secara otomatis juga cukup tinggi. Perkembangan situasi hari ini dimana terjadi beberapa konflik antar umat beragama menunjukkan bahwa, keberagaman tersebut belum mampu terkelola dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Republik Indonesia. Cara pandang masyarakat yang belum cukup dewasa dalam memandang perbedaan dan keberagaman di Indonesia menjadi salah satu indikasi mengapa konflik antar umat beragama masih terjadi sampai dengan saat ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa demokrasi sesungguhnya belum mampu dijalankan dengan baik dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Fundamentalisme cara pandang dan cara pikir masyarakat dalam menghadapi perbedaan seperti yang terjadi saat ini, sesungguhnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap ajaran nilai-nilai Pancasila yang ditetapkan sebagai dasar Negara oleh para pendiri Bangsa. Sikap fundamentalisme masyarakat justru kian terpelihara dalam wadah organisasi kemasyarakatan yang kurang menghargai perbedaan dan cenderung ingin memenangkan kepentingan kelompoknya semata dengan mengorbankan pihak lain yang dianggap memiliki cara pandang yang berbeda. Ironisnya, tidak sedikit pemuka agama yang menjadi motor penggerak organisasi kemasyarakatan yang menganut garis fundamentalis di Negara Pancasilais ini.
Kewaspadaan nasional terhadap konflik antar umat beragama dalam hal ini jelas mengalami tantangan yang tidak bisa dikatakan ringan. Manakala fundamentalisme tumbuh subur, dengan didukung kian mapannya organisasi kemasyarakatan atau pun wadah lainnya yang tidak berkesesuaian dengan Pancasila dan UUD RI 1945, jelas akan menghambat berjalannya proses demokratisasi yang dijalankan Pemerintah. Konflik antarumat beragama selayaknya tidak terjadi karena, masing-masing ajaran agama sesungguhnya memiliki nilai universal yaitu menghargai manusia lain dengan segala perbedaannya. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, Pemerintah dituntut untuk tidak melakukan kesenjangan terhadap warganegaranya, dengan latar belakang apapun. Kesenjangan pelayanan yang diberikan Pemerintah terhadap publik dapat menciptakan peta konflik dalam kehidupan masyarakat lebih lanjut. Hal ini bisa jadi timbul sebagai akibat dari lemahnya akomoditas regulasi yang diberikan Pemerintah terhadap masyarakatnya, ditambah lagi kesadaran toleransi dalam masyarakat itu sendiri yang masih lemah. Lebih lanjut kondisi macam ini akan mengganggu berjalannya pembangunan nasional

12.      Kondisi implementasi kewaspadaan nasional terhadap konflik antarumat beragama saat ini
Implemntasi Padnas sebagai langkah konsepsional dalam upaya membangun kelangsungan hidup bangsa dan negara dari segala bentuk ancman (potensial maupun manifest) perlu ditegakkan dengan baik dan benar. Ancaman yang membutuhkan peningkatan padnas secara dini salah satunya adalah peristiwa konflik antar umat beragama yang kerap terjadi di negara Indonesia.
Konflik antar umat beragama di Indonesia tidak dapat dipisahkan  dari situasi masyarakat yang bersifat hetrogin, kondisi demografi yang bersifat komplek dan kondisi geografi sebagai wilayah kepulauan. Masyarakat yang berbeda baik suku, budaya maupun agama, jumlah penduduk yang besar serta karakteristik wilayah kepulauan sangat potensial munculnya konflik antar umat beragma. Kondisi ini membutukan padnas yang mengandung sikap peduli terhadap kelangsungan hidup bangsa dan negara. Langkahnya adalah dengan meningkatkan kualitas cegah dan diteksi dini , tangkal awal dan memperkuat sifat nasionalisme.
Selain dipicu oleh faktor di atas, konflik antar umat beragama juga terjadi karena adanya faktor internal yang mempengaruhi umat beragama itu sendiri. Faktor internal dimaksud antara lain faktor keyakinan (ideologi), pemahman, dan kualitas pemuka agama itu sendiri dalam memahami ajaran, mengelola dan mempengaruhi kehidupan umatnya. Terdapat hubungan korelatif antara dinamika gerakan dan situasi  kehidupan pemuka agama dengan implemntasi kewaspadaan nasional 
Oleh karena itu,  pencegahan terjadinya konflik antar umat beragama memiliki ketergantungan terhadap tingkat kewaspadaan nasional pada masyarakat terhadap kemungkinan potensi lahirnya konflik antar umat beragama. Apa yang disebut dengan deteksi dini (early detection) dan peringatan dini (early warning) dari aparat kemanan dan aparat pemerintah dalam menykapi berbagai permasalahan baik di kota maupun di daerah yang menjadi pangkal lahirnya konflik antar umat  beragama.
Aspek yang menyakut pengamalan nilai dan sikap moral sepert;i pengamalan niali luhur pancasila sudah mulai lintur; tidak terbangunnya komitmen moral dalam menghormati kelompk atau keyakinan pihak lain, dan munculnya egoisme mayoritas di daerah; termasuk lemahnya disiplin taat asas, lemahnya akomodasi peraturan, dan lemahnya pelayanan publik dalam upaya mewujudkan kesapakatan perdamaian dan kerukunan. Berikut ini akan diuraikan gambaran terjadinya konflik antar umat beragama dan cara penanganannya.

a.         Dinamika Konflik antar umat beragama di Indonesai.
Peristiwa konflik antar umat beragama bukan merupakan fanomena baru tetapi peristiwa ini pernah terjadi pada masa sebelum negara Indonesia melakukan reformasi. Di zaman orde lama konflik antar umat beragama telah terjadi di beberapa tempat antara lain di Tasikmalaya, Pekalongan dan di Situbondo. Menurut hasil penelitian, penyebab konflik itu pada umumnya dipicu oleh adanya penghinaan terhadap ulama dan agama sebanyak 35 %, faktor penangkapan tokoh ulama setempat sebanyak 34 %, dan faktor lain yang juga sangat berperan adalah adanya sikap Lebih over acting petugas kepolisian dan keamanan setempat.[1]
Lebih lanjut hasil penelitian menyebutkan bahwa kerusuhan di Tasikmalaya pada 26 September1996 disebabkan oleh adanya penangkapan dan penganiayaan terhadap beberapa tokoh Ulama Pesantren Condong oleh aparat kepolisian stempat. Sementara itu, dalam kerusuhan di Pekalongan, responden mengaku bahwa faktor penyebab terjadinya kerusuhan massa di sana adalah adanya penangkapan terhadap tokoh ulama setembat  sebanyak 36 %, sikap ocer acting perugas 29%  dan faktor kecemburuan sosial 21%, sedangkan untuk kasus Situbondo, respoden mengakui bahwa faktor penyebab utama konflik agaama adalah adanya penodaan atau penghinaan terhadap agama 66 %, penangkapan terhadap tokoh agama setempat 17 % dan sikap over acting aparat keamanan setempat 10 %.[2]
Hasil penelitian di atas memberikan gambaran bahwa faktor yang paling dominan memicu kekerasan dan kerusuhan ( konflik) antar umat beragama di tempat-tempat-tempat tadi adalah pelecehan pimpinan spritual, prilaku aparat yang over acting dan terkesan berat sebelah terhadap salah satu pemeluk agama.
Berbeda dengan setuasi orde baru di atas, di Era reformasi terjadinya konflik antar umat beragama, menurut hasil penelitian Thamrin  Amal Tamagola (2000), sosiolog dari Universitas Indonesia (UI), terhadap konflik agama yang terjadi di Maluku Utara sejak pertengahan bulan januari 1999 hingga bulan Meni 2000, tragedi konflik itu terjadi disebabkan oleh tiga sebab utama. Ketiga sebab utama itu ialah adanya perebutan wilayah agama, perebutan tambang emas di Malifut dan perebutan kursi Gubernur Maluku Utara. [3]
Tamagola menguraikan secara rinci ketiga penyebab tadi sebagaimana berikut:
Pertama, perebutan wilayah agama. Pertentangan antara pemeluk agama Islam dan Kristen menurutnya, terjadi sejak 127 tahun yang lalu. Tepatnya sejak para penyebar agama Keristen memulai misinya pertama kali di Tobelo Halmahera Utara. Sejak itulah kemudian terjadi hingga sekarang.
Kedua, Perebutan tambang emas di Malifut. Ditemukannya tambang emas di desa-desa yang ditempati oleh penduduk asli  Kao menambah sebab-sebab konflik antara penduduk pendatang dan penduduk asli semakin komplek dan rumit. Keadaan ini terjadi karena sekarang tidak hanya faktor kesenjangan sosial ekonomi yang tumpang tindih dengan sentimen-sentimen agama yang menjadi sebab pertikaian antara kedua belah pihak tersebut. Akan tetapi adanya keinginan dari penduduk asli untuk memonopoli tambang emas di daerahnya kemudian juga mempunyai andil yang sangat besar terhadap timbulnya konflik agama di daerah ini.
Ketiga, Perebutan kursi Gubernur Maluku Utara. Perebutan kursi Gubernur di Maluku Utara antara beberapa golongan dan suku di wilayah tersebut semakin menambah carut-mnarutnya hubungan antara umat Islam dan Kristen . Keadaan ini terjadi karena ada kelompok orang yang tidak bertanggung jawab di dalam kelompok-kelompok dan suku-suku yang terlibat dalam perebutan kursi Gubernur Maluku Utara. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab tersebut sengaja memanfaatkan kusutnya hubungan antara umat Kristen dan Islam guna mendapatkan kursi Gubernur Maluku utara.
Adapun konflik antar umat beragama yang paling mutakhir terjadi adalah Pertama, konflik antara umat Islam dan Keristen HKBP di wilayah di Kota Bekasi Wilyah Jawa barat. Kedua adalah Konflik antara sesama umat Islam antara aliran Islam mainstrim dengan aliran Islam Ahmadiyah di Bogor.
Kedua prilaku konflik mutakhir ini meski tidak berkelanjutan, namun telah mengundang keresahan masyarakat dan telah menelan korban atau pengrusakan tempat ibadah. Konflik agama antara umat Islam dengan HKBP di Desa Ciketing Bekasi pada 14 September 2010 itu dipicu oleh adanya Jemaat  Keristen HKBP yang melakukan kebaktian di lahan yang menurut masyarakat setempat belum mendapat surat izin sesuai dengan surat keputusan bersama dua menteri (Kemendagri dan Kemenag). Dalam peristiwa itu seorang jemaat  HKBP yang bernama Asian Lomban Toruan Sihombing terkena tusukan dalam bagian berutnya. Bahkan Pendeta Luspida Simanjuntak yang sedang menolongnya mengevakuasi  ikut terkena pukulan masa.  Konflik ini bila tidak ditangani dengan kesiapsiagaan secara dini, bukan tidak mungkin akan berulang kembali secara lebih membahayakan sehingga dapat mengancam terwujudnya ketahanan nasional. Apalagi dalam konflik tersebut melibatkan organisasi masa yang notabenenya kerap melakukan radikalisme dalam misi menegakkan dakwahnya.
Mencermati sebab peristiwa konflik agama  yang terjadi pada masa Orde Baru dengan masa refofrmasi jelas berbeda baik dari sisi masa terjadinya peristiwa itu  maupun dari sisi dinamikannya. Pada umumnya pristiwa konflik agama pada masa Orde baru cepat ditangani  dengan kesigapan aparat yang sangat kuat dan bersikap represif. Masyarakat pada saat itu ketakutan luar biasa terhadap otoritas aparat keamanan dan pemerintah yang bertindak keras kepada siapa saja yang melakukan keonaran.
Di masa reformasi dengan situasi politik yang memberikan ruang kepada rakyat untuk menyatakan kebebasan berpendapat, kebebaasan menuntut hak, kebebsan beragama dan perlindungan HAM, maka konflik saat ini baik yang berupa kerusuhan, keonaran maupun konflik horizontal tumbuh dengan cepat dan terkadang tidak mudah ditangani. Konflik yang terjadi di suatu tempat baru saja ditangani tumbuh lagi di tempat lain yang lebih besar yang menuntut penanganan yang lebih berat lagi. Karena kuatnya desakan masa yang menuntut keadilan dan perubahan dengan cara-cara kekerasan, seringkali mengundang aparat bertindak represif dalam menghalau konflik (kersusuhan).
Hal yang sama juga terjadi pada situasi (kondisi) konflik antar umat beragama saat ini. Umat yang terlibat dalam konflik masing-masing merasa hak kebebasannya (kebebasan beragama) dan hak-hak menuntut keadilan (pelayanan publik) belum terpenuhi bercampur dengan sensitifitas dan egoisme keagamaannya sehingga mereka berani melakukan apa saja dalam konflik tanpa menanggung resiko (akibat) yang diterimanya. Munculnya aliran-aliran yang dipandang sesat yang mengklaim nabi baru, aliran radikal dan fundamentalisme dalam agama yang menyerang deklarasi kebebasan beragama di lapangan monas dan gerakan terorisme yang tidak pernah berujung merupakan fanomena dan fakta perbuatan nekad yang dapat menimbulkan konflik antar umat beragama.
Para aparat seharusnya memang bertindak profesional dan tidak represif dalam mengamankan konflik di tengah masyarakat, namun karena kekuatan masa yang kerap melakukan pemberutalan, (radikalisme) pada akhirnya para aparat dengan cara terpaksa kerap melakukan kekerasan (tindakan represif).
Di samping sebab-sebab yang disebutkan di atas, hemat penulis, konflik antar umat beragama terjadi karena masih terdapat diantara umat maupun para pemukanya yang belum memahami ajarannya secara kemprehensif dan kontektual. Masing-masing umat mengklaim agamanya paling benar. Alwi Shihab (1999) membenarkan bahwa kedangkalan pemahaman umat terhadap teks ajaran kitab suci menjadi sebab lahirnya konflik intern (kekerasan/radikalisme) dari kelompok keagamaan yang tak terelakan.[4]
Seiring dengan perubahan zaman kedangkalan pemahman itu tampaknya mulai dicerahkan oleh sebagian masing-masing cendekiawan agama  yang mencoba melakukan liberalisasi pemahaman terhadap teks ajaran. Cendekiawan Islam maupun Keristen kini telah memahami kitab sucinya berdasarkan subtansi teks yang pada intinya sama-sama menegakkan kebenaran dalam berbagai aspek kehidupan. Pemahaman seperti ini dapat mendorong kedua agama bekerjasama dalam menegakan misi kemanusian universal seperti bersama sama menegakkan  keadilan, perdamaian, membasmi ekpoltasi, radikalisme agama , terorisme, menghapus kecongkakan kekuasaan dan menanggulangi kebodohan (kemiskinan spritual,intelektual dan material).
Uraian diatas memberikan gambaran dan sekaligus dokumen peristiwa mengenai implementasi padnas saat ini. Dari dokumen ini dapat dijadikan bahan penilaian seberapa jauh kualitas nasionalisme keindonesiaan, kesiapan, kesiagaan yang dikuasai segenap komponen bangsa dalam hal deteksi dini, peringatan dini, pencegahan awal, serta tanggap awal terhadap konflik antar umat beragama yang potensial menciptakan rendahnya kualitas pemuka agma dan pembangunan nasional karena rapuhnya ketahanan nasional.

b.         Penanganan Konflik antar umat beragama.
            Penanganan konflik secara holistik dari mencermati fanomena yang akan terjadi, sedang dan hinga pada setelah usainya konflik merupakan cara yang perlu diantisipasi sedini mungkin.  Kerjasama yang sinergis dan terkordinasi bagi semua pihak yang terkait dalam menangani konflik antar umat beragama amat diperlukan. Selama ini dalam realitasnya di lapangan terlihat tidak adanya antisipasi bagi semua pihak dalam meningkatkan kewaspadaan nasional. Tindakan berupa deteksi secara dini (early detection),  peringatan dini (early warning), cegah awal, tangkal awal terhadap gejala permasalahan yang menjadikan konflik antar umat beragama belum dilakukan dengan baik dan benar. Keterlibatan para komponen bangsa baik aparat keamanan, pemuka agama, pemimpin masyarakat, tokoh adat hanya terwujud setelah konflik itu terjadi dengan banyak menelan korban dan kerusakan. Ini menunjukkan bahwa kesigapan awal, terutama parat inteljen di daerah konflik belum  bekerja secara optimal.
Dalam teori konflik  disebutkan cara penanganan konflik yaitu antara lain problem solving dan superordinate goals.[5] Kedua teori ini ingin memcahkan konflik dengan menekankan adanya tatap muka bersama untuk mengidentifikasi  dan pemecahannya melalui pembahasan terbuka. Sayangnya teori ini tidak dilakukan berdasarkan antisipasi dini oleh pihak-pihak yang  mempunyai kemampuan mendamaikan pihak yang berkonflik dengan pembahasan yang terbuka. Kalaupun tatap muka dan pembahasan terbuka telah dilakukan, namun kerap tidak membuahkan hasil karena konflik antar umat beragama itu meledak kembali dalam tensi yang lebih membahayakan.
Rapat kordinasi antara pejabat yang terkait memang telah dilakukan. Hasilnya Jama’at HKBP dilarang menggunakan lahan kosong di Kampung Ciketing, Bekasi untuk tempat ibadah. Sebagai gantinya Pemerintah Bekasi  telah menawarkan dua tempat baru untuk kegiatan keagamaan bagi jemaat HKBP. Fasilitas ini diberikan sebagai upaya untuk menghindari gesekan dan bentrokan sesuai dengan surat keputusan bersama dua menteri tentang izin pendirian ibadah. Jalan keluar ini untuk sementara bisa saja dapat terwujud tetapi penanganan yang lebih menukik pada pemecahan akar maslah masih perlu dilakukan . Hal ini untuk menghindari tindakan dan provokasi sepihak yang  masih belum puas dengan langkah dan keputusan yang telah diakukan.[6]
Peran siskamling yang harus digunakan oleh mayarakat untuk melakukan pencegahan dan penangkalan mulai berkurang, yang ada hanya poskamling yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat dalam rangka melakukan pencegahan dan penangkalan gangguan kamtibmas. Para tokoh masyarakat/pemuka agama yang dengan harismanya berperan mempengaruhi masyarakat untuk meninggalkan konflik, kini peran tersebut tidak lagi efektif karena terjadi perubahan paradigma masyarakat dalam menghormati tokoh-tokohnya di suatu masyarakat.
Pemerintah Daerah dengan instansi terkait (Kementerian Agama) yang seharusnya memfasilitasi pembinaan kerukunan umat beragama secara intensif dan berkualitas,  masih terkesan kurang dijalankan sehingga belum ditemukan pola pembinaan yang secara efektif mampu mengelola kerukunan dan perdamaian antar umat beragama. Akibatnya masih dijumpai di masing masing pihak dari kelompok umat beragama yang merasa belum diakomodir oleh peraturan yang memihak keadilan.
Organisasi keagamaan yang jumlahnya cukup besar baik di kota maupun di daerah mempunyai peran penting dalam membangun program–program strategis dalam mendidik dan membangun peradaban umat. Akan tetapi yang terjadi selama ini masih terdapat diantara organisasi keagamaan yang berjalan tidak kompak (bersatu) dalam merumuskan pemikiran dan program yang diwujudkan bersama. Bahkan diantara organisasi itu masih terdapat yang berfikir sektarian dan radikal dalam melakukan misi dakwahnya sehinga menjadi pemicu lahirnya konflik agama.
Polri yang berfungsi menegakkan bidang keamanan  telah melakukan dan menunjukkan kerjanya menghalau setiap terjadinya konflik dan kerusuhan. Namun upaya itu masih terlihat belum maksimal terutama dalam mencari akar masalah dari terjadinya konflik antar umat beragama. Terbukti setiap adanya konflik yang ditangani hanya berhenti sangat sementara dan setelah itu konflik meledak kembali di luar kontrol keamanan.
Berdasarkan data tahun 2008 konflik  yang bernuansa agama dan etnis telah terjadi di 33 propinsi sebanyak 28 kasus, konflik yang timbul karena perebutan sumber daya ekonomi  sebanyak 123 kasus, konflik perebutan sumber daya alam sebanyak 109 kasus. Dari konflik itu, diketahui jumlah yang meninggal dunia sebanyak 112 jiwa dan korban luka-luka sebanyak 1736.  Penyelesaian konflik selama tahun 2008 sebanyak 28 % dengan mengunakan instrumen hukum dan 3 % dengan cara kekeluargaan/adat setempat. Sementara yang 69 % belum selesai.[7]
Data yang sama ditunjukkan oleh Dewan Pertimbangan Persiden Bidang Hubungan Antar Agama, K.H. Ma’ruf Amin bahwa dari tahun 2008 hingga saat ini telah terjadi kasus konflik ketegangan antara umat  sebanyak 28 kasus. Tujuh diantaranya terjadi di Jawa Barat sekaligus menempatkan propinsi ini sebagai yang terbanyak terjadinya konflik antar umat beragama. Konflik antar umat beragama yang terjadi di Jawa barat, lanjut Ma’ruf Amin, karena dari aspek geografi wilajayah Jawa Barat merupakan wilayah yang berpenduduk banyak dan wilayahnya sangat luas sehingga masyarakatnya mudah terprovokasi serta tidak mentatati dan mematuhi aturan tentang keberagamaan dan kerukunan umat beragama.[8]  
Benar atau tidaknya pernyataan Ma’ruf Amin yang jelas cecara empiris pristiwa konflik antar umat beragama di Jawa Barat saat ini telah terjadi baik antara umat Islam  dengan Jama’at HKBP di Bekasi, maupun  antara umat  Islam dengan aliran Ahmadiyah di Bogor. Peristiwa ini sangat bertentangan bukan saja  dengan perinsip HAM tetapi juga dengan ajaran agama itu sendiri karena telah membuat korban penusukan dan pengrusakan (pembakaran) tempat ibadah. Apabila peristiwa ini dibiarkan berlarut tanpa penanganan serius, cepat, dan strategis, maka peristiwa sensitif ini akan cepat menularkan konflik ke berbagai daerah yang membutuhkan penanganan yang lebih berat dan menyulitkan.
Dari peristiwa dan penyajian data di atas menunjukkan bahwa pristiwa konflik antar umat beragama  belum dapat ditangani dengan  mengimplementasikan konsep  kewaspadaan nasional. Artinya kesiapan dan kesiagaan yang meliputi deteksi dini, peringatan dini dan cegah awal belum dipraktekan dengan serius. Upaya penanganan dan tingkat  penyelesaianya masih terlihat rendah. Terbukti kondisi selanjutnya berpotensi menimbulkan konflik kembali karena isu-isu primordialisme  mengenai etnis, agama, pribumi dan pendatang serta isu-isu lain terus bergelora dan seakan-akan tak mengenal berhenti.    

13.      Implikasi implementasi kewaspadaan nasional terhadap ancaman konflik antar umat beragama bagi peningkatan kualitas pemuka agama dan pembangunan nasional
            a.         Implikasi Padnas Terhadap peningkatan kualitas pemuka agama
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya di atas bahwa, dalam mengimplementasikan kewaspadaan nasional terhadap kerukunan antar umat beragama tidak bisa dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yang represif dari Negara. Dituntut pendekatan Negara yang lebih persuasif dalam menangani setiap ancaman konflik yang terjadi. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan kekuatan sipil. Impelementasi kewaspadaan nasional terhadap kerukunan antar umat beragama lebih lanjut seharusnya merupakan sikap mendewasakan masyarakat dalam menghadapi perbedaan. Dengan latar belakang keberagaman yang sedemikian tingginya, potensi konflik di Indonesia mempunyai kemungkinan untuk terus membesar. Sementara pendekatan yang dilakukan Pemerintah selaku penyelenggara Negara pada saat ini cenderung menggunakan metode top-down, atau pendekatan dari atas ke bawah, padahal yang dibutuhkan dalam hal ini seharusnya adalah metode pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up). Hal tersebut sesungguhnya justru dapat menyulut konflik terus terjadi karena, inti dari konflik dalam masyarakat adalah tidak terakomodasinya kepentingan masyarakat dalam tatanan hidup berbangsa dan bernegara.
Masyarakat seakan tidak ikut dilibatkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika Pemerintah tidak jeli melihat ini dan lebih terjebak dalam pertarungan kepentingan kekuasaan semata maka masyarakat tidak merasa terakomodasi kepentingannya. Sehingga sangat mungkin terjadi potensi konflik yang berasal dari persoalan perbedaan cara pandang dalam menyikapi sesuatu. Ketika dimasukkan dalam konteks kehidupan beragama yang sesungguhnya masih cukup sensitif di Indonesia, masyarakat akan lebih memilih cara konflik dalam upaya menyudahi masalahnya. Kebutuhan akan sosok yang dapat dijadikan sebagai tokoh panutan dalam masing-masing agama/kepercayaan kemudian menjadi sangat penting. Masyarakat membutuhkan teladan dalam bertindak dan dalam konteks kehidupan beragama, keteladanan ini seharusnya bisa didapat dari pemuka agama masing-masing. Setiap kelompok keagamaan yang ada di Indonesia tentunya memiliki pemuka agama yang menjadi panutan dan menjadi tokoh yang mendorong umatnya untuk berbuat baik. Pemuka agama memiliki peran sangat besar dalam menjaga kehidupan umat beragama di Indonesia berjalan dengan baik, akan tetapi tidak jarang yang terjadi justru kondisi sebaliknya. Implementasi kewaspadaan nasional terhadap konflik antar umat beragama yang tidak berjalan dengan baik akan memberikan implikasi pada menurunnya kualitas pemuka agama.
Hal ini dapat terlihat dari beberapa pemuka agama yang bukannya menjadi teladan bagi umatnya, justru malah memicu terjadinya konflik antar umat beragama karena menganggap ajaran dan kepercayaan yang dipeluknya merupakan ajaran yang paling benar dan atas dasar alasan tersebut menganggap ajaran lainnya harus disingkirkan. Pemahaman semacam itu bukan hanya menjadi ironi bagi demokrasi, lebih lanjut pemahaman tersebut adalah kekeliruan yang bertentangan dengan dasar Negara, Pancasila.
Ketidaktegasan Pemerintah dalam mengimplementasikan bentuk kewaspadaan nasional terhadap ancaman konflik antar umat beragama saat ini dapat terlihat pada kasus penyerangan sejumlah umat Muslim yang tidak mengakui umat Ahmadiyah sebagai bagian dari umat Muslim dan berujung pada bentrokan antara kedua belah pihak. Ketika Pemerintah hanya melakukan pendekatan legal formal dan menggunakan pendekatan represif untuk menangani kasus ini, masyarakat terus bertikai karena masing-masing pemuka agamanya juga tidak ingin berdamai, bahkan tetap bersikukuh memaksakan kehendaknya masing-masing. Ini merupakan bentuk menurunnya kualitas pemuka agama yang seharusnya mengajak umatnya untuk menghormati ajaran agama lain yang berbeda dengan ajarannya. Pada kasus lain, hal tersebut juga terjadi dimana, massa yang menamakan dirinya Front Pembela Islam (FPI) membubarkan kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Pada kasus tersebut jemaat HKBP belum mengantungi surat izin mendirikan bangunan, akan tetapi keinginan mereka untuk menjalankan ibadah sesuai perintah agamanya sesungguhnya bukan merupakan sesuatu hal yang salah. Dalam kasus ini  salah satu pemuka agama justru terkesan mendorong umatnya untuk menyerang pihak yang berseberangan  dengan dalih ajaran agama. Pemerintah sendiri belum memberikan tindakan tegas atas kasus-kasus di atas. Padahal ketegasan Pemerintah akan sangat berpengaruh bagi kerukunan antar pihak-pihak yang bertikai dengan meningkatkan kualitas pemahaman tentang keberagaman dan kebangsaan terhadap pemuka agama masing-masing pihak.

b.         Implikasi Padnas terhadap Pembangunan Nasional
Pembangunan Nasiional yang mencita-citakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi segenap bangsa tidak dapat berjalan dengan baik tanpa melibatkan seluruh komponen bangsa. Segenap komponen dari berbgai latar belakang mempunyai tanggung jawab untuk mengupayakan pembangunan baik dari aspek pemikiran, tenaga, moral maupun akses lain yang dapat mendorong pembangunan berjalan dengan baik dan aman. Pembangunan dengan segala kompleksitannya amat membutuhkan keteraturan aspek tatanan sosial, struktur dan fungsional. Dalam konteks ini maka peran integrasi aspek tadi perlu dibangun melalui pembudayaan bangsa yang melahirkan keteraturan, kebersamaan, kedisiplinan dan harmonisasi antara segenap komponen bangsa. Penafikan terhadap tiga aspek tadi akan menimbulkan ketimpangan sosial (pembangunan manusia).[9]
Konflik antar umat beragama terjadi karena ketidakharmonian aspek sosial, struktur dan fungsional dalam menjlankan perannya. Oleh karena itu peran kesemuanya diperlukan membangun implementasi kewaspadaan nasional terhadap konflik antar umat beragama. Lemahnya implemntasi kewaspadaan nasional yang dibangun bersama akan berimplikasi pada semakin memburuknya situasi konflik yang berakibat pada macetnya transportasi, rusaknya infra struktur, dan terganggunya lalu lintasnya kegiatan perekonomian. Kesemuanya itu berimplikasi pada tidak terwujudnya pembangunan nasional.

14.      Permasalahan yang dihadapi
Di tengah kehidupan masyarakat yang sarat dengan keberagaman seperti Indonesia, konflik antar umat beragama memang menjadi salah satu persoalan yang terus mengemuka. Sebagai Negara yang memiliki dasar Negara Pancasila, sudah selayaknya kewaspadaan nasional Indonesia dalam menghadapi ancaman konflik antar umat beragama ditingkatkan lagi. Tidak sedikit Negara di dunia ini mengalami konflik antar umat beragama yang tidak kunjung tuntas dan terus mengemuka hingga saat ini. Dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menghargai keberagaman dalam kesatuan Negara Republik Indonesia, kita menyatakan diri sebagai sebuah Bangsa. Akan tetapi pada perkembangannya tidak sedikit masalah yang ditemui dalam kehidupan umat beragama di Indonesia. Adapun beberapa permasalahan yang dihadapi terkait implementasi kewaspadaan nasional terhadap konflik antar umat beragama guna meningkatkan kualitas pemuka agama dalam rangka pembangunan nasional saat ini, adalah sebagai berikut:
a.         Lemahnya pemahaman terhadap ajaran
Pemahaman terhadap ajaran yang masih lemah menjadi salah satu permasalahan yang membuat toleransi kehidupan umat beragama menjadi melemah. Seungguhnya, tidak ada satu pun dari agama di dunia ini yang menghendaki kekerasan dalam penyampaian ajarannya, apalagi sampai mengarah pada konflik antar umat beragama. Akan tetapi, pemahaman yang sempit terhadap ajaran agama yang banyak terjadi hari ini menjadikan kesadaran umat beragama justru menjadi sangat rendah. Adalah tugas pemuka agama untuk memperdalam pemahaman umatnya terhadap ajaran. Akan tetapi pada situasi saat ini, tidak sedikit pemuka agama yang justru menjadi motor bagi munculnya konflik antar umat beragama. Lemahnya pemahaman terhadap ajaran agama juga membangun pengertian yang hanya menganggap ajaran agamanya yang paling tepat, dan beranggapan bahwa ajaran agama dari kelompok lainnya serta merta adalah salah. Lemahnya pemahaman terhadap ajaran lebih lanjut merupakan sebuah kekeliruan dalam kehidupan umat beragama yang perlu diwaspadai sejak dini.

b.         Kesenjangan pelayanan publik
Kesenjangan pelayanan publik yang diberikan Pemerintah terhadap masyarakat turut menjadi salah satu persoalan dalam mengimpelementasikan kewaspadaan nasional terhadap ancaman konflik antar umat beragama. Pelayanan publik yang tidak berimbang atau kurang memadai, dapat menyulut respon negatif masyarakat sehingga sangat potensial bagi terjadinya konflik horizontal di tataran masyarakat itu sendiri. Tidak sedikit konflik yag diakibatkan karena kesenjangan pelayanan publik yang diberikan Pemerintah. Alhasil, banyak masyarakat yang merasa Pemerintah terlalu memihak pada satu kelompok saja dan menomorduakan kelompok lainnya.
Selain kebencian terhadap Pemerintah, hal tersebut dapat menanam kebencian salah satu kelompok yang mendapatkan kesenjangan pelayanan publik terhadap kelompok masyarakat lainnya yang dianggap mendapatkan pelayanan publik lebih baik. Salah satu kasus yang mengemuka terkait dengan persoalan ini adalah kasus penyerangan sekelompok masyarakat terhadap jemaat HKBP yang terpaksa melaksanakan ibadah di rumah penduduk karena belum mengantungi surat izin mendirikan bangunan ibadah yang seharusnya diberikan oleh Kementerian Agama. Dalam kasus ini, izin jemaat HKBP telah mengajukan izin dalam waktu yang cukup lama, akan tetapi pelayanan publik yang tidak berimbang mengakibatkan izin tersebut tak kunjung turun sehingga mengakibatkan jemaat HKBP terpaksa beribadah menggunakan rumah warga. Kondisi kemudian dijadikan alasan oleh kelompok masyarakat yang memang tidak menghargai kerukunan umat beragama untuk melakukan penyerangan terhadap jemaat HKBP tersebut.

c.         Lemahnya komoditas regulasi
            Menghadapi ancaman potensi konflik, Pemerintah dituntut untuk memiliki ketegasan dalam bersikap. Salah satu bentuk ketegasan Pemerintah dapat dilihat dari komoditas regulasi atau aturan hukum yang dibuat untuk menangani kasus semacam ini. Komoditas regulasi yang ada saat ini masih sangat lemah mengatur kehidupan umat beragama di Indonesia. Dalam arti, komoditas regulasi yang ada seharusnya bisa mengantisipasi segala macam bentuk pelanggaran atau ancaman terhadap kerukunan hidup umat beragama.
             Pancasila sebagai dasar Negara dan UUD RI 1945 sebagai landasan konstitusional sebenarnya telah mengatur hal ini, akan tetapi masih dibutuhkan landasan operasional hukum yang cukup memadai untuk mengakomodasi kepentingan umat beragama yang ada. Perangkat regulasi yang ada saat ini masih belum cukup memadai jika dibandingkan dengan potensi konflik yang ada. Langkah Pemerintah untuk mempertegas komoditas regulasi yang ada sebagai bentuk implementasi kewaspadaan nasional terhadap kerukunan umat beragama karena merupakan sebuah kebutuhan mendesak di tengah kembali maraknya konflik umat beragama saat ini. Lemahnya komoditas regulasi secara langsung maupun tidak langsung, memberikan celah bagi kelompok-kelompok yang tidak menghargai keberagaman kehidupan umat beragama bertindak dengan caranya sendiri yang pada prakteknya justru melanggar hukum dan mengganggu ketertiban masyarakat.

d.         Lemahnya nilai toleransi
            Kita memiliki Pancasila sebagai dasar Negara yang menjadi falsafah hidup dan cara pandang bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dimana di dalamnya mengajarkan nilai-nilai toleransi dan saling menghargai santar sesama umat beragama. Akan tetapi, nilai luhur tersebut saat ini mengalami kemerosotan makna yang tercermin dari kian lemahnya toleransi dalam kehiduan masyarakat. Lemahnya nilai toleransi saat ini mengakibatkan masyarakat sangat mudah terpancing untuk saling berkonflik satu sama lain dimana hal tersebut sesungguhnya menjadi contoh ketidakdewasaan kita dalam berdemokrasi. Melemahnya nilai toleransi yang sudah ditanamkan sejak dulu di Indonesia menunjukkan semakin terdegradasinya nilai luhur yang seharusnya bisa menjadi perekat masyarakat Indonesia. Mulai maraknya kemunculan organisasi fundamentalis yang mengatasnamakan agama menjadi salah satu penyebab yang mengakibatkan nilai-nilai toleransi kehidupan umat beragama di Indonesia kian melemah.


                [1]M. Ainul Yakin, Pendidikan Multi Kultural,  hal. 52 (Pilar Media), Jogjakarta , 2005.
                [2] I b i d, hal. 52.
                [3] i b i d, hal. 53.
                [4]Alwi Shihab,.Islam inklusif, hal.61, (Mizan), Bandung, 1999.
                [5] http://psychemate.blogspot.com/2007/12/konflik-dan-cara-penanganannya.html.
                [6]http://beritabatavia. Com/berita-3297-jamaat-hkbp ditawari-dua-lahan-baru-html.
                [7]........., Warta Titian Damai, Konflik Kekerasan Komunal di Indonesia, Februari tahun 2009.
                [8]http//www.rribandung.info/index.Php option=com
                [9] Jeffrey C. Alexander, Twenty Lectures : Sosiological Theory Since World War II, hal. 52, (Columbia University Press, New York,1987)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar