Kamis, 29 Desember 2011

KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA : ANTARA AJARAN DAN PENGALAMAN EMPIRIS

Oleh: Fauzul Iman

I. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara plural yang menghimpun anekaragam suku, etnis, dan agama. Keragaman ini adalah anugerah Tuhan yang secara entitas dapat menawarkan dinamika Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Tawaran alami ini seharusnya dipelihara dengan amat kreatif melalui aktivitas bersama demi menjaga dan melestarikan budaya keragaman tersebut. Namun keragaman ini oleh sebagian masyarakat tampaknya masih dilihat sebagai barang haram yang berlumuran dosa sehingga wajib dikucilkan dari ruang kehidupan. Padahal keragaman dalam doktrin budaya dan agama manapun telah dibakukan sebagai suatu keniscayaan teologi yang tidak dapat dilenyapkan dari alam kehidupan dunia.[1]
Diantara tindakan yang menciderai keragaman ini tampak pada perilaku sebagian pemeluk agama yang mengklaim agamanya paling benar, sementara agama yang lain salah dan karena itu tidak berhak dan dilarang berkembang di masyarakat. Pada akhirnya hak kebebasan seseorang dalam menentukan pilihan agamanya dihalangi (tidak dihormati). Kondisi ini jelas akan merusak keragaman dan dengan demikian dapat menghancurkan entitas tatanan sosial yang diciptakan sebagai anugrah Tuhan buat mahluknya. Ajaran agama manapun mengecam hal ini sebagai tindakan yang tak beradab karena menghambat kebebasan manusia dalam menentukan pilihan berbudaya dan mengejar prestasi di dalam beragama.
Al-Qur’an mempolakan keragaman kehidupan dengan amat jelas melalui perbedaan pandangan (minhaj), potensi dan jalan hidup (syir’ah) yang dimiliki umat manusia(Q.S. 5:48). Perbedaan itu dimaksudkan Tuhan sebagai jalan berlomba (berkempetisi) meraih kebaikan. Sebaliknya umat manusia yang mengingkari perbedaan (keragaman) berarti menafikkan kebaikan dari Tuhan. Dalam konteks ini, maka Indonesia sebagai negara yang mengizinkan berbagai agama berkembang, berkewajiban memberdayakan kebaikan Tuhan ini dengan secara lebih serius mengembangkan kebebasan beragama. Kebebasan beragama yang dimaksud bukan saja pada pengamalan dari tradisi agama mapan, tetapi juga pada tumbuhnya inspirasi, dinamika dan pemahaman-pemahaman baru terahadap ajaran agama itu sendiri. Dengan demikian kebebasan beragama bukan saja menjadi khazanah kekayaan spritual bangsa, tetapi juga akan menyalurkan udara intelektualitas dan kedamaian ke dalam ruang yang penuh dengan sekat primordial dan konflik yang bertendensi agama.
Peristiwa kerusuhan antar pemeluk agama yang mengarah pada sikap radikalisme seperti pengusiran dan penghancuran terhadap aset – aset milik agama (aliran dan paham) tertentu, jelas merupakan tindakan yang melanggar hukum entitas keragaman dan kebebasan beragama yang dibuat oleh Tuhan sendiri. Pertanyaannya bagaimana doktrin agama Islam menjelaskan tentang kebebasan beragama yang secara empiris merupakan kenyataan yang tidak dapat ditawar keberadaannya. Makalah ini akan mencoba membahasnya.

II. Kebebasan Beragama Dalam Ajaran
Islam melalui ajaran Al-Qur’an menyeru kepada umat manusia untuk menghadapkan wajahnya ke agama hanif dan fitrah(Q.S .30 :30) . Hanif dan fitrah artinya cenderung pada kebenaran mulus, murni dan suci, yaitu kebenaran yang tidak pernah diintervensi oleh tendensi atau kepentingan hawa nafsu. Kebenaran demikianlah yang ditekankan ajaran al-Qur’an pada penganutnya agar yang bersangkutan mengamalkan agama dengan cara yang benar terbuka dan toleran. Agama hanif, menurut Nurcholish Madjid, adalah agama yang memiliki sifat utama pandangan yang serba inklusivistik dan pluralis. [2]
Al-Qur’an menyebut dengan kata menghadapkan wajahmu karena wajah merupakan gambaran utuh manusia. Tanpa wajah, manusia tidak akan terlihat identitas yang menggambarkan wujud totalitas manusia. Dengan demikian menghadapkan wajah pada agama hanif mengandung arti seluruh totalitas jiwa dengan segala identitasnya menyerahkan pada ajaran agama yang benar dan lurus. Dengan kata lain, penganut agama hanif adalah penganut yang mampu menjalankan agama dengan tulus, benar, arif dan ramah.
Ajaran hanif yang dalam al-Qur’an tersirat sebagai konsekwensi lanjut perjanjian primordial antara Tuhan dengan Adam, yang kemudian diinspirasi oleh ibrahim dengan membangun ajaran monotheisme, sebagaimana telah berkembang sekarang, intinya adalah menumbuhkan sikap keimanan kepada Tuhan Yang Esa dan kepasrahan (tunduk) kepada segala kebenaran yang ada. Melalui ajaran yang hanif inilah umat manusia dididik bersikap tulus dalam bergaul dan menerima segala kebenaran tanpa bersikap pura-pura (palsu). Inilah yang disebut sebagai manusia hanif yaitu manusia yang menerima kebenaran darimana saja datangnya. Ia akan memandang setiap kebenaran yang datang sebagai suatu yang islami. Maka, setiap pembawa kebenaran termasuk kebenaran yang dibawa oleh semua komunitas agama esensinya adalah kebenaran islami yang tidak bertentangan dengan kitab suci.[3]
Bertolak dari ajaran ini, maka umat islam yang dengan benar dan baik memahami ajarannya akan bersikap terbuka dan menerima kelompok agama lain yang telah membawa kebenaran. Termasuk tentunya tidak melakukan kekerasan ( bersikap radikal) terhadap hadirnya aliran-aliran atau pemahaman-pemahaman segar pembawa inti kebenaran tersebut. Ajaran hanif yang menggambarkan kearifan umat ini secara konsisten diperkuat oleh ayat-ayat lain dalam rangkaian yang sangat organik. Sebagai contoh ,antara lain, Allah Swt menegur Nabi yang selalu mengeluh dan histeris terhadap pembangkangan kaum kafir. Teguran Allah di atas mengisyaratkan bahwa persoalan kebenaran beserta petunjuk-petunjuknya diikuti atau tidak adalah urusan Allah Sendiri. Nabi pun tidak boleh memaksakan kehendaknya agar orang lain mematuhi ajarannya..
Di tempat lain ayat al-Qur’an mengecam siapa pun yang bertindak melakukan kekerasan atau pengrusakan terhadap aset aset atau simbol simbol milik kelompok agama-agama lain. Demikian juga dalam lain ayat Allah memberi kebebasan sepenuhnya kepada mahluk ciptaannya apakah ia akan menganut islam atau sebaliknya untuk memilih jalan kafir.
Uraian di atas menggambarkan betapa hukum Tuhan (al-Qur’an) yang hanif telah memberikan jalan pencerahan dalam membangun keadaban dan etika beragama. Masyarakat beragama dengan segala kompleksitasnya memang membutuhkan penguatan bagi pemeluknya dalam memahmi subtansi ajaran dan etika yang ditumbuhkannya. Persoalan sensitifitas yang acap kali muncul dalam perasaan kaum beragama, seperti mudah terusik, egoisme kelompok agama dan rawan konflik adalah akibat dari tidak cerahnya pemahaman terhadap subtansi tata etika dan keadaban yang dimiliki para penganut agama. Oleh karena itu, pencerahan al-Qur’an yang melarang pemaksaan agama (Q.S :2:256), penodaan agama dan melarang pengrusakan sarana atau aset milik agama lain , adalah bentuk kearifan Tuhan dalam membangun peradaban kebebasan beragama (Q.S. 6 : 108).
Kebebasan beragama yang dipolakan al-Qur’an sangat sejalan dengan fitrah manusia yang secara atanomi menginginkan kebebasan. Tuhan yang menciptakan fitrah manusia tentu sangat memahami bahwa manusia tidak akan berdaya apabila dipaksa untuk menerima ajran-Nya. Metoda penetapan hukum Tuhan yang secara bertahap diajarkan al-Qur’an adalah bukti kemahaadilan Tuhan dalam menerapkan kebebasan. Metoda Tuhan ini sekaligus merupakan pendidikan bagi manusia dalam upaya menerapkan kehidupan demokrasi dalam masyarakat. Tuhan amat mengetahui bahwa masalah pilihan beragama adalah masalah nurani manusia yang korelasinya berhadapan dengan fanomena empirisme kehidupan manusia itu sendiri.
Hukum empirisme kehidupan acap kali terbaca pada manusia berupa kebutuhan terhadap proses, pemikiran, jiwa, harga diri, kehormatan, tenaga, jasa , motivasi dan kebutuhan materi. Aspek inilah yang mengelindani semua manusia yang resikonya menjelamakan keragaman baik dari sisi intres, pemikiran dan pilihan hidup. Termasuk tentunya adalah pilihan beragama. Di sinilah sebenarnnya letak ajaran al-Qur’an (hukumTuhan) menetapkan kebebasan beragama sebagai ajaraan yang niscaya. Ajaran kebebasan beragama ini diniscayakan al-Qur’an tidak lain dalam upaya membangun kehendak empirisme hati nurani kemanusiaan yang mencintai demokrasi dan membenci diskrimnasi.
Ajaran kebebasan beragama yang diajarkan al-Qur’an ini sebenarnya cukup menjadi landasan atau acuan terutama bagi umat Islam sendiri di dalam menunjukkan sikapnya di tengah tengah kehidupan beragama. Masih banyak di antara umat beragama yang tidak subtansial dan rasional memahami ajaran tentang kebebasan beragama sehingga dengan dalih misi ajarannya harus memaksakan orang lain untuk memasuki agamanya. Dalam kondisi ini konflik antara sesama umat beragama tidak lagi dapat dihindari karena satu sama lain merasa ajarannya membawa misi dakwah yang benar. Oleh karena itu jalan yang tepat adalah masing masing umat beragama tidak memahami ajrannya dengan cara normatif subjektif tetapi lebih pada pemahaman rasional, subtansial, kultural dan empiris.[4] Pemahaman yang disebut terakhir ini layak ditempuh karena sangat sejalan dengan kehendak Tuhan dalam menciptalan fitrah dan realitas kemaslahatan kemanusiaan.

III. Kebebasan Beragama Dalam Realitas Empiris
Keniscayaan kebebasan beragama sebagai yang sudah digariskan ajaran Tuhan ( al-Qur’an) dalam kenyataan di lapangan masih mengalami persoalan serius. Kasus di Indonesia adalah salah satu contoh bagaimana kebebasan beragama belum dapat dijalankan dengan baik. Hal ini ditandai dengan masih adanya kelompok agama tertentu yang melakukan pemaksaan dalam menyiarkan ajaran agamanya. Bahkan dijumpai adanya agama tertentu yang menyiarkan ajarannya dengan memberikan emeng-emeng materi, makanan dan lain lain kepada pihak yang sudah mempunyai keyakinan agama tertentu. Tidak jarang cara yang demikian membuat pihak agama lain merasa tersinggung yang pada akhirnya menyulut konflik berkepanjangan antara umat beragama. Padahal negara Indonesia dengan bangsanya yang berbineka tunggal ika telah lama dikenal sebagai bangsa yang berbudi baik dan toleran.
Kenyataan dewasa ini Indonesia juga telah dikenal paling banyak ditimpa konflik antara agama. Di belahan wilayah-wilayah tertentu wujud toleransi antar bangsa seperti tidak terdengar lagi oleh karena di dalamnya telah menggema prilaku kekerasan yang nota benenya dilakukan oleh orang-orang yang beragama. Di situbondo, misalnya, prilaku kekerasan menjelma dalam bentuk pembakaran greja, di Ambon menjelma dalam bentuk pembakaran sarana pendidikan, gedung gedung pemerintah , fasilitas ibadah ( masjid dan greja) dan penebasan (pembunuhan) nyawa manusia tak berdosa. Demikian pula peristiwa kekerasan yang sama di alami di Kabupaten Poso.
Kekerasan yang implikasinya tidak kondusif bagi kebebasan beragama juga terjadi oleh klompok radikal yang melakukan pengrusakan terhadap aset aset milik aliran agama tertentu, seperti baru baru ini menimpa pada kelompok aliran Ahmadiyah. Kekerasan demi keresan tersebut bukan saja dapat menggangu kebebasan umat beragama dalam menunaikan ajaran agamanya tetapi juga dapat menciderai dan menodai sendi-sendi ajaran agama itu sendiri. Keadaan ini pada gilirannya akan menghancurkan hak hak hetroginitas (keragaman) dan memporakporandakan persatuan bangsa.
Mengapa upaya membangun kebebasan beragama di Indonesia selalu saja dihambat oleh adanya kekerasan. Hemat penulis ada beberapa hal yang patut direnungkan dan di atasi bersama yaitu;
Pertama, Pemahaman keberagamaan yang dangkal
Tujuan umat manusia menganut agama pada perinsipnya adalah untuk mengatur kehidupan menuju kebahagiaan di dunia dan di akherat. Kenyataan dijumpai adanya para penganut agama yang kerap berprilaku tidak sejalan dengan ajaran agama yang dianutnya. Prilaku ingin menang sendiri bagi penganut agama seperti menganggap doktrin atau ajarannya paling benar (truth claim) dan absah untuk tetap eksis di bumi. Sementara doktrin atau keyakinan lain dianggapnya tidak benar dan karena itu tidak berhak untuk menghidupkan agamanya.
Doktrin eksklusif tersebut merupakan landasan iman yang mengikat pemeluknya untuk tetap eksis dalam keyakinan tersebut . Agama tanpa doktrin eksklusif juga tidak memiliki basis iman yang kuat. Oleh karena itu, klaim tersebut dapat dipahami sebagai suatu keniscayaan dalam ajaran-ajaran agama, namun tidak harus dipahami secara tidak proporsional.
Untuk sekedar diketahui contoh doktrin agama tersebut dapat dilihat pada diktum ajaran agama, misalnya ajaran Kristen yang mengungkapkan bahwa Yesus diakui sebagai satu satunya jalan keselamatan, ”Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapak, kalau tidak melalui Aku”. (Yohannes l4 : 6). Ayat ini dengan cara leterlek diinterpretasi oleh sebagian pengikut Yesus bahwa satu-satunya petunjuk kebenaran adalah beriman kepada Yesus. Di luar nama itu tidak ada yang mampu membawa keselamatan karena di bawah kolong langit ini tidak didapatkan nama lain selain Dia, terkenallah istilah No Other Name yang diberikan kepada manusia yang olehnya dapat diselamagtkan (Kisah Para Rasul 4 : 12). Pada gilirannya istilah No Other Name menjadi simbol tidak adanya keselamatan di luar Yesus Kristus.
[5]
Pandangan eksklusif ini juga menekankan dengan keras bahwa hanya ada satu agama yang dianggap paling benar yang harus menguasai dunia. Kristen dalam pandangan ini mutlak menuntut misi guna menundukkan dan menggantikan seluruh agama lain di muka bumi. Meraka mengklain bahwa ajaran Kristenlah yang paling universal, absolut, dan kekal yang mampu mewujudkan keselamatan. Yesus bertahta di atas segala manusia dan dewa dewa. Yesus tidak akan pernah diungguli.
Rev. A. Gmeiner menegaskan bahwa adanya Tuhan berdasarkan kesatuan agama, saatnya akan tiba, semua manusia akan mengakui telah ditakdirkan tempat tinggal mereka yang selamat di bawah lindungan Tuhan yang namanya sudah dikenal seluruh dunia, yaitu The Holy Catholic Church.[6]
Kasus yang sama ditemukan juga dalam ajaran Islam . Dalam Kitab Suci Al-Qur’an, misalnya, terdapat surah Ali Imran ayat 9 : ”Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tidak berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Ayat ini menjelaskan bahwa hanya Islamlah agama yang paling diterima Allah. Keyakinan di luar ajaran ini dipandangnya sebagai keyakinan (ajaran) yang salah dan karena itu siapa yang tidak menganut Islam dihkum kafir dan haram hidup di bumi Tuhan. Para pemeluk agama masing masing berisikeras menjalankan misinya mengajak umat manusia menuju keselamatan yang ia yakini bahwa hanya ajarannya yang dapat menolong dari penderitaan. Mereka masing masing mengklaim bahwa misinya itu merupakan bagian dari ajaran agama yang dianutnya.
Agama Kristen mengetengahkan misinya dengan prinsip mnyelamatkan umat manusia dan Islam dengan misi amar ma’rufnya berupaya keras mengajak umat manusia agar lepas dari bencana dan petaka api neraka. Upaya ini dipandang normal sebatas misi yang diemban ajarannya berargumen persepektif teologis, tetapi menjadi masalah bila dilakukan dengan cara-cara tipu daya dan meliciki ajaran agama. Tidak dapat dihindari cara cara demikian pasti akan menimbulkan bencana kemanusiaan, yang berakibat pada munculnya tragedi konflik antar agama.
Klaim kebenaran (truth claim) yang ditunjukkan umat beragama ini dari satu sisi meski dipandang wajar, tetapi di sisi lain mengarah pada sikap dangkal dan fundamentalis
[7] dalam memahami tek Kitab Suci. Sikap demikian jelas akan menafikkan kesadaran hidup pluralisme di dalam masyarakat hetrogin dan dunia global. Pikiran picik dan literalis muncul dalam klaim kebenaran, yang pada akhirnya kaum beragama akan kehilangan wawasan membangun harmonisme kehidupan bersama. Dampak dari pikiran sempit ini, yang terlihat adalah keteganagan dan konflik berkepanjangan antar umat beragma. Pada gilirannya satu sama lain saling memaksakan kebenaranya tanpa membiarkan pilihan bebas umat manusia di dalam menentukan agamanya. Inilah salah satu sebab cita-cita terdepan agama untuk membangun kedamaian dan kesejahteraan di dunia dan di akherat menjadi terlucuti karena hati nurani manusia telah dihalangi kebebasannya dalam memilih dan menjalani keyakinan agamanya.
Kedua, hegemoni mayoritas dan kekuasaan.
Masalah kedua yang menjadi faktor kebebasan beragama tidak berjalan di indonesia adalah karena adanya hegemoni mayoritas dan kekuasaan. Hegemoni dapat timbul dari negara atau kelompok yang telah mempunyai kekuatan, kemampuan atau karena mayoritas. Amerika sebagai negara satu satunya adi kuasa melakukan hegomoni terhadap negara-negara dan bangsa di dunia, khususnya , dunia Islam merupakan salah satu corak hegemoni politik, kultur dan ekonomi. Di Cina masyarakat diikat oleh ideologi komunis dan merupakan satu satunya pilihan ideologi mutlak. Ini merupakan contoh negara melakukan hegemoni terhadap rakyatnya. Jepang merupakan salah satu negara pemasok terbesar bahan bahan elektronik dan kendaraan bermotor di Asia Tenggara sehinnga produk di dalam negeri dan negara-negara lain tidak memiliki pasar yang layak di kawasan ini menunjukkan bahwa jepang telah melakukan hegemoni pasar. Iran menjadikan agama sebagai dasar negara dan satu satunya asas dalam segala aktifitas di masyarakat, menunjukkan adanya hegemoni agama terhadap rakyat. Dengan demikian hegemoni dapat dilakukan di mana saja dan mengambil bentuk apa saja.
Masalah yang paling rumit di Indonesia adalah adanya hegemoni mayoritas terhadap minoritas. Dihadapkan kepada umat Islam yang mencapai angka penduduk berjumlah 87, 21 % di bandang umat lain yang berada di bawah angka tersebut, seperti dikemukakan Nurcholish Madjid bahwa Indonesia meskipun dibulak balik yang terlihat tetap umat Islam. Ini mengindikasikan bahwa angka umat Islam sangat signifikan menduduki komunitas terbesar. Hal ini menjadi dalih bahwa yang berpeluang melakukan hegomoni di dalam negara ini adalah umat islam.[8]
Di sisi lain di pihak minoritas yaitu umat kristen mampu mnghegomoni umat Islam di bidang ekonomi dan pendidikan. Kendati keristen minoritas tetapi ia lebih berpeluang mendapatkan hak pendidikan dan bantuan luar negeri sehingga mereka menempati pemegang hegemonitas luar biasa. Kasus pemerintahan Orde Baru memperlihatkan ketidakseimbangan di dalam memberikan kesempatan dan posisi politik pada umat Islam. Hal tersebut menyebabkan umat Islam merasa termarjinalkan dari kebijakan negara yang seharusnya dirumuskan dengan cara adil.
Hegemoni negara dan mayoritas menjadi semakin ruet ketika di pemerintahan SBY telah melonggarkan pihak mayoritas , terutama, di daerah daerah wilayah mayoritas Islam untuk membuat perda yang bernuansa syari’ah. Ketika perda anti maksiyat diberlakukan di Kota Tanggerang tak pelak menuai protes keras dari masyarakat non muslim dan kaum nasionalis. Perda ini meskipun, menurut penggagasnya, bertujuan hanya untuk mengatur dan membina umat islam di wilayah komunitasnya tetapi tujuan ini tidak sepenuhnya diterima non muslim. Kalangan non muslim (minoritas) masih menaruh curiga terhadap gagasan perda tersebut karena dipandang menyimpan target besar untuk mendirikan negara Islam dengan jalan belakang (perlahan).
Perda ini wajar masih belum diterima oleh sebagian non muslim karena kehadirannya terkesan dipaksakan dengan mengunakan ukuran aspirasi komnitasnya sendiri tanpa mendengar dari komunitas lain. Padahal dalam negara kesatuan yang menjunjung tingngi demokrasi semua bangsa diwajibkan hidup dibawah kendali dan aturan (undang-undang) kebangsaan. Oleh karena itu, tidak boleh disalahkan apabila di wilayah komunitas non muslim seperti di Toraja membuat semacam perda tandingan yang dikenal dengan perda injil. Seperti halnya perda syari’ah, perda injil juga, menurut penggagasnya, bertujuan hanya untuk mengatur dan membina umat keristen di wilayah komunitas agama tersebut.
Sementara di pihak kaum elit penguasa sendiri seolah-olah mendiamkan adanya perselisihan tentang penerpan perda yang bernuansa sentiment agma tersebut. Bahkan yang paling tidak masuk akal adalah adanya kaum elit politik yang ikut mengambil kesempatan dalam suasana perselisihan tadi. Akibat yang terjadi bukannya membuat keadaan negara stabil dan tenang tetapi membuat keadaan semakin keruh. Inilah sesungguhnya antara lain beberapa faktor yang menyebabkan kebebasan beragama di negara Indonesia masih sukar dilaksanakan dengan sepenuh hati. Sebenarnya masih terdapat faktor lain yang dipandang dapat menggangu terwujudnya kekebasan beragama di Indonesia, sperti disparitas sosial dan ketidakadilan ekonomi.

IV. Kesimpulan
Di bagian terakhir ini perlu dikemukakan kesimpulan bahwa ajaran agama (Islam) secara prinsip, normatif dan subtansial telah meletakkan masalah kebebasan beragama ke dalam suatu entitas kemanusiaan. Hal ini berkaitan pula dengan hukum sunatullah yang mengharuskan adanya kehidupan yang tidak mengingkari keragaman dalam etnis, budaya, pikiran dan kepentingan (intres). Oleh karena itu ajaran agama menekankan perlunya umat manusia saling menghormati, terbuka dan toleran antara sesama umat beragama. Dalam masalah agama ini, tidak dibenarkan umat beragama memaksakan orang lain untuk (agar) tunduk mengikuti ajarannya Namun dalam kenyataan empiris seringkali terjadi pemaksaan beragama oleh umat beragama sendiri karena dipicu oleh sikap mereka yang sentemen agama, aroganisme, sikap ingin benar dan menang sendiri. Ditambah dengan bercampurnya antara intervensi hegemoni kekuasaan dengan kepentingan politik ke dalam ranah agama menyebabkan terjadinya konflik antara umat beragama tidak mudah ditangani. Dalam kondisi itulah persoalan kebebasan beragama di indonesia semakin ruet, komplek dan tidak tumbuh dengan baik.
[1]Keragaman, keunikan dan parsial merupakan realitas yang tak terbantahkan. Secara sosiologis manusia terdiri dari berbagai etnis dan budaya yang saling berbeda dan mengikatkan dirinya antara yang satu dengan yang lainnya. Suatu bangsa terdiri dari suku-suku yang beraneka ragam, masyarakat terdiri dari keluarga-keluarga yang berlainan, keluarga itu sendiri terdiri dari individu-individu yang tidak sama. Semuanya menunjukkan adanya perbedaan, keragaman dan keunikan, namun tetap dalam persatuan (interaksi sosial). Jika keragaman dari sistem manusia terpulang pada satu naungan kesatuan, maka manusia sebagai salah satu mahluk yang ada kembali kepada satu rangkuman yaitu bukti keesaan Tuhan. Beranjak dari diskripsi ini, maka secara teologis keragaman dapat diyakinin sebgai suatu keniscayaan (sunatullah). Lihat Prof. Dr. H. Said Agil al-Munawar, M.A. Fikih Hubungan Antar Agama, (Jakarta : Ciputat Press, 2003), h. 88-89. Bandingkan dengan David N. Gellner, Pendekatan Antropologis, dalam PeterConnoly, Approacehes to Study of Relegion, terjemaham Imam Khoiri, Aneka Pendekatan Studi Agama (Jogjakarta : LKIS, 2002), h.15.
[2]Muhammed Fathi Osman, The Children of Adam : an Islamic Perspective on Pluralism, dalam pengantar Budhy Munawar Rachman, terjemahan Irfan Abu Bakar, Islam Pluralisme dan Toleransi Keagamaan, (Jakarta : PSIK Universitas Paramadina, 2006), h. XL
[3]Sikap ini dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan kepada semua agama yang ada: yaitu keharusan manusia untuk berserah diri kepada Yang Maha Esa, maka agama-agama itu baik karena dinamika internalnya sendiri atau karena persinggungannya satu sama lain , akan secara berangsur-angsur menemkan kebenaran asalnya sendiri, sehingga semuanya akan bertumpu dalam suatu ”titik pertemuan”, comon platform atau dalam istilah al-Qur’an , ”kalimah sawa”. Iihat Nurcholish Madjid, ( Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. 184.
[4]Hubungan antara tek dan budaya (klutural) bersifat dialektis dan kompleks , melampaui semua tesis ideologis tentang tek dan kebudayaan kontemporer kita. Termasuk di dalamnya bahasa sebagai budaya merupakan sistem tanda yang menghadirkan kembali dunia empiris secara smbolik. Lihat Nashir Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash Dirasah fi ’Ulum al-Qur’an, (Beirut : Al-Markaz Atsaqafi al -’Arabi, 1998), h. 25. Lihat pula Nasr Hamid Abu Zaid, Divine Attributes in the Qur’an : Some Poetic Aspect, dalam editor Jhon Cooper, Ronald L. Nettler and Mohamed Mahmoud, ( London – New York : I.B. Tauris, 2000), h. 192-195.
[5]Terdapat dua kelompok aliran misi dakwah Kristen yaitu kelompok Evangelis dan kelompok Ekumenis. Bagi kelompok Evangelis misi Kristen terutama ditujukan kepada individu dan hubungannya dengan Tuhan. Gereja sebagai sarana yang menghimpun individu tersebut menempati posisi penting. Tujuan utama greja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan imannya dan mereka yang masih berada ”di luar” untuk ikut serta bergabung. Untuk itu perhatian pada ajakan , anjuran untuk mengikuti ajaran spritual Yesus lebih penting dari upaya membangun dunia demi kesejahteraan manusia. Sebaliknya kelompok Ekumenis tujuan misi atau perhatian Tuhan bukan bertumpu kepada gereja semata , melainkan lebih kepada manusia seluruhnya. Misi bertujuan untuk memanusiakan masyarakat dan bukan mengkristenkan individu. Bagi klompok ini ajakan kepada agama Kristen dipandang sebagai tidak penting atau kurang bijaksana.Lihat Alwi Shihab, Islam Inklusif : Menuju Sikap Terbuka Dalam Agama , (Bandung : Mizan, 1999), h. 54-55.
[6]Burhanuddin Daya, Hubungan Antar Agama, dalam ed, Amin Abdullah dkk., Antologi Studi Islam : Teori dan Metodologi, (Jogjakarta :DIP PTA IAIN Sunan Kali Jaga, 2000), h.117-118.
[7]Fundamentalisme dalam lingkup Nasrani , khususnya di Amerika serikat menunjuk kepada bentuk –bentuk konservstif protertanism, yang biasanya anti pada kaum modernis, dengan interpretasi yang sedikit literal dan terbatas kepada kitab Injil dan sangat menekankan etika tradisional Kristen. Sementara pemakaian istilah dan klasifikasi fundamentalisme secara luas pada sejumlah fanomena dan kecendrungan di bawah sebuah nama yang menyesatkan itu—hasil dari beberapa studi Islam saat ini—membawa persembunyian kenyataan keterlibatannya yang sangat dalam, meliputi fakta esensial tentang apa yang banyak disebut sebagai Islam fundamentalis, yang anti tradisional dan tidak setuju kepada semangat isi tradisi Islam, seperti yang dimaksud dan dipraktekkan sejak turun wahyu al-Qur’an. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Present Tendencies, Future Trends,(New York :Marjorie Kelly, 1984), h. 279-280..
[8]Jika dilihat dari perspektif kasus konflik antar pemeluk agama di Indonesia pada era 1967 sampai 1998 ditemukan 455 greja terkena sasaran penutupan atau pengrusakan . Tentunya, pengrusakan terhadap masjid juga dijumpai tetapi tidak mencapai jumlah yang sangat mencolok. Secara sederhana di sini ditemukan adanya hegemoni mayoritas muslimterhadap minoritas Kristen dalam konflik agama. Dengan kata lain umat Islam menjadi superioritas terhadap inferioritas umat Kristiani disebabkan jumlah umatnya minoritas. Namun berdasarkan analisis soiologis, munculnya superioritas hegemonitas mayoritas itu merupakan reaksi bukan aksi yang hadir secara tunggal oleh arogansi mayoritas muslim. Lihat Said Agil Husin Al-Munawar, Op.Cit. h.140.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar