Kamis, 29 Desember 2011

BAB V

KONDISI IMPLEMENTASI KEWASPADAAN NASIONAL
TERHADAP ANCAMAN KONFLIK ANTAR UMAT BERAGAMA
YANG DIHARAPKAN


20.       Umum
Tingginya tingkat kemajemukan masyarakat yang dimiliki Indonesia merupakan bukti betapa kehidupan sosial budaya Indonesia bersifat dinamik. Dinamika tersebut merupakan nilai lebih yang seharusnya bisa dimanfaatkan dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam menghadapi situasi masyarakat yang penuh dengan keberagaman ini, Pemerintah seharusnya mendorong kedewasaan masyarakat dalam menghadapi perbedaan terhadap masyarakat. Hal tersebut sesungguhnya dapat dibangun dan terbukti dapat berjalan di Indonesia jika dilihat dari awal berdirinya bangsa ini. Pancasila sendiri digunakan sebagai dasar negara atas dasar pertimbangan pluralitas masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam etnis kesukuan dengan bermacam-macam bahasa daerah. Perbedaan yang bersatu dalam wadah Republik Indonesia tersebut justru menjadi salah satu modal utama dalam meraih kemerdekaan melalui sebuah konsolidasi kebangsaan. Dalam menghadapi situasi ke depan, semangat dalam konsolidasi kebangsaan untuk mempersatukan elemen kebangsaan masih sangat relevan untuk diterapkan dengan bersandar atas nilai-nilai dasar Pancasila.
Berdasarkan keberagaman bangsa Indonesia yang cukup tinggi ini maka, sudah selayaknya kewaspadaan nasional ditingkatkan sebagai salah satu bentuk antisipastif terhadap konflik atas perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam masyarakat. Ancaman konflik antar umat beragama merupakan salah satu potensi konflik yang mungkin merebak di Indonesia. Implementasi kewaspadaan nasional dalam mengatasi hal ini kiranya dapat diwujudkan melalui pembentukan kembali kesadaran atas keberagaman pada masyarakat. Kesadaran atas keberagaman tersebut sebetulnya sudah ada dalam ajaran dasar Pancasila, oleh karena itu nilai-nilai dasar Pancasila layak dipertahankan dan dijadikan sebagai pedoman hidup kebangsaan. Melalui penerapan nilai Pancasila secara murni dan konsekuen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, konflik antar umat beragama dapat diminimalisir. Lebih lanjut, Pancasila telah terbukti menjadi alat pemersatu yang melandasi semangat para pahlawan kita mendengungkan kemerdekaan dalam wadah Republik Indonesia. dengan demikian, segala kepentingan yang mengatasnamakan kelompok masyarakat dari golongan mana pun harus memahami semangat persatuan dalam keberagaman sebagaimana termaktub dalam Pancasila.

21.       Kondisi implementasi kewaspadaan nasional terhadap konflik antar umat beragama yang diharapkan.
             Indonesia merupakan negara berdaulat yang lahir dari hasil perjuangan dan jerih payah para komponen bangsa yang mempunyai latar belakang berbeda. Para komponen bangsa itu telah merebut negara Indonesia dari penjajahan dengan semangat persatuan dan perjuangan tanpa melihat kepentingan golongan (etnis, budaya dan agama). Semangat ini memberi inspirasi pada generasi untuk senantiasa mengelorakan persatuan dalam menghadapi berbagai tantangan, ancaman, gangguan yang akan muncul di masa mendatang.
            Tantangan ke depan yang kemunculannya sulit diperidiksi membutuhkan antisipasi dini secara bergotong royong dan rasa solodaritas (kompak) dengan mengerahkan segenap potensi dan daya yang kita miliki.  Kebersamaan atau rasa solidarisat, menurut  Bion (1949)  seorang pakar psikologi sosial, merupakan ego yang berupa tujuan dan mekanisme kerja. Artinya solidaritas kekompakkan yang dibiasakan dengan teratur dan kontinu akan mempunyai kekuatan sistematik dan disiplin emosi dalam menanggulangi kerja sama.[1]
            Bertolak dari teori ini, maka kewaspadaan nasinal sebagai langkah konsepsional yang menekankan rasa kepedulian dan tanggung jawab dalam menjaga keselamatan dan keutuhan bangsa dalam  NKRI -- yang disertai dengan kualitas kesiapan dan kesiagaan (dideksi dini, peringatan dini dan tangkal awal)—dibutuhkan keterlibatan dan pengerahan  seluruh komponen bangsa. Dengan kata lain Implementasi Padnas dalam menghadapi konflik antar umat beragama  tidak hanya dilakukan oleh aparat keamanan saja tetapi juga oleh semua ego komponen bangsa baik pemuda, pemimpin masyarakat, pemka agama, tokoh adat maupun organisasi kemasyarakatan.
            Dari aspek keamanan memang Polri merupakan alat negara yang mempunyai tanggung jawab di bidang penyelenggaraan keamanan dan penegakkan hukum (UU Nomor 2 tahun 202). Akan tetapi dengan kondisi dan segala kompelksitasnya, polisi tidak mampu melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat secara prima. Itu sebabnya dalam menjalankan tugas keamanan selalu terkesan bertindak represif dari pada preemtif serta preventif.
            Misi implementasi Padnas dalam konflik antar umat beragama dimaksudkan sebagai upaya deteksi awal agar kondisi keamanan tercipta secara kondisif sehingga kondisi yang berkaitan dengan peningkatan kualitas pengamalan, pendidikan dan kepemimpinan agama dapat terwujud. Apabila kondisi keamanan yang meliputi para pemuka agama sebagai penanggung jawab umat (bangsa) telah mencapai taraf kualitas atau kapasitasnya baik dari sisi sikap, emosi dan intelektualnya, maka akan dapat menunjang terwujudnya pembangunan nasional.
            Adapun implementasi Padnas yang diharapkan adalah berupa upaya yang mengandung aspek penciptaan kondisi antisipasi , diteksi dan penanganan dini  sehingga tujuan implementasi padnas yang diharapkan tercapai. Point-point implementasinya mencakup hal-hal berikut:
a.         Menguatnya Pemahaman terhadap Ajaran.
Ajaran agama dengan segala pengamalannya telah tumbuh subur di bumi Indonesia. Agama di Indonesia telah berfungsi  membentuk manusia bermartabat untuk hidup rukun dan saling menghormati antara sesamanya. Bahkan dapat menjadi sumber inspirasi untuk membangun perdamaian dan persatuan sesama bangsa. Akan tetapi agamapun menjadi sesuatu yang amat sensitif dan dapat menimbulkan konflik manakala para penganutnya tidak atau kurang memahami kandungan ajarannya secara lengkap..
Pemahman ajaran agama secara parsial (sepotong-potong) dengan hanya melihat aspek simbolik dari teks ajaran akan membawa umat ke dalam kehidupan yang rigid dan eklusif. Prilaku umat beragama yang sok suci dan mengklaim dirinya paling benar dan melihat orang lain salah adalah refleksi dari pemahaman yang salah kaprah terhadap ajaran. Pemahaman semacam ini menurut  Nurcholis Madjid, cendekiawan muslim pembaharu merupakan sikap syirik karena ke benaran tunggal hanyalah ada pada diri Tuhan.[2]
Diantara contoh pemahaman yang sempit   terhadap teks al-Qur’an dan Al-Kitab adalah ketika masing-masing umat Islam dan Keristen memahami teks kitab suci yang berkaitan dengan misi penegakkan  dakwah. Sekelompok umat memahami  surat al-Baqarah ayat 191  (artinya; “Bunuhlah umat kafir dimana saja berada”). Dengan pemahman yang sempit dan radikal tanpa mendalami makna kata kafir dan melihat konteks sosial ayat itu diturunkan. Padahal perintah al-Qur’an tersebut lahir pada saat kaum  pengacau Islam (kafir) melakukan radikalisme (kekerasan) di masa perang dengan  membunuh siapa dan dimana saja dari kalangan umat Islam apabila mereka menjumpainya.
Sebaliknya umat Kristen memahami teks  Matius 28 : 18-20 yang bertbunyi : “pergilah dan ciptakan pengikut dari segala bangsa, lakukan pentahbisan terhadap mereka atas nama Bapak dan anak serta Ruh Kudus”  .Teks Matius ini dipahami sebagian umat Kristen  sebagai dasar mutlak untuk mengkeristenkan siapa pun di mana pun, dan kapan pun , jika kesempatan itu memungkinkan. Padahal paradigma baru mempertanyakan keabsahan teks ini karena tidak sejalan dengan pandangan pluralisme agma masa kini.[3]
Pemahaman semacam ini jelas berimplikasi pada tumbuhnya egoisme penganut agama untuk gampang saling menyudutkan dan melakukan kekerasan. Tidak heran bila banyak umat yang keluar dar mainstream ajaran yang benar dengan mengatasnamakan agama melakukan gerakan terorisme melalui ideologi fundamentalisme yang membahayakan dan menyesatkan.  Sikap ini sangat bertentangan dengan ajaran agama sendiri yang mendidik umatnya untuk selalu menegakkan perdamaian antara sesama umat manusia.
Oleh karena itu pemahaman terhadap ajaran secara kompperhensif dan kontekstual (tidak sepotong-potong) merupakan kebutuhan yang amat mendasar. Malalui penguatan pemahaman ajaran seperti ini dapat mendorong umat beragama berwawasan luas dan bersikap terbuka. Tidak sedikit kandungan kitab suci yang mengajarkan perinsip penegakkan toleransi, demokrasi, dan ajara-ajaran tentang nasionalisme. Apabila semua ini dapat dilakukannya, niscaya konflik dan kekerasan yang selama ini  terjadi dengan mengatasnamakan agama  akan dapat dihindari. Adalah tugas para pemuka agama untuk meneladani atau memulainya. 

b.         Pelayanan publik yang adil
Pelayanan publik yang adil dan merata tanpa memandang perbedaan apapun dalam masyarakat, sangat dibutuhkan sebagai wujud penghargaan Pemerintah atas perbedaan yang terdapat dalam masyarakatnya. Tidak sedikit konflik yang lahir akibat senjangnya perlakuan Pemerintah dalam memberikan pelayanan publik. Pelayanan publik yang adil dalam arti memberikan pelayanan yang sama pada setiap warga negara tanpa membedakan status agamanya merupakan salah satu keharusan bagi Pemerintah selaku penyelenggara negara. Keadilan dalam pelayanan publik lebih lanjut akan membuat setiap pihak atau kelompok masyarakat, khususnya kelompok agama, merasa dihargai dan terakomodasi sebagai warga negara sehingga tidak muncul anggapan yang dapat mengarah pada keberpihakan Pemerintah pada satu kelompok agama tertentu saja. Pelayanan publik yang adil juga akan memberikan kepuasan pada masyarakat karena terpenuhi kebutuhannya untuk menopang aktifitasnya sehari-hari. Bentuk keadilan pelayanan publik dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia misalnya adalah dengan memberikan perlakuan yang sama pada setiap agama untuk melakukan aktifitas agama dan ajarannya tersebut sebagaimana telah diatur dan dilindungi oleh UUD 1945. Dalam hal ini Pemerintah berupaya untuk tidak mempersulit kebutuhan masyarakat terkait kegiatan ibadah mereka seperti pendirian rumah ibadah yang belakangan menjadi penyebab konflik antara dua kelompok agama. Pemerintah dengan demikian juga harus memastikan betul agar tidak ada kesalahan yang dapat memperlambat atau justru menghalangi setiap warga negara untuk melakukan aktifitas ibadah berdasarkan agama dan kepercayaannya masing-masing.

c.         Menguatnya komoditas regulasi
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat beragam sangat memungkinkan untuk terjadinya konflik, khususnya konflik antar umat beragama. Potensi konflik yang begitu terbuka ini harus diantisipasi sejak dini oleh Pemerintah selaku penyelenggara negara. Perangkat kebijakan dalam bentuk undang-undang yang meneguhkan UUD 1945 merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh karena jika terdapat peraturan yang tegas dari Pemerintah terkait implementasi kewaspadan nasional terhadap ancaman konflik antar umat beragama maka, ancaman konflik tersebut dapat diminimalisir dan ditindak tegas bila terjadi pelanggaran. Keberagaman yang dimiliki Indonesia harus terjaga dengan baik dalam bingkai kesatuan Republik Indonesia, oleh karena itu setiap tidanakan yang dapat memberikan ancaman terjadinya konflik antar umat beragama harus ditindak tegas oleh Pemerintah. Komoditas regulasi kerukunan hidup antar umat beragama yang kuat merupakan salah satu indikator yang dibutuhkan guna menjaga negara terhindar dari konflik antar umat beragama. Menghadapi kondisi bangsa yang sedemikian majemuk atau plural, dibutuhkan peraturan yang bersifat khusus mengatur tentang kehidupan umat beragama di Indonesia sebab, agama merupakan salah satu hal yang sangat sensitif bagi masyarakat kita. Kesahalan sedikit saja dapat berujung pada terjadinya konflik antar umat beragama. Indikator menguatnya komoditas regulasi juga menunjukkan bahwa niat Pemerintah dalam menciptakan masyarakat yang tertib dan hidup dalam kerukunan bukan semata opini akan tetapi mampu diturunkan dalam kerangka kebijakan perundang-undangan sebagai produk hukum untuk menindak tegas segala tindakan yang berpotensi memunculkan konflik antar umat beragama di Indonesia.

d.         Menguatnya nilai toleransi
Menghindari konflik antar umat beragama adalah upaya untuk menjalin kerukunan hidup antar umat beragama yang saling berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mendorong kerukunan hidup antar umat beragama nilai-nilai toleransi harus dibangun sebagai suatu kesadaran dalam diri masyarakat. Menguatnya nilai toleransi bisa dibangun melalui dunia pendidikan maupun sarana dan prasarana keagamaan dan serta kerjasama dalam menanggulangi kemiskinan.  Kapasitas kultural dan kualitas pemahaman  yang dimiliki pemuka agama dapat memberikan pendekatan secara lebih persuasif kepada masyarakat mengenai pentingnya menghargai perbedaan; duduk bersama antar komponen umat beragama untuk  merumuskan pemikiran dan membangun proyek pencerahan dan kesejahteraan umat.
Pemuka agama dalam kontek ini  memiliki peran cukup strategis dalam memupuk nilai-nilai toleransi kepada tiap umatnya. Nilai toleransi pada dasarnya ditekankan dalam agama manapun dan sangat mendukung terwujudnya implementasi kewaspadaan nasional terhadap ancaman konflik antar umat beragama. Masyarakat yang memiliki nilai toleransi tinggi juga merupakan salah satu goal yang ingin diwujudkan pada awal didirikannya bangsa ini yang termaktub dalam Pancasila sebagai dasar negaranya. Kondisi masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dengan demikian merupakan suatu capaian yang ingin digapai sejak dulu dan akan tetap relevan untuk masa depan mengingat tingkat keberagaman masyarakat Indonesia yang cukup tinggi.
 
22.       Kontribusi implementasi kewaspadaan nasional terhadap ancaman konflik antar umat beragama bagi peningkatan kualitas pemuka agama dan pembangunan nasional.
a.         Kontribusi Implementasi Kewaspadaan Nasional terhadap peningkatan kualitas pemuka agama.
Implementasi kewaspadaan nasional terhadap ancaman konflik antar umat beragama jelas memilki pengaruh dan kontribusi besar terhadap peningkatan kualitas pemuka agama dan pembangunan nasional. Indonesia yang menganut falsafah Pancasila, memberikan posisi yang amat penting bagi semua agama yang dianut masyarakatnya, dan menuntut dari agama dan agamawan peranan yang besar dalam membangun bangsa dan negara, sesuai dengan fungsi agama yaitu untuk menata urusan manusia guna mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan di akherat. Hal ini menunjukkan korelasi positif antara negara dan agama dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan negara dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan dalam hal ini dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat dan negara melalui komponen agama dalam bingkai kesatuan Republik Indonesia. Berbicara mengenai agama dan pemerintahan, terlebih dahulu perlu digarisbawahi bahwa agama sangat menekankan perlunya kehadiran pemerintahan demi menata kehidupan masyarakat, bahkan demi terlaksananya ajaran agama itu sendiri. Agama mempunyai peranan yang penting dalam masyarakat. Agama memiliki nilai-nilai yang dapat memberi sumbangan dalam segala aspek kehidupan masyarakat, baik aspek sosial, ekonomi, budaya, dan politik dimana nilai-nilai tersebut disampaikan oleh pemuka agama kepada umatnya.
Dalam hal ini, implementasi kewaspadaan nasional terhadap ancaman konflik antar umat beragama memberikan kontribusi yang besar bagi pengingkatan kualitas pemuka agama karena sebagaimana telah dikatakan sebelumnya di atas bahwa, pemuka agama memiliki peran cukup strategis dan oleh karenanya perlu untuk ditingkatkan kualitasnya. Pemuka agama sudah selayaknya dilibatkan dalam meningkatkan kewaspadaan nasional terhadap ancaman konflik antar umat beragama karena posisi pemuka agama di mata masyarakat sangat dihormati dan dijadikan panutan. Dengan kata lain, pemuka agama memilki kapasitas kultural yang akan lebih mudah diterima masyarakat. Oleh karena itu peningkatan kualitas pemuka agama perlu mendapatkan porsi perhatian cukup serius karena apa yang dilakukan oleh pemuka agama benar-benar dapat secara masif mempengaruhi kesadaran umat beragama di Indonesia. Jika pemuka agamanya sendiri tidak memiliki kesadaran untuk membangun kewaspadaan nasional, maka akan diikuti oleh umatnya, bahkan bisa jadi lebih parah dan bertindak anarkis seperti yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan ini.
Peran para pemuka agama dalam implementasi kewaspadaan nasional mempunyai tanggungjawab untuk membina dan meningkatkan kerukunan hidup antar umat beragama sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati. Pemahaman dan penghayatan agama bagi pemuka agama harus didorong  pada pemahaman yang lebih kontektual, aktual  dan  komperthensif utamanya dalam menyahuti (menyikapi) tatanan kehidupan bermasyarakat. Untuk itu maka pendidikan agama harus digunakan sebagai proses penyadaran masyarakat bagi terbentuknya kehidupan sosial dan kerukunan masyarakat yang lebih baik lagi. Pembangunan sosial melalui pendekatan agama yang digalang oleh para pemuka agama ini pada nantinya diarahkan pada pembentukan masyarakat yang partisipatif, rukun, peduli, mandiri, dan demokratis sebagai bentuk kewaspadaan nasional dalam mengantisipasi berbagai potensi konflik di masyarakat, khususnya konflik antar umat beragama.
Upaya tersebut akan meminimalisir serangkaian konflik antar umat beragama yang belakangan kembali merebak. Jika Pemerintah mau bertindak tegas dan memberdayakan seluruh komponen masyarakat, khususnya para pemuka agama maka potensi konflik seperti yang terjadi pada beberapa kasus yang telah diungkapkan di atas sebelumnya akan dapat diminimalisir. Pada hakekatnya, setiap masyarakat mendambakan kehidupan yang rukun, terbebas dari segala macam bentuk konflik. Di dalam suatu masyarakat yang rukun, maka pembangunan akan dapat dilakukan secara maksimal.

b.         Kontribusi implementasi Kewaspadaan Nasional tehadap Pembangunan Nasional
Kerukunan merupakani prasyarat utama bagi keberlangsungan agenda pembangunan nasional. Jika masyarakat selalu dalam kondisi konflik, maka pasti tidak akan dapat dilakukan pembangunan. Bahkan andaikan masyarakat tersebut sudah melakukan pembangunan dan kemudian terjadi konflik yang berakibat pada kerusakan fisik, maka akan terjadi proses pembalikan sejarah. Artinya, pembangunan yang sudah dilaksanakan tersebut akan kembali ke keadaan puluhan tahun sebelumnya. Dengan kata lain, konflik kerukunan antar umat beragama maupun konflik masyarakat lainnya bukan hanya menghambat laju pembangunan nasional, konflik akan membuat situasi sosial menjadi mundur ke belakang.
Pembangunan Nasional yang bertujuan antara lain mencerdaskan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum amat membutuhkan kondisi keamanan yang kondusif sehingga semua yang diprogramkan dalam pembangunan berjalan lancar. Kewaspadaan Nasional sebagai langkah konsepsional yang mengandung peningkatan kualitas kesiapan dan kesiagaan menghadapi berbagai bentuk ancaman, dengan sendirinya dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi keberlangsungan pembangunan nasional. Kontribusi yang dimaksud meliputi; tingginya keamanan karena terhindarnya keresahan dan konflik sosial, komponen penggerak pembangunan yang meliputi transportasi, aktifitas ekonomi, aktifitas pendidikan, dan infra struktur pembangunan dapat berjalan dengan baik. Demikian kontribusi implementasi Kewaspadan Nasional terhadap pembangunan Nasional.
   
23.       Indikator keberhasilan
            Keberhasilan impelementasi Padnas terhadap konflik antar umat beragama akan tergantung pada kondisi penciptaan keamanan di daerah konflik.  Masyarakat baik yang berada di daerah konflik maupun yang berada di luar merasakan adanya kenyamanan, tidak dihantui perasaan mencekam dan takut dalam menjalankan segala aktifitas kehidupannya. Umat beragama pun dapat menjalankan ibadah dengan leluasa tanpa ada saling mencurigai antara sesamanya. Semua yang berkaitan dengan pelayanan publik tidak terhambat tetapi dapat disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkannya.
            Padnas sebagai bagian dari upaya kesiagaan dalam mewujudkan keamanan perlu dibudayakan di tengah-tengah masyarakat sehingga tercipta suatu rasa kepekaan, rasa tanggap, dan tanggung jawab untuk secara dini memelihara keamanan dan menjaga  keutuhan NKRI. Dengan penciptaan kondisi yang terjaga dan aman dari konflik antar umat beragama,  diharapkan pembangunan nasional akan berjalan mantap dan kesejahteraan masyarakat pun meningkat. Dalam kontek konflik antarumat beragama  yang terjadi di daerah maupun kota, berikut ini dapat dikemukakan indikator keberhasilan implementasi Padnas:

a.         Masyarakat memiliki pemahman luas terhadap ajaran agamasebagai pedoman hidup.
            Umat beragama yang telah memiliki pemahaman ajaran agama dengan luas diharapkan akan memiliki sikap terbuka berlandaskan keimanan, ahlak dan keilmuannya yang berwawasan luas.  Semua ini menjadi modal di dalam menyikapi kehidupan berbangsa dan bernegara. Umat beragama dengan ajarannya akan sadar bahwa membela negara secara bersama-sama tanpa membedakan golongan, budaya, agama dan suku merupakan misi suci ajarannya. Dalam kondisi demikian masyarakat  beragama terhindar dari sikap sekretarian, eklusif, dan radikal. Di dalamnya tumbuh tekad dan niat tulus untuk bersama-sama memecahkan dan mengatasi permaslahan sosial dalam wujud sebagai berikut :
1)     Sesama umat beragama saling kerja sama membangun sarana ibadah.
2)     Umat beragama bekerjasama menegakkan dakwah dan pembangunan.
3)     Sikap keberagamaan yang radikal dan eklusif berkurang dan berangsur-angsur menghilang.
4)     Partisipasi umat beragama dalam membela negara meningkat ditandai dengan kerjasama meningkatkan keamanan baik dari ancaman kejahatan teroris maupun kejahatan kriminal lainnya.

b.         Terlaksananya pelayanan publik dengan adil          
            Pelayanan publik sebagai bentuk upaya pelayanan untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat merupakan suatu kewajiban yang tidak boleh diabaikan. Dalam hal kehidupan umat beragama, pelayan publik sudah semestinya diberlakukan kepada semua umat beragama tanpa adanya diskriminasi. Artinya pelayanan berlaku tanpa mengutamkan kepada agama tertentu dengan mempertimbangkan kuantitas jumlah antara mayoritas dan minoritas.
Oleh karena itu, semua agama resmi di Indonesia baik Islam, Keristen, Hindu, Budha maupun kepercayaan lain seperti Konghuchu agar diperlakukan secara adil. Pelayanan yang adil tanpa diskriminasi merupakan bagian dari cara menghindari konflik antar umat beragama. Indikator adanya pelayanan publik ditandai dengan hal-hal sebagai berikut;
1)    Setiap umat beragama baik yang minor maupun  yang mayor   diberi hak yang sama berupa hak beribadah, hak mendapat kesehatan, hak mendapatkan perlindungan dan keamanan.
2)    Semua umat beragama tanpa hambatan dapat membangun sarana ibadahnya berdasarkan hak dan kewajibannya masing-masing.
3)    Semua umat beragama mendapat bantuan dari pemerintah baik moril maupun matrial.
4)    Semua umat beragama tanpa ada perbedaan mendapatkan hak fasilitas untuk bekerja dan berusaha baik di instansi pemerintah maupun di swasta.

c.         Umat beragama memiliki regulasi yang adil
Kehidupan beragama di Indonesia menjadi kondusif karena telah memiliki regulasi (aturan) yang lahir atas dasar keputusan politik yang tidak bertentangan dengan hak kebebasan beragama. Regulasi ini lahir untuk memenuhi aspirasi semua umat beragama berdasarkan kesepakatan, kepentingan dan hak yang sama tanpa membedakan satu sama lain. Indikator ini ditandai dengan hal-hal sebagai berikut :
1)    Umat beragama diberi kebebasan untuk menganut agama dan kepercayaanya masing-masing tanpa adanya saling menggangu dan saling curiga.
2)    Umat beragma tanpa ada halangan dan larangan untuk menyiarkan ajaran agamanya dengan baik dan tanpa paksaan.
3)    Umat beragama maupun kepercayaan lain dapat melaksanakan upacara-upacara keagamaan sesuai dengan tradisi dan adat yang tidak bertentangan dengan norma pancasila.
4)    Umat beragama diberi hak untuk melaksanakan kegiatan administrasi perkawinan. Bagi umat Islam dilaksankan di Kantor Urusan Agama, sedangkan bagi non muslim di kantor catatan sipil.

d.         Toleransi umat beragama terwujud
            Toleransi antar umat beragama terjadi tidak sekedar memenuhi prosedur yang berlaku tetapi lahir atas dasar ketulusan berdasarkan kaedah-kaedah yang telah ditetapkan ajaran. Toleransi ini terwujud tidak untuk sublimasi sesaat tetapi didorong untuk bersama-sama membangun misi kemanusiaan yang bersifat uniiversal. Dalam misi ini diprogramkan kerjasama kreatif tidak hanya  untuk kegiatan-kegiatan seremonial tetapi juga kegiatan-kegiatan guna menanggulangi problema kehidupan yang menimpa umat manusia.  Indikatornya ditandai dengan :
1)    Penganut agama yang terdiri dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan kepercayaan bersama-sama mengikuti perayaan keagamaan dari salah satu agama.
2)    Terwujudnya kerjasama antara penganut agama untuk menjawab tantangan baru baik dalam level nasional maupun internasional. Seperti antara lain memecahkan problema ketidakadilan, terorisme internasional,kemiskinan struktural, sekularisme dan lain-lain.
3)    Terwujudnya dialog yang bersifat sejati meliputi keterbukaan terhadap pihak lain, kerelaan berbicara dan memberikan tanggapan kepada pihak lain dan saling percaya bahwa kedua belah pihak memberikan informasi yang benar dengan caranya sendiri.
4)    Terwujudnya saling tolong menolong dalam wujud kegiatan sosial yang didasari kerelaan dan ketulusan tanpa ada saling curiga. Seperti salah satu penganut agama mejenguk penganut agama lain yang sakit, membantu modal usaha, membantu dana pendidikan dan lain-lain.
5)    Terwujudnya kerjasama menyelengarakan pendidikan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM baik untuk segmen masyarakat umum maupun segmen pemuka dan pimpinan agama.


                [1]Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Sosial : Psikologi Kelompok dan Psiklogi Sosial, hal 87-88 (Balai Pustaka), 2005.
                [2]Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tantang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderena, hal 81-87  (Yayasan Paramadina), Jakarta, 1992.  
                [3]Menyadari dampak negatif ini beberapa tokoh Kristen melakukan refleksi mendalam tentang esensi misi yang sesuai dengan tuntunan masa kini. Mereka berupaya untuk memperkenalkan  suatu paradigma baru dengan menawarkan teologi misi yang dapat mempertahankan aspek positif dan mengikis dampak negatifnya. Selanjutnya lihat Alwi Shihab, op-cit., hal. 126

Tidak ada komentar:

Posting Komentar