Kamis, 29 Desember 2011

AL- QURAN TEK MANUSIAWI

Oleh Fauzul iman
                Al-Quran  secara ethimologis berasal dari kata qara’a - yaqra’u, qira’atan, qur’anan.  Para ulama mendefinisikan kata qar’a dengan menghimpun atau mengumpulkan. Nasir hamid tidak sepakat dengan makna mengumpulkan karena turunnya al-Qur’an di tengah masyarakat yang berulang ulang menggunakan teradisi lisan. Ia cendrung memaknai kata qaraa dengan mengulang-ulang. Pendapat Nasir ini logis bila dipahami dari sisi penyampaian wahyu yang berulang kepada Nabi bahkan dari segi isinya pun kerap kali berulang. Misalnya al-Qur’an berulangkali mengungkap  kisah Nabi dengan tema yang sama dalam beberapa surat. Surat al-Fatihah bagian dari al-Qur’an juga disebut dengan tujuh yang berlang-ulang karena kandungannya banyak tersebar pada batang tubuh -ayat al-Qur’an
                Al-Qur’an memang pedoman hidup umat manusia yang menggambarkan realitas yang selalu berulang.  Nabi SAW sendiri sebagai penerima wahyu adalah mahluk realitas yang selalu berulang melakukan aktivitas sosial dan menyaksikan peristiwa baik dan buruknya kehidupan. Oleh karena itu Allah sebagai Zat Yang Maha Suci merindukan realitas kebaikan sehingga perlu mengutus Nabi (mahluk realitas) yang bertugas melakukan perbaikan dan mewujudkan tatanan realitas yang berkeadaban. Al-Qur’an sebagai pedoman yang berhadapan dengan realitas berulang akan menyesuaikan isi dan pesannya dengan struktur pemahaman dan kebudayaan (peradaban) realitas itu sendiri.
                Pesan al-Quran  itu dimaksudkan agar dapat dipahami oleh tingkatan-tingkatann manusia sesuai dengan batas-batas realitas yang dihadapinya.  Nabi Muhammad orang pertama yang mendapat mandat/otoritas untuk menjelaskan pesan Al-Qur’an sangat dibatasi oleh realitas dimana ia lahir dan bermukim. Ulama sebagai pelanjut tafsir mendapat batasan konteksi yang sama sebagaimana generasi umat berikutnya akan memahami al-Qur’an sejalan dengan realitasnya. Inilah yang dimaksud dengan Ibnu Qayyem al-Jawziyyah bahwa syari’at Islam merupakan syari’at yang tepat dengan perkembangan zaman.
                Ketepatan Al-Qur’an dengan perkembangan zaman ditandai oleh kesediaannya untuk ditafsir. Kebutuhan Al-Qur’an pada tafsir sangat erat dengan seluruh kandungannya yang diberikan buat umat manusia. Semua kandungan al-Qur’an baik yang berbentuk postulat, yang normative, kongkrit dan yang abstrak disediakan buat kepentingan manusia. Ajaran tentang yang ghaib seperti Allah, malaikat, akherat, surga, neraka, jin dan setan semuanya dijelaskan untuk kepentingan manusia. Apalagi ajaran kongkrit yang berkaitan dengan aspek kehidupan di dunia. Keseluruhannya bukan untuk Allah tetapi untuk umat manusia mencapai kejayaaannya sebagai ciptaan ALLah SWT. Oleh karena itu tidak ada  yang namanya Qura’n Allah yang ada Qura’n untuk manusia. Sebagaimana tidak ada hukum Allah yang ada adalah hukum untuk manusia ( Q.S. 17 :9).  
                Keleluasan Al-Qur’an ini merupakan hikmah dari Allah untuk mengundang para pemikir (penafsir) agar tidak takut menafsirkan (memahami) al-Qur’an dari berbagai disiplin ilmu dengan metode yang baik dan benar. Para mufassir diperkenankan memahami tek al-Qur’an apa adanya sebagaimana tek manusawi bukan tek untuk Allah. Pemahaman seperti ini akan membawa nuansa baru dalam kajian al-Qur’an untuk mendapatkan rahasia dan segala dimensi keilmuan  yang terkandung dalam al-Qura’n.  Bukan cara pemahaman seperti yang ditawarkan Imamm Humaeni  agar para mufasir terlebihdahulu  mampu memahami makna batin al-Qur’an. Tawaran Humaeni ini untuk tahapan pengembangan keilmuan sulit dilakukan sampai kapan seseorang telah dipandang memahami batin al-Qur’an. Apakah orang harus bertahun-tahun bersemedi mencari wangsit Tuhan sebelum menafsir al-Qur’an. Stelah itu ia diklaim sebagai manusia sacral  yang satu-satunya mendapat mandat paling istimewa untuk memahami al-Qur’an. Cara ini justru akan semakin menambah kesulitan ketika adanya problem baru yang menuntut pemecahan cepat tidak dapat dilakukan karena harus menunggu kedatangan ulama yang sedang bertapa.
                Pertanyaan berikutnya adakah ulama bertapa yang suci itu akan semakin membawa persoalan pelik mengingat umatnya tidak bisa mendapat pencerahan   sang ulama yang telah terbingkai oleh lilitan feodalisme keagaman. Di zaman Nabi saja hingga para sahabat tak akan pernah dijumpai ulama tafsir yang menggendong jangkar feodalisme dalam soal tugas menalar al-Qur’an. Tengok saja seperti  mufasir besar Ibnu Mas’ud, Ibu Abas dan Ibnu-Ibnu lainnya dalam jumlah berlapis-lapis mereka lebih elegan di tengah perwatakan egaliterianismenya dengan umat..        Ada banyak ulama yang memberi kualifikasi kemudahan untuk menafsir al-Qur;an. Al-Ghozali cukup mensaratkan dengan menguasai lima ratus ayat-ayat bidang  hukum. Yusuf Qardawi ulama  modern yang paling produktif pun berobsesi bahwa di zaman realitas aneka teknologi yang serba canggih ini, tidak ada kesulitan bagi para ulama untuk berijtihad—memahami al-Qur’an.
Tawaran ulama realitas ini logis karena di abad baru ini kita tidak akan menolak aneka rupa pemahaman al-Qur’an. Kemunculan gagasan baru untuk melawan misteri al-Quran dengan aneka bentuk metodologi sah-sah saja. Apakah kita akan menghindar dari tahapan alamiah sunatullahnya berfikir dari gaya nalar modernism, neo modernism, postmodernisme hingga sampai dekontruksismenya ala derida foucult. Tentu saja kita tidak boleh memerahkan jagat muka kita terhadap lahirnya metode ini. Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan kearifan metodologi nalar dengan membiarkan Mua’z bin Jabal berdialektika dengan realitas baru (ijtihad)  di kota Yaman  ketika di sana akan menghadapi persoalan baru yang belum ada ketetapannya dalam al-Qura’n dan Hadis.      
                Tafsir sebagai ilmu yang menjelaskan dan memah`ami kandungan al-Qura’n dengan menggunakan metode keilmuan al-Qur’an tidak akan berhenti dalam sebuah metoda yang statusquo. Dalam sejarahnya selalu berkembang dari satu metode ke metedo hingga  menemukan aneka macam metode keilmuan al-Qur’an yang baru. Pada mulanya metode tafsir diajarkan melalui dialog face to face antara Nabi dan para sahabatnya. Sepeninggal Nabi untuk menyatukan umat islam atas inisiatif Usman, Al-Qur’an menjadi bentuk mushaf. Di zaman Khalifah Ali muncul ilmu I’rab al-Qura’n yang meletakkan kaedah Nahwu dan cara pengucapan Al-Qura’n secara  baku dan tepat dengan tokohnya Abu Al-Aswad Ad-Du’ali. Perkembangan selanjutnya pada abad 3 H , lahir Ilmu Asbab An-Nuzul yang menafsirkan berdasarkan latar belakang dan kontek peristiwa turunnya ayat-ayat Al-Qura’n dengan tokohnya Ali bin Al-Madany.
                Zaman terus bergulir keinginan umat untuk mengungkap misteri kandungan al-Qura’n agar berdialog dengan realitas lebih banyak lagi sehingga pada saat itu muncul ilmu yang mengungkap keajaiban al-Qura’n ( Ajaib al-Qura’n), ilmu yang mengungkap kesamaran  al-Qura’n (Mubhamat al-Qura’n),  ilmu yang mengungkap kata yang sukar dipahami (musykil al-Qura’n),  ilmu revisi ayat al-Qura’n berdasarkan  kontek realitas  yang telah berubah (Nasikh mansukh) dan lain-lain. Kemunculan ilmu baru mengenai kajian al-Qur’an  sangat disadari  para ulama di zaman itu sebagai reaksi  terhadap perkembangan zaman dan realitas yang sangat niscaya sehingga tidak mungkin dihindari. Oleh karena itu penolakan  ilmu-ilmu baru mengenai al-Qura’n di zaman modern ini  merupakan sikap pengingkaran terhadap realitas sejarah.
Bertolak dari sejarah tersebut, maka kemunculan ilmu baru mengenai kajian (tafsir) al-Quran yang digagas oleh tokoh-tokoh kontemporer separti antara lain Amin al-Khulli ( kritik sastra al-Qura’n), Nasir hamid ( kajian hermeunitik  dibalik empirik  al-Qura’n sebagai produk budaya), Abid al-Jabiri (perumusan kaidah baru pembentukan hukum Islam), Arkun ( mengadopsi makna kalam Tuhan ke dalam realitas yang belum dan tak terpikirkan), Hasan hanafi (pembentukan turas baru islam),  Muhammad Shahrur dengan teori barunya Nazariyat al-Hudud (teori batas bawah dan batas atas), dan masih banyak yang lain seperti tokoh yang termuda Talat Hasan, semuanya merupakan pemikir baru yang tidak boleh dinafikkan karena telah turut mempersegar pemahaman al-Qura’n  dalam upaya memecahkan problem kemanusian. Pemikiran baru seperti inilah sangat layak kita kembangkan karena telah meletakkan al-Qura’n sebagai tek manusiawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar