Kamis, 29 Desember 2011

EMOSI HAJI

Oleh Prof. DR. H. Fauzul Iman, M.A.



            Seruan perintah haji oleh Allah SWT melalui Nabi Ibrahim ternyata efektif  mengundang  masa ibadah haji yang tidak pernah surut. Setiap tahun umat Islam dari belahan dunia datang ke kota suci Mekah dengan menelan emosi masa yang berjumlah besar. Kondisi ini memancing L. Stoddard, seorang cendekiawan Barat, dalam bukunya The Rising Tide of Colour bersinyalemen bahwa siapapun tidak akan mampu membendung pelaksanaan ibadah haji di kota suci tersebut. Sinyalemen ini bukan omong kosong karena meski berkali-kali terjadi bencana tragis yang merenggut banyak nyawa manusia,  ibadah haji di kota suci tetap berjalan dan tidak pernah berkurang.
            Ini suatu bukti panggilan Allah telah berhasil menggerakkan hati umat Islam untuk beribadah haji. Mereka jama’ah haji yang terdiri dari segmen yang tertinggi hingga yang terendah pergi meninggalkan sanak keluarga dan rela melepaskan uang banyak demi memenuhi ibadah yang paling bergengsi. Bahkan demi ibadah haji  terdapat jama’ah yang rela menjual satu dua petak sawah padahal satu-satunya modal penyambung  hidup.
            Emosi jama’ah haji semakin tak terbendung ketika sudah berada di zona-zona peribadahan. Sebut saja ketika menjalani ritual lempar jumrah dengan jumlah masa yang demikian massif dan berjubel, mereka saling menerobos tanpa rasa takut ditimpa tragedi dan bencana. Padahal di tempat itu seringkali jama’ah haji terkena bahaya yang amat mengenaskan. Begitu pun ketika ritual tawaf dengan masa bertimbun padat mereka saling berebut mengejar batu hajar aswad hanya untuk menciumnya tanpa peduli kepalanya terkena benturan.
            Demikian emosi ibadah haji ini membara dalam luap dan gerak refleksi para jama’ah di luar dimensi kesadaran berfisik. Mereka tak peduli apa dan siapa yang menyentuh bahkan yang menerjang fisiknya, kecuali tersekap kepuasan rohaniah di genggaman kenikmatan beribadah haji. Oleh karena itu, tidak perlu heran bila terdapat orang yang berkecanduan ibadah haji dengan  menunaikannya  berulang-ulang hingga puluhan kali. Barangkali Inilah yang dimaksud dengan firman Allh SWT;  “Serulah olehmu ke dalam ibadah haji niscaya mereka akan datang dari berbagai penjuru, baik melalui jalan kaki maupun dengan kendaraan onta kurus” (Q.S. 22:27).
Gambaran emosi ibadah haji di atas dari sisi ritual amat masuk akal karena sejalan dengan sistem keyakinanannya dalam mematuhi perintah ibadah. Hal ini secara simbolik  mungkin dapat memelihara kesinambungan kepuasan ritual ibadah. Namun secara simbolik,  ritual saja tidak cukup tanpa berbanding lurus dengan realitas prilaku keseharian hidup para jamaah usai menunaikan ibadai haji.  Kepuasan ibadah yang  diukur dengan selera nafsu (emosi) belaka membuat efek ibadah haji berhenti di permukaan. Sementara sisi kedalamannya, yaitu untuk merubah kehidupan ke arah yang lebih bermakna (haji mabrur), tidak terwujud. Itu sebabnya banyak produk haji yang kita miliki belum bisa merubah kebiasaan buruknya. Ironisnya, tidak sedikit yang sudah menunaikan haji yang kini duduk di lembaga publik justru menjadi bagian yang tersandung hukum. Oleh karena itu mari kita hindari ncaman  sabda Nabi SAW berikut ini, “sekiranya seseorang bernafsu meletakkan kepalanya di atas Hajar Aswad, lalu puasa di siang hari penuh dan salat semalam suntuk, tentu Allah akan membangkitkan orang tersebut di hari kiamat bersama hawa nafsunya” ( H.R. Ad-Darimi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar