Kamis, 29 Desember 2011

BAB II

LANDASAN PEMIKIRAN


6.         Umum
Pancasila. sebagai ideologi bangsa Indonesia merupakan dasar falsafah dan pandangan hidup yang secara resmi telah disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Karena Pancasila merupakan nilai-nilai luhur yang digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri, maka nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut merupakan suatu keharusan  untuk selalu membudaya dalam segala sendi kehidupan seluruh komponen bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia mengandung pengertian bahwa Pancasila merupakan pedoman bagi pelaksanaan pengaturan pemerintahan dalam usaha mencapai cita-cita bangsa Indonesia, cita-cita bangsa Indonesia tersebut terkandung didalam pembukaan UUD1945.[3]
Dalam rangka pembudayaan nilai-nilai Pancasila, maka diharapkan seluruh komponen bangsa dapat menghayati dan mengamalkannya. Selanjutnya mampu mengimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu bentuk tindakan konkritnya adalah dengan menghindari konflik yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila seperti konflik anta rumat beragama yang sangat potensial mendorong terjadinya disintegrasi bangsa. Pancasila sebagai pedoman hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini jangan sampai hanya menjadi jargon semata. Dibutuhkan sikap tegas Pemerintah dan implementasi konkrit Pancasila dalam praktek kehidupan sosial sehari-hari. Dalam pengembangan sosial budaya dewasa ini kita harus mengangkat Pancasila yang merupakan dasar dari nilai-nilai yang dimiliki bangsa kita.

7.         Paradigma Nasional
a.         Pancasila sebagai landasan idiil
Pancasila sebagai landasan idiil yang menjadi perumusan cita-cita dan tujuan perjuangan bangsa Indonesia seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia, yang diyakini kebenarannya. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila dijabarkan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pola pikir, pola sikap, dan pola tindak bangsa Indonesia. Nilai-nilai  dasar Pancasila yang digali dari budaya luhur bangsa Indonesia mendorong tumbuhnya rasa dan paham kebangsaan yang mengerucut menjadi semangat kebangsaan, berkomitmen untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia. Nilai-nilai dasar tersebut harus dijadikan landasan dalam setiap peraturan perundang-undangan yang akan dijadikan pedoman bagi seluruh bangsa Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Prinsip etika yang termaktub dalam Pancasila pada hakekatnya bersifat humanistik. Artinya, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bersandar pada harkat dan martabat manusia sebagai mahluk yang berbudaya. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, Pancasila merupakan kerangka kesadaran yang dapat mendorong universalisasi yang melepaskan simbol-simbol dari keterikatan struktur dan transendentalisasi yang meningkatkan derajat kemerdekaan manusia Indonesia, atau dengan kata lain dapat disebut sebagai kebebasan spiritual. Pancasila telah menanamkan dasar-dasar nilai yang bersifat fundamental bagi bangsa Indonesia untuk hidup berdampingan secara damai dan hidup rukun antar umat beragama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara menegaskan pengertian ini dalam pokok pikiran ke-IV bahwa, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal ini merupakan penegasan bahwa, kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia mendasarkan diri pada nilai-nilai Ketuhanan dengan kebebasan bagi masyarakat untuk memilih, memeluk, dan beribadat berdasarkan kepercayaannya masing-masing.
Jika ditelaah sila per sila yang terdapat dalam Pancasila, upaya mengimplementasikan kewaspadaan nasional terhadap ancaman konflik antarumat beragama guna peningkatan kualitas pemuka agama dalam rangka pembangunan nasional dapat dilaksanakan dengan berpegang teguh pada nilai dasar Pancasila. Sila Ketuhanan yang Maha Esa memberi inspirasi kepada masyarakat, khususnya para pemuka agama dalam hubungannya terhadap Tuhan yang Maha Esa untuk membantu sesama terutama saudara sebangsa setanah air tanpa membedakan agama/ kepercayaan yang dianut. Ini dapat menjadi faktor spirituil yang melandasi upaya meredam konflik antarumat beragama dengan meningkatkan kualitas pemuka agama dalam rangka pembangunan nasional.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab akan mendorong masyarakat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dengan mengutamakan prinsip berkeadilan dalam aktifitas sehari-hari dimana pemuka agama bisa memposisikan diri sebagai teladan dalam menjalankan nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Jika ditambah dengan sila Persatuan dan Kesatuan sebagai nilai yang mempersatukan masyarakat dalam berlaku adil dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan akan sangat membantu terciptanya rasa kebersamaan dan rasa saling memiliki dalam diri masyarakat kita.
Hal tersebut akan semakin bermanfaat bila ditambah lagi dalam pengambilan keputusan, masyarakat menggunakan azas musyawarah untuk mencapai mufakat yang tercantum dalam sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Khidmat Kebijaksanaan/Perwakilan, sehingga setiap elemen masyarakat terakomodasi kepentingannya melalui musyawarah dan bersama-sama menjalankan mufakat sebagai bentuk kolektifitas atau gotong royong dalam upaya meredam konflik antar umat beragama dimana pemuka agama berperan sebagai konsolidator utamanya sebagai bentuk implementasi kewaspadaan nasional dalam rangka pembangunan nasional secara menyeluruh. Pada akhirnya Keadilan Sosial Bagi Seluruh Masyarakat Indonesia dapat berjalan dan menghasilkan tata kehidupan sosial masyarakat yang Pancasilais.

b.         UUD 1945 sebagai landasan konstitusional
UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, merupakan hukum dasar tertulis yang digunakan sebagai dasar dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. UUD 1945 merupakan keputusan politik nasional yang dituangkan dalam norma-norma konstitusi. Segala peraturan, keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah harus senantiasa berlandaskan pada UUD 1945. Arah penyelenggaraan pemerintahan untuk melaksanakan pembangunan nasional secara garis besar telah diatur dalam batang tubuh UUD1945, sebagai penjabaran dari pokok-pokok pikiran yang tercantum dalam pembukaan UUD1945, yang selanjutnya dijabarkan dalam bentuk undang-undang. Pasal-pasal yang terdapat dalam batang tubuh merupakan penjabaran dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan berdasarkan pada nilai-nilai dasar Pancasila.
Dalam pembukaan UUD 1945 sendiri dikatakan dengan jelas bagaimana seharusnya sikap negara dalam menyikapi kehidupan bermasyarakat, khususnya pada alinea ke-4. “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[4]
Kerukunan antarumat beragama pun lebih tegasnya diatur dalam Pasal 29 ayat 1 (satu) dan 2 (dua).[5]
1.    Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.    Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Uraian di atas menunjukkan bahwa, sebagai landasan hukum tertinggi Republik yang menjadi acuan bagi segala produk hukum di Indonesia, UUD 1945 dengan tegas menjamin kerukunan hidup umat beragama dan menekankan antariumat beragama untuk hidup saling berdampingan satu sama lainnya dalam damai. Artinya, segala bentuk tindakan yang dapat mendatangkan konflik antarumat beragama, merupakan ancaman yang harus diantisipasi sedari awal. Oleh karenanya, kewaspadaan nasional harus diperkuat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, Pemerintah selaku penyelenggara negara mengemban tanggungjawab untuk membawa masyarakat dalam tata kehidupan antarumat beragama yang rukun dengan mendorong segala elemen terkait.

c.         Wawasan Nusantara sebagai landasan visional
Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia, yang dijiwai nilai-nilai Pancasila dan berdasarkan UUD 1945 serta memperhatikan sejarah dan budaya tentang diri dan lingkungan keberadaannya dalam memanfaatkan kondisi dan konstelasi geografi, dengan menciptakan tanggungjawab, motivasi, dan rangsangan bagi seluruh bangsa Indonesia, yang mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah pada penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasionalnya.[6]
Azas wawasan nusantara terdiri dari kepentingan bersama, keadilan, kejujuran, solidaritas, kerjasama, serta kesetiaan terhadap kesepakatan bersama demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan dalam keberagaman. Dalam hal ini wawasan nusantara dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mengeluarkan segala bentuk kebijakan, keputusan, maupun tindakan implementasi kewaspadaan nasional terhadap ancaman konflik antarumat beragama guna peningkatan kualitas pemuka agama dalam rangka pembangunan nasional. Terdapat pula unsur-unsur dalam wawasan nusantara yang semakin menegaskan kesatuan gagasan paradigma nasional yakni; Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan sikap, persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan. Kepentingan untuk mencapai tujuan nasional dalam mewujudkan cita-cita nasional, dalam hal ini cara pandang dan sikap bangsa, serta kesadaran dan pemahaman diri dan lingkungan yang mencakup hubungan antar bangsa dengan kepentingan-kepentingan yang selalu berubah.
Esensi wawasan nusantara tersebut digunakan sebagai pedoman oleh Pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan aman sehingga, upaya mengimplemantasikan kewaspadaan nasional terhadap konflik antarumat beragama tidak bisa terlepas dari hal tersebut. Tinggal bagaimana esensi dalam wawasan nusantara tersebut dilaksanakan agar tidak sekedar menjadi jargon atau slogan belaka, namun menjadi sebuah program kerja konkrit, terutama dalam bidang sosial kemasyarakatan. Implementasi kewaspadaan nasional terhadap konflik antarumat beragama guna meningkatkan kualitas pemuka agama dalam rangka pembangunan nasional dengan demikian dapat dilaksanakan Pemerintah dengan mendorong peran aktif pemuka agama untuk menjalankan semangat wawasan nusantara dengan nuansa religius yang bersifat universal yakni dengan mengakomodir kepentingan antarumat beragama di Indonesia. Wawasan nusantara memiliki berbagai aspek yakni; wilayah, bangsa, politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan. Berbagai aspek tersebut hendaknya menjadi landasan bagi para pemuka agama sebagai konsolidator moral masyarakat dalam menjalankan kehidupan antarumat beragama yang rukun dan saling menjaga kepentingan untuk tidak saling bergesekan satu sama lainnya, sebagai bentuk antisipatif terhadap terjadinya konfik antarumat beragama di Indonesia.

d.         Ketahanan nasional sebagai landasan konsepsional
Ketahanan nasional adalah sebuah kondisi dinamik bangsa Indonesia yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam, untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara, serta  perjuangan  mencapai tujuan nasional.[7]
Menjaga ketahanan nasional berarti memperhatikan segala aspek asta gatra yang ada di dalamnya, baik yang bersifat statis maupun yang bersifat dinamis. Upaya implementasi kewaspadaan nasional terhadap ancaman konflik antarumat beragama pun tidak bisa dilepaskan dari perspektif ketahanan nasional karena pada dasarnya, kerukunan antarumat beragama akan membantu menjaga kuatnya kondisi ketahanan nasional. Jika kerukunan antarumat beragama dapat terjaga dengan baik maka, kondisi ketahanan nasional akan lebih kuat karena terjaga dari salah satu potensi konflik sosial yang terus menjadi ancaman dewasa ini.
Implementasi kewaspadaan nasional terhadap konflik antarumat beragama guna meningkatkan kualitas pemuka agama dapat dilakukan dengan berpedoman pada ketahanan nasional. Perlu diambil langkha-langkah strategis untuk menanggulangi kerawanan konflik antarumat beragama dengan perencanaan matang melalui pendekatan regional dan multisektor, multidisiplin, komprehensif serta dengan mempertimbangkan kekhasan karakteristik masing-masing ajaran agama sehingga, arah, sasaran, kebijakan, strategi, dan upaya-upaya implementasi kewaspadaan nasional terhadap konflik antarumat beragama yang ditempuh dapat terfokus dan berdasarkan pada kondisi riil di lapangan. Dalam melaksanakannya, peran pemuka agama jelas sangat strategis. Pemuka agama merupakan komponen masyarakat yang dapat lebih memahami kondisi riil yang akan sangat membantu kewaspadaan nasional berjalan baik.

8.         Peraturan perundang-undangan sebagai landasan operasional
Guna menurunkan kebijakan strategis bangsa ini yang tertuang dalam Pancasila, UUD 1945, wawasan nusantara, dan ketahanan nasional, diperlukan peraturan perundang-undangan yang akan mempermudah pelaksanaan operasionalnya di lapangan. Walaupun banyak kalangan beranggapan bahwa, peraturan perundang-undangan saat ini belum cukup memadai mengatur persoalan kerukunan umat beragama di Indonesia, namun paling tidak ada beberapa aturan perundang-undangan yang dianggap bisa digunakan sebagai landasan operasional.

a.         Undang-undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia
Hak azasi manusia (HAM) merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal, dan langgeng sehingga harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Selain HAM, manusia juga memiliki kewajiban dasar antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Aturan mengenai HAM ini dibuat utuk menciptakan masyarakat yang adil dan damai, hidup rukun saling berdampingan dengan menghargai hak-hak individu atau kelompok lain yang berada pada satu kesatuan Republik Indonesia dan dilindungi oleh hukum dalam menjalankan hak-haknya tersebut, selama tidak mengganggu kepentingan individu atau kelompok lain.
Dalam aturan perundang-undangan ini, termaktub kepastian hukum bagi seseorang ataupun kelompok untuk menjalankan apa yang menjadi haknya dan berhak untuk mendapatkan perlindungan tanpa diskriminasi. Pada bagian kelima Pasal 22 tentang hak atas kebebasan pribadi pada ayat 1 (satu) dinyatakan bahwa, setiap orang bebas untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Pada ayat 2 (dua) uga dinyatakan bahwa, Negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Sementara pada Pasal 67 tentang kewajiban dasar manusia dinyatakan bahwa, setiap orang yang berada di wilayah Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai HAM yang telah diterima oleh Negara. Tanggungjawab Pemerintah selaku penyelenggara Negara sendiri diatur dalam Pasal 71 dan 72 dimana, Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang diatur dalam UU ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang HAM yang telah diterima oleh Negara.



a.         Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Aturan  hukum ini merupakan aturan yang menekankan hak-hak dasar manusia yang telah disepakati dalam perjanjian internasional dalam Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak-hak Azasi Manusia. Pada pasal 1 UU ini, dijelaskan bahwa isi dari International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights tercantum di dalamnya, dimana terdapat penjelasan historis lahirnya kovenan internasional tentang hak azasi manusia tersebut beserta pertimbangan Indonesia untuk masuk di dalamnya. Kovenan ini menjabarkan tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang menjadi salah satu bagian integral dari hak azasi manusia, adalah merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang harus terpenuhi dalam kehidupan bernegara dimana kehiduan beragama merupakan salah satu bagian di dalamnya.
Hak azasi manusia merupakan salah satu acuan dalam menjalankan kerukunan hidup umat beragama karena pada hakekatnya kerkukunan bisa berjalan jika masing-masing individu ataupun kelompok, saling menghargai satu sama lainnya. Pada hakekatnya, konvenan ini merupakan upaya untuk melakukan proses demokratisasi dengan enghargai segala jenis perbedaan, dalam konteks UU ini terfokus pada kehidupan ekonomi serta sosial dan budaya.

b.         Undang-undang RI Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik
Kovenan ini menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak setiap orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindakan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan (Pasal 20); pengakuan untuk hak berkumpul yang bersifat damai (Pasal 21); hak setiap orang atas kebebasan berserikat (Pasal 22); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27).
Sebagaimana UU RI No. 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU RI No.12/2005 ini juga merupakan menekankan hak-hak dasar manusia yang telah disepakati dalam perjanjian internasional dalam Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak-hak Azasi Manusia, hanya saja UU ini lebih menekankan tentang hak-hak sipil dan politik masyarakat. Dalam undang-undang ini dijelaskan pula mengenai latar historis kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik..

c.         Penetapan Presiden RI Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
Peraturan ini merupakan penegasan UUD 1945 dan dasar negara Pancasila mengenai status atau kedudukan umat beragama di Indonesia dimana Ketuhanan Yang Maha Esa bukan saja meletakkan dasar moral di atas Negara dan Pemerintah, tetapi juga memastikan adanya kesatuan Nasional yang berazas keagamaan. Pengakuan terhadap sila pertama tidak dapat dipisah-pisahkan dengan agama karena dianggap merupakan salah satu tiang pokok dari perikehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah juga sebagai sendi perikehidupan Negara yang merupakan unsur mutlak dari nation-building.
Peraturan ini juga menyinggung bahwa, kehidupan beragama si Indonesia dijamin oleh hukum dan dengan demikian setiap umat bebas untuk menjalankan agamanya selama tidak mengganggu kehidupan beragama umat lain. Dalam arti, nilai toleransi antarumat beragama harus dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.
Pada intinya undang-undang ini berupaya menjamin agar agama tidak disalahgunakan sebagai alat untuk memaksa orang lain memeluk salah satu agama tertentu dan mendorong agar masing-masing umat beragama tidak mengganggu kehidupan beragama lainnya, dengan kata lain mendorong toleransi antarumat beragama berjalan dengan baik. Selain itu juga menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dilandasi atas kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana telah termaktub dalam Pancasila dan UUD 1945. Undang-undang ini dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman operasional dalam upaya mengimplementasikan kewaspadaan nasional terhadap ancaman konflik antarumat beragama di Indonesia. Undang-undang ini dapat cukup berperan dalam situasi saat ini mengingat saat ini mulai muncul kembali konflik keagamaan seperti kasus Ahmadiyah dan penyerangan gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) oleh Front Perjuangan Pemuda Islam (FPI).

9.         Landasan teori
Implementasi kewaspadaan nasional terhadap ancaman konflik antarumat beragama yang diharapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesungguhnya adalah bagaimana menciptakan suasana yang rukun dalam masyarakat. Kerukunan pasti terkait dengan keteraturan sosial atau social order. Di dalam diskursus ilmu sosial, keteraturan sosial merupakan suatu hal yang sangat mendasar di dalam kehidupan ini. Bahkan begitu pentingnya keteraturan sosial tersebut maka di dalam salah satu asumsinya dinyatakan bahwa social order merupakan bagian penting di dalam kehidupan ini.[8] Hampir tidak didapati suatu masyarakat yang tidak mendambakan kerukunan itu. Kerukunan merupakan bagian yang sangat penting di dalam membangun peradaban. Di dalam suatu masyarakat yang rukun, maka pembangunan akan dapat dilakukan secara maksimal. Sebaliknya, jika masyarakat di dalam suatu keadaan konflik, pembangunan pun akan terhambat. Oleh karena itu, segala jenis potensi konflik dalam masyarakat harus diatasi agar tidak menghambat program pembangunan nasional.
Konflik dalam masyarakat merupakan fenomena sosial yang memiliki karakteristik dan pola penyelesaian yang unik. Berbagai dimensi dan kerangka penyelesaian dilakukan melalui proses yang sistematis untuk menemukan alternatif solusi berdasarkan hasil analisis yang benar. Dimensi konflik perlu dipahami sebagai sebuah kerangka kerja dan analisis dalam menemukan pola dasar resolusi konflik dalam membangun perdamaian. Secara umum ada dua pendekatan dalam melihat resolusi konflik sebagai suatu pendekatan; Pertama, pendekatan yang berfokus pada dinamika konflik (Galtung, 1960). Dalam pendekatan ini, konflik dipandang sebagai fenomena dinamis dimana reaksi salah satu pelaku konflik ditentukan dari aksi lawannya. Konflik digambarkan dalam segitiga ABC yaitu Attitude-Behaviour-Context (sikap-perilaku-konteks).
Resolusi konflik dilakukan dengan cara melakukan transformasi transendental, melakukan kompromi atau pembatalan (withdrawal). Resolusi konflik secara transenden artinya berupaya agar tujuan dari penyelesaian konflik tercapai. Semua pihak yang terlibat dalam konflik harus berkorban untuk tidak menerima seratus persen tuntutannya. Resolusi dengan pembatalan dilakukan dengan menghilangkan tujuan konflik. Dialog dan negosiasi dipandang sebagai bagian instrumen pendekatan meredam konflik.
Dalam melakukan dialog dan negosiasi perlu dilandasi dengan membangun kekuatan ekonomi, kekuatan sosial, kekuatan militer dan kekuatan kultural (Confidence Building Measures). Kedua, fokus pada kebutuhan dasar. Yaitu konflik dilihat sebagai sebuah fenomena sosial dinamis, meskipun konflik juga disebabkan oleh munculnya rasa frustasi akan kebutuhan tertentu. Konflik jenis ini disebut sebagai konflik yang realistik. Konflik disebabkan ketiadaan mekanisme saluran, misalnya tidak dihargai dalam masyarakat, tidak mempunyai akses kepada kekuasaan dan politik. Resolusi Konflik diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan dasar yaitu dengan memberikan akses kepada pihak-pihak yang berpotensi konflik. Cosser kemudian menawarkan pembentukan sebuah institusi baru yang bersifat formal maupun informal.
Teori Cosser kemudian diperbaiki oleh Edward Azar yang melihat kepada durasi konflik dan kegagalan dalam resolusi konflik. Azar mengajukan skema resolusi konflik melalui pendekatan struktural yang tredesentralisasi. Pendekatan ini diharapkan dapat memuaskan kebutuhan psikologis, ekonomis dan relasional. Pendapat ini senada dengan pandangan Gurr mengajukan teori "Deprivasi Relatif". Teori Gurr ini melihat kondisi sistematis yang merubah konflik menjadi kekerasan. Perspektif ketiga disebut kalkulasi rasional (William Zartman, 1985). Fokus dalam perspektif ini bahwa pemangku kepentingan yang terlibat dalam konflik memiliki pertimbangan rasional untuk membuat keputusan, mengatur strategi dan menghentikan konflik. Tetapi menghentikan kekerasan bukan satu-satunya kepentingan dari pihak yang berkonflik. Resolusi konflik menurut pendekatan ini menunggu saat yang tepat (ripe moment). Peran pihak ketiga untuk mendorong dan mempengaruhi pertimbangan melalui pemberian reward and punishment (penghargaan dan hukuman).
Dalam konteks konflik etnis dan agama, setidaknya ada tiga perspektif yang sering digunakan; Pertama, perspektif primodial yang melihat konflik sebagai suatu yang tak terhindarkan dalam masyarakat yang secara etnis dan agama berbeda. Realitas etnik dan agama dianggap sebagai sesuatu yang tetap, tidak berubah alami dan tidak terhindarkan. Kedua, perspektif instrumentalis melihat bahwa etnis dan agama bukanlah sebagai penyebab konflik melainkan sebagai sarana komunikasi atau alat
untuk mencapai tujuan dalam konflik. Kedua realitas tersebut digunakan untuk memobilisasi dalam mencapai tujuan ekonomi maupun politik. Pihak yang terlibat melakukan mobilisasi sebagai ’political entrepenur’. Perannya melakukan mobilisasi dan mengambil keuntungan dalam konflik. Ketiga, perspektif konstruktivis yang berpandangan bahwa etnis dan agama merupakan identitas yang dikonstruksikan secara sengaja dalam situasi konflik. Perspektif konstruksionis ini merupakan sintesa dari perspektif primordial dan instrumental. Dalam prakteknya model analisis konflik agama dan etnis didominasi pendekatan instrumental dan konstruktivis.

10.       Tinjauan kepustakaan
Dalam melakukan penulisan Kertas Karya Perorangan (TASKAP) ini, penulis menggunakan beberapa buku sebagai bahan bacaan utama. Sebagaimana penulis paparkan dalam landasan teori di atas, konflik merupakan salah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam melihat kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tak terkecuali di Indonesia. Untuk itu penulis menggunakan buku Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer sebagai salah satu bacaan utama. Konflik menjadi bagian dari kehidupan manusia yang mendorong dinamika dan perubahan sosial politik. Buku karangan Nivri Susan, M. A ini menyajikan kontribusi penulis dalam memperkenalkan analisa terhadap berbagai fenomena konflik melalui tradisi ilmu sosiologi. Disamping memaparkan perkembangan teori sosiologi konflik dari klasik hingga kontemporer, buku ini juga dilengkapi dengan contoh analisa pemetaan konflik yang terjadi di Indonesia.
Dalam melihat kerukunan umat beragama di Indonesia sebagai salah satu objek yang tidak bisa dilepaskan dalam kajian TASKAP ini, penulis menggunakan buku bertajuk “Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan”, karya Prof. Dr. Olaf Schumann. Berbagai umat beragama di Indonesia sementara ini berhadapan dengan beragam masalah yang sangat peka. Sebagian masalah itu menyangkut kehidupan intern masing-masing umat, orientasi spiritual dan iman, serta hubungan antaraliran yang berbeda. Sebagian masalah lain berkaitan dengan posisi dan peranan agama-agama dalam masyarakat dan hubungannya dengan Pemerintah. Di samping itu, karena umat-umat beragama hidup berdampingan atau malah tercampur dalam masyarakat yang sama, mereka juga bersama-sama dihadapkan pada perubahan-perubahan yang terjadi selama dua dasawarsa lalu yang membawa guncangan bahkan pertentangan. Sebagai penulis buku ini, Schumann berusaha untuk mengidentifikasikan asal-usul dan latar belakang persoalan itu dan mencari berbagai jalan bagaimana mereka bisa diatasi dengan suatu dialog keagamaan dan sosial yang mendalam.
Dalam buku tersebut kajiannya lebih ditekankan pada teori konflik, pembacaan fenomena dan penanganannya. Maka dalam taksap ini dipaparkan bagaimana mengimplementasikan Padnas diwujudkan terhadap  ancaman konflik antar umat beragama dan cara penanganannya serta menguraikan seberapa jauh peran dan kualitas  pemuka agama di dalam  menyikapi konflik antar umat beragama.


            [3] Naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alinea IV. Kemudian daripada itu untuk membentuk pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan ksejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
[4] Pembukaan UUD 1945, alinea ke-4
[5] UUD 1945, Pasal 29 ayat 1 dan 2
[6] Pokja Lemhannas RI. 2007. BS Geopolitik dan Wasantara: Modul 2 Konsepsi Wawasan Nusantara. Jakarta: Lemhannas RI. Hal 13
[7] Pokja Lemhannas RI. 2007. BS Geostrategi dan Tannas: Modul 3 Konsepsi dan Tolok Ukur Ketahanan Nasional. Jakarta: Lemhannas RI. Hal 15
[8] Di dalam paradigma fakta sosial dijelaskan ada tiga asumsi teoretik, yaitu adanya keteraturan sosial, adanya perubahan secara evolusioner, dan tidak ada fakta yang berdiri sendiri. Tanpa adanya keteraturan sosial maka, fakta sosial tersebut tidak bisa diteliti. Nur Syam. 2005. Bukan Dunia Berbeda. Surabaya: Eureka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar