Sabtu, 21 Januari 2012

Bangsa Pengejar Kuantitas


Hidup mengejar kuantitas yang diukur dengan angka atau jumlah bukanlah hal yang dilarang. Boleh saja setiap manusia mengejar statistika hidup dengan mengumpulkan dan menghitung aneka rupa harta milik yang serbawah. Seperti rumah besar, kendaraan mewah, kebun yang luas, pabrik besar (perusahaan), dan memiliki sejagat kuantum simbol seperti gelar dan pangkat. Namun, semua itu menjadi absurd bila yang bernama simbolitas angka itu tidak interaktif dengan nilai-nilai kehidupan umat. Agama mengajarkan perlunya umat manusia membangun hubungan dengan Allah dan menjaring kepedulian terhadap sesamanya.
Mengomentari (QS [3]: 112), Wahbah Zuhaili mengemukakan bahwa umat manusia akan terempas selamanya dalam penderitaan (kehinaan) manakala sisi kehidupannya lebih mengutamakan hubungan material simbolis (al-mu’amalah al-ramziyah). Sementara hubungan esensial (al-mu’amalah al-Madzmuniyyah) berupa komitmennya dengan perintah Allah terabaikan. Kecendrungan hidup mengejar “material simbolis” (angka) ketimbang kualitas tampaknya telah merasuk ke sebagian elite bangsa. Demi gengsi mereka mengejar tren hidup modern berupa harta dengan mengukir gaya konsumtif. Dari sisi kuantum kemewahan, mereka memang bangsa yang tengah mencapai puncak sukses. Namun, dari sisi interaksi dan komitmennya menegakkan kondusivitas, kohesivitas, dan kualitas kehidupan sosial patut dipertanyakan.
Fenomenanya dapat kita rasakan bagaimana karut-marutnya bangsa yang berada di tepi keresahan sosial dalam menggenggam keadilan dan kesejahteraan hidup. Akibatnya, di berbagai tempat terjadi kemerosotan indek kepuasan masyarakat yang berujung pada konflik mengerikan, seperti di Mesuji dan Bima. Belum lagi kasus penegakan hukum yang hingga kini masih dirasakan menjepit rakyat kecil. Ini menunjukkan betapa rapuh dan limbungnya sebagian kualitas elite bangsa dalam mengatasi keresahan masyarakat.
Peristiwa ini amat menyakitkan rakyat karena ternyata para pengejar kuantitas dari kalangan elite bangsa itu tak bernyali (lumpuh) mengatasi penderitaan rakyat. Ke mana saja nyali kemewahan mereka itu bersembunyi. Justru mereka lebih mampu mengatasi dirinya sendiri lewat simbol dan angka-angka kuantitas kemewahan dan kekuasaan. Namun, dengan kemewahan itu sebenarnya mereka telah menanggung “dosa sosial” lantaran tega membiarkan rakyat dalam kondisi kehidupan menderita dan tertindas.
Bagi para pengejar kemewahan (kuantitas), sadarlah bahwa kemewahan yang telah Anda genggam bukan mutlak milik sendiri. Tetapi, Allah yang telah memberikan kemewahan itu melalui rakyat kecil (buruh) yang telah bersusah payah membantu jabatan dan perusahaan Anda. Oleh karena itu agar Anda selamat, keturunan Anda bahagia, dan kondisi bangsa keluar dari jeritan penderitaan perkuatlah hubungan Anda dengan Allah dan umat. Kejarlah harta itu dengan jalan yang benar dan halal lalu perdayakanlah harta tersebut untuk membangun umat menuju kualitas kemakmuran, kejayaan, dan kedamaian bangsa. Jangan sampai masa tua Anda bernasib amat mengenaskan. (QS [2]: 266).

Kamis, 05 Januari 2012

MERAYAKAN PERBEDAAN UNTUK PERADABAN : UKHUWWAH ISLAMIYAH DI INDONESIA

Oleh : Fauzul Iman


I.     Pendahuluan
            Indonesia merupakan negara kepulauan  yang entitas dengan perbedaan baik dari sisi agama, social, politik maupun kebudayaan. Sebagai negara kepulauan yang besar dengan jumlah pulau sekitar 14.000 pulau,  jumlah penduduk 237 juta lebih dan 300 suku dengan menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda, Indonesia pada hakekatnya berpeluang besar untuk dapat membangun peradabannya[1]. Namun dengan entitasnya yang ragam tadi, diakui atau tidak dapat menimbulkan masalah sosial yang melibatkan konflik antar bangsa. Kasus kerusuhan yang merebak di berbagai daerah adalah salah satu bukti efek dari keragaman tadi. Belum lagi kasus kriminal dan pelanggaran etika yang melibatkan kaum elit seperti pelaku korupsi hingga kini masih menjadi persoalan yang belum kunjung usai.
Kenyataan di atas apapun kejadiannya merupakan dilema yang menuntut kearifan pemikiran dan regulasi spiritual. Dalam kontek ini, regulasi spiritual  sebenarnya telah lama dimiliki Indonesia berupa common platform umat yang disebut dengan pancasila. Regulasi spiritual ini hasil karya peradaban (hasil ijtihad) pemikir bangsa yang subtansinya diinspirasi oleh ajaran agama[2]. Singkatnya ajaran agama-- melalui pemikir bangsa-- telah meletakan fundamen kokoh bangsa (pancasila) untuk mengelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara tanpa melihat perbedaan suku, status sosial, politik bahkan agama itu senidiri. Berdasarkan fundamen ini, segenap bangsa berarti mendapat legalitas moral untuk hidup dalam perbedaan sekaligus diberi kebebasan untuk membangun peradabannya. Peradaban yang dimaksud di sini tentunya adalah berkaitan dengan kehidupan yang saling menghargai, menegakkan toleransi dan demokrasi serta membangun ide keilmuan  dan aksi untuk kemajuan dan peradaban bersama (umat)[3].
Umat islam Indonesia dengan mayoritas penduduknya menjadi strategis dan sekaligus tantangan dalam menghadapi keanekaan bangsa (pluralitas). Strategis karena dengan jumlah yang besar umat Islam dapat berperan menjadi pelopor penegakkan peradaban. Adapun tantangannya adalah pluralitas dan taraf kesejahteraan di tubuh umat Islam itu sendiri  yang belum dapat dikelola dengan kualitas SDM. Akibatnya setiap persoalan kebangsaan yang melibatkan konflik dari perbedaan tidak dihadapi dengan kualitas keilmuan (scientific problem).Akan tetapi kerap disikapi oleh sebagian umat dengan cara emosi yang dapat menegangkan publik. Cara yang tidak intelektual ini berimplikasi kepada munculnya tindakan sebagian umat Islam yang tidak berperadaban. Kasus  kekerasan yang bertypologi tawuran, demonstrasi liar, pengrusakan tempat ibadah,political mob dan terorisme ala bom bunuh diri, jelas akan merusak citra perbedaan untuk mewujudkan peradaban.
Makalah ini akan mencoba menjawab dua permasalahan pokok bagaimana kondisi perbedaan dan pengelolaannya di Indonesia saat ini, dan bagaimana perbedaan itu dapat mewujudkan peradaban berdasarkan ukhuwwah Islamiyyah

II.      Kondisi Perbedaan di Indonesia dan Pengelolaaannya saat ini
Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang telah berpengalaman menghadapi perbedaan. Sejak era Orde baru  perbedaan di antara bangsa  baik yang menyangkut perbedaan etnis, agama, politik, sosial, ekonomi dapat diatasi oleh bangsa dan pemerintah. Persoalannya sejauh mana pengeloalaan perbedaan itu efeknya dalam menjaga kelanjutan konsistensi keharmonisan di antara sesama bangsa. Realitas yang terjadi justru konsistensi tadi ternafikan oleh regulasi otoritas orde baru yang sangat represif . Tidak sedikit regulasi (undang-undang) yang dibuat oleh negara dirasakan   rakyat sangat mengekang kebebasan untuk  menikmati perbedaaan itu sendiri. Pada akhirnya perbedaan bukan lagi dihargai oleh negara sebagai entitas yang dihormati tetapi menjadi barang najis yang harus ditumpas dari bumi Indonesia.[4]
Efek dari tindakan negara yang tidak demokratis itu, rakyat semakin terdesak oleh super power negara yang berakibat rakyat menderita karena terjadi penindasan. Tak urung konflik horizontal pun muncul dengan amat mengerikan sehingga pada akhirnya konflik itu mengarah ke pemerintah secara vertikal. Pada kondisi ini tak pelak lagi, pemerintah Orde baru harus digulingkan  dengan tuntutan perlunya agenda  reformasi dalam segala aspek kehidupan. Reformasi itu disatu sisi menggembirakan rakyat karena negara bersedia menciptakan regulasi yang adil, demokratis dan tidak diskriminatif. Melalui regulasi ini rakyat diberi kebebasan menyampaikan aspirasi ke ruang public yang klimaknya negara mengizinkan berdirinya partai-partai baru dan organisasi dari berbagai latar belakang dan aliran. Bahkan negara pun dengan desakan rakyat dapat membentuk Undang-Undang tentang otonomi daerah.
Namun regulasi ini ternyata tidak mampu menghasilkan sebuah konsorsium pemerataan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan khususnya komunitas-komunitas minoritas.  Reformasi yang bergulir ternyata tidak memberikan solusi bagi konflik yang terjadi di negeri ini. Sebagai contoh, konflik yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia dimulai dari Aceh, Ambon, Kalimantan, Poso, Papua dan baru-baru ini merembet ke wilayah Jawa Barat.[5]  Konflik antar agama menjadi isu terkini yang selalu actual ketika dibicarakan. Hal ini dikarenakan bahwa isu sara menjadi seperti api dalam sekam yang menyimpan bara permusuhan dan petikaian. Isu sara itu berpotensi membakar dan memunculkan pertikaian dan pertentangan yang mengancam keutuhan umat berbangsa dan bernegara. Dalam faktanya konflik yang terjadi tidak hanya antar umat beragama, namun juga berkembang di tubuh umat Islam sendiri. Kita lihat konflik terjadi di mana-mana, di Lombok jamaah Salafy yang diusir dari tempat tinggalnya, kemudian Ahmadiyah juga menjadi sumber masalah di Lombok. Di Ambon pun letupan-letupan konflik terus berlangsung dan terakhir peristiwa di Cikesik Pandeglang Banten yang merupakan bentuk dari konflik intern umat Islam. Permasalahan yang muncul memang konflik horizontal yang terjadi antara umat Islam yang telah mengarah kepada bentuk anarkisme dan egoisme mayoritas, khususnya terhadap kasus-kasus yang terjadi dengan komunitas minoritas. Bukanlah sikap yang arif ketika sebuah perbedaan yang terjadi disikapi dengan anarkisme dan premanisme, apalagi sampai memakan korban.
Boleh jadi beberapa pihak akan mengklaim bahwa konflik yang terjadi di Indonesia terkait erat dengan pihak ketiga yang memprovokasi. Namun tentu bukan sesuatu yang elegan ketika konflik terjadi di wilayah sendiri kemudian menyalahkan pihak lain[6]. Klaim ini bisa benar dan bisa salah, namun yang lebih pasti adalah bahwa konflik tersebut dilakukan oleh masyarakat Indonesia sendiri, sehingga diagnose yang efektif adalah pada masayarakat itu sendiri. Lantas bagaimana pengelolaan konflik yang efektif agar seluruh lapisan masyarakat merasakan kedamaian dan mendapatkan haknya masing-masing?
Sebelum  membahas bagaimana pengelolaan konflik yang efektif, terlebih dahulu kita flash back sejenak ke akar permasalahan konflik tersebut. Bila kita telisik lebih mendalam kita lihat akar permasalahan dalam setiap konflik yang ada adalah kesenjangan yang terjadi di masyarakat. Kesenjangan yang dimaksud tidak hanya dalam hal ekonomi, namun juga terkait erat dengan kesenjangan dalam bidang sosial, kebudayaan dan agama. 
Indonesia sebagai sebuah negara besar sejatinya memiliki satu budaya yang bisa menjadikan solusi bagi problema bangsa ini. Sikap masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi rasa toleransi dan saling menghormati antara berbagai keyakinan dan kebudayaan adalah kunci dalam menyelesaikan problem bangsa ini. Kearifan local (local wisdom) yang tumbuh dan berkembang di seluruh ranah nusantara adalah warisan leluhur yang harus senantiasa dilestarikan. Beberapa kearifan lokal yang dapat menjadi pijakan dalam penyelesaian berbagai konflik tersebut adalah :
1.      Sikap Masyarakat Indonesia yang terbuka dengan budaya lain
2.      Perilaku ramah dari masyarakat Indonesia tercermin dari berbagai semboyan masyarakat adat yang terkristalisasi dalam Bhineka Tunggal Ika
3.      Mayoritas masyarakat Indonesia yang muslim juga memberikan sumbangsih perdamaian yang besar, misalnya bagaimana umat Islam Indonesia menerima demokrasi sebagai bagian dari perpolitikan nasional.
Bangsa Indonesia sedari dulu masyhur dengan sikap ramah tamah, sopan santun dan hidup dalam atmosphere multikulturalisme.  Tidaklah heran jika di negeri ini begitu banyak berkembang jenis agama dan keyakinan. Semuanya diterima dengan suka cita oleh bangsa ini. Mereka meyakini bahwa agama selalu mengajak kepada keadaan yang lebih baik dan menjadikan para pemeluknya sebagai orang baik. Maka pengelolaan perbedaan yang dapat ditawarkan di sini yang pertama adalah penggalian kembali nilai-nilai kearifan local yang selama ini menjadi ciri khas dan perabadan bangsa Indonesia. Bisa jadi selama ini kearifan tersebut telah tertutupi oleh berbagai pemahaman yang kurang tepat dalam menafsirkan teks-teks suci agama. Penggalian kearifan lokal sendiri meliputi berbagai bentuk penyadaran dan rethinking mengenai kebudayaan Indonesia. Misalnya di bidang pendidikan pemerintah saat ini tengah gencar-gencarnya mensosialisasikan model pendidikan berkarakter.[7] Maksudnya di sini adalah pendidikan yang berbasis karakter murni bangsa Indonesia yang penuh dengan keramahan, kedamaian dan rasa saling menghormati. Kita tidak perlu silau dengan berbagai peradaban luar yang tampak gemilang dan merasa apriori dengan budaya bangsa sendiri. Para leluhur kita telah mencapai ke puncak peradaban, dan tugas kita untuk kembali membangkitkannya lagi.  
Solusi kedua yag ditawarkan adalah dengan pendekatan ukhuwah Islamiyah dalam ruang lingkup keislaman. Sebagaimana telah mafhum bahwa dalam Islam telah diatur bagaimana pengelolaan perbedaan dalam rangka mewujudkan perdamaian bersama. Dalam Islam diatur tidak hanya hubungan antara umat Islam, melainkan juga hubungan dengan penganut agama lain dan bahkan seluruh makhluk yang ada[8]. Menyitir pendapat yang dikemukakan oleh Quraisy Syihab bahwa seluruh makhluk yang ada di muka bumi adalah ciptaanNya dan mereka adalah makhluk seperti manusia, karena itu perlakuan terhadap mereka haruslah sama. Sama dalam artian berkeadilan dalam melakukan interaksi dengan mereka, tidak saling menghina, mengintimidasi dan saling menjatuhkan.
Lantas timbul pertanyaan, model ukhuwah Islamiah seperti apa yang dimaksud? Bila selama ini kita memahami bahwa ukhuwah Islamiyah hanya sebatas hubungan internal antar umat Islam, maka sudah saatnya kita meredefinisi istilah ini. Ukhuwah Islamiyah adalah sebuah ikatan yang dianjurkan oleh Islam, tidak hanya intern antar sesama muslim namun juga ekstern dengan seluruh umat manusia yang ada. Maka bisa dipahami bahwa model ukhuwah Islamiyah yang dimaksud adalah bentuk dari ikatan yang menjadikan setiap makhluk terikat dengan yang lainnya dalam bingkai ketuhanan[9]. Dalam hal ini redefinisi yang dimaksud adalah ukhuwah Islamiyah sebagai persaudaraan tidak hanya dalam intern Islam (sesama Muslim) akan tetapi juga persaudaraan dengan seluruh makhlukNya.
Pemahaman ini bisa kita kaji lebih mendalam dari rangkaian kata “Ukhuwah Islamiyah”, kata islamiyah yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai adjektifa sehingga ukhuwah Islamiyah berarti persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam. Hal ini didasarkan pada dua alasan : Pertama : Al-Qur’an dan Al-Hadits memperkenalkan bermacam-macam persaudaraan. Kedua: Karena alasan kebahasaan yaitu dalam bahasa Arab kata sifat selalu harus disesuaikan dengan yang disifatinya. Jika yang disifati berbentuk indefinitif maupun feminism, kata sifatnya pun harus demikian dan hal ini terlihat jelas dalam kalimat ukhuwah Islamiyah dan al-ukhuwah al-Islamiyah. Sebagai bukti kedua alasan tersebut adalah firman Allah ta’ala dalam Al-Qur’an Surat Al-A’raf : 65, Allah menyebutkan kaum ‘Ad yang durhaka kepada nabi mereka namun dalam konteks ini mereka juga adalah akh (saudara). Demikian juga dalam QS Shaad : 23 “Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing betina, dan aku mempunyai seekor saja, maka dia berkata “Serahkan kambingmu itu kepadaku” dan dia mengalahkan aku di dalam perdebatan. Maksudnya adalah walaupun terjadi perselisihan di antara mereka namun tetaplah mereka saudara dalam bingkai kemasyarakatan.
Karena itu redefinisi dari kalimat ukhuwah Islamiyah seharusnya dimaknai dengan persaudaraan yang diajarkan oleh Islam. Dan persaudaraan yang diajarkan oleh Islam tersebut adalah persaudaraan antara sesama makhluk Tuhan. Dari sini dapat dikembangkan bagaimana ukhuwah Islamiyyah dapat dijadikan acuan dalam merangkai perdamaian bagi seluruh umat manusia. Dalam skala yang lebih regional bahwa sudah seharusnya ukhuwah Islamiyah menjadi inspirasi bagi perdamaian di Indonesia ini. Tentunya tidak hanya antara sesama umat Islam namun juga dengan agama lainnya.[10]
Dua pendekatan ini dapat diramu dalam sebuah wacana ukhuwah Islamiyyah yang dibangun dari puzzle kearifan lokal yang ada di nusantara ini. Rancang bangun ukhuwah Islamiyah berbingkai kearifan local sebenarnya bukanlah hal baru dalam masayarakat Indonesia. Pada masyarakat di Papua Barat mereka memiliki satu pepatah toleransi yaitu “Satu Tungku Tiga Batu” maksud dari pepatah ini adalah bahwa kita adalah satu walaupun berbeda keyakinan. Dalam hal ini tentu saja bukan untuk menyamakan seluruh agama, walaupun kita ketahui bahwa setiap agama juga mengajarkan kebaikan kepada seluruh pengikutnya. Artinya bahwa walaupun kita berbeda keyakinan, namun tidak menghalangi untuk selalu berbuat baik kepada siapa saja yang ada di negeri ini karena mereka juga saudara kita dan makhluk ciptaan Tuhan. Kearifan local dalam bentuk gotong-royong dalam memabangun rumah seharusnya juga tetap dipertahankan, karena hal ini telah dilakukan oleh masyarakat kita sejak dahulu kala tanpa melihat perbedaan suku rasa dan agama. Model ukhuwah Islamiyyah berbasis kearifan local ini menjadi mudah diimplementasikan karena walaupun secara teori adalah sesuatu yang baru  namun secara sosial kemasyarakatan telah dipraktekan dalam keseharian masyarakat Indonesia.
Bagaimana dengan di Jawa Barat dan khususnya di Banten? Maka secara historis pada umumnya masyarakat Indonesia terbiasa dengan sikap hidup senasib dan sepenanggungan maka demikian juga yang terjadi pada suku Sunda yang tinggal di tatar pasundan ini. Lihatlah bagaimana nenek moyang kita bahu membahu dan saling menghormati keyakinan masing-masing. Lihatlah suku Badui yang tetap harmonis dengan umat Islam walaupun berbeda keyakinan. Demikian pula umat Islam menghormati penganut agama lain dengan penuh kesadaran.



III.       Merayakan Perbedaan Untuk Peradaban
Bangsa Indonesia adalah bangsa besar, mengutip pendapat Profesor Arisio Santos dari Brasil bahwa bangsa Indonesia adalah pewaris dari Peradaban Atlantis yang menjadi sumber bagi seluruh peradaban yang ada di dunia. Maka hipotesa Santos bukanlah omong kosong, Indonesia dengan masyarakat yang plural telah sejak berabad lalu memiliki kebudayaan yang menjujung tinggi asas perbedaan. Ketika saat ini perbedaan sangat kentara pada setiap ruang public maka sudah seharusnya masyarakat Indonesia kembali untuk melihat  warisan adi luhung bangsa ini, khususnya mengenai penerimaan terhadap segala bentuk pemahaman yang berbeda.
Kembali menengok ukhuwah Islamiyah dalam bingkai kearifan local yang ada di Indonesia, ini adalah solusi tepat bagi segala bentuk konflik dan perselisihan di negeri ini. Banyak sekali kearifan local yang dapat menjadi pilar bagi ukhuwah Islamiiyah, sebagai contoh, masyarakat di Papua Barat memiliki satu pepatah yaitu “Satu Tungku Tiga Batu”, di Palembang terkenal dengan “Wong Kito Galo” semua kita adalah saudara, pada suku Jawa dengan “Wonge Dewe” orang kita, pada suku Bangka Belitung dengan sebutan “Sarumpun Sabalai”satu rumah, pepatah seperti ini menyebar pada setiap suku bangsa yang ada di Indonesia[11]. Perlu diingat bahwa konteks dari pepatah tersebut tidak membedakan apakah seseorang itu memiliki kesamaan agama dan keyakinan karena dalam perkembangan yang mutakhir siapa saja yang menjadi dari bagian suatu suku di Indonesia maka mereka semua adalah saudara. Dan pepatah-pepatah ini pula yang menjadi dasar bagi munculnya semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Intinya adalah bahwa masyarakat Indonesia telah terbiasa dalam kehidupan yang berdampingan dengan komunitas lainnya, entah itu komunitas yang berbeda dari segi agama, keyakinan, budaya dan sosial kemasyarakatnnya. Adanya suku bangsa di Indonesia yang begitu banyak adalah bukti dari multikulturalisme yang ada di Indonesia. Mereka hidup berdampingan dan berinteraksi antara satu suku dengan suku yang lainnya. Dari sini tentunya kita telah melangkah lebih dulu dibanding barat yang terseok-seok dalam mengenalkan multikulturalisme kepada warga dunia.
Dalam kaca mata Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Allah ta’ala berfirman dalam QS Al-Hujuraat 13:

“Sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa) dan telah menjadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa agar kalian saling mengenal, sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian”.
Kita sudah sering membaca ayat ini namun, sering kali  dilanggar. Dalam ayat ini jelas sekali Allah ta’ala memberikan statement bahwa adanya perbedaan yang terjadi adalah sesuatu yang harus dimaklumi, ia adalah sunatullah yang menjadi salah satu bentuk kuasaNya. Perbedaan dalam kacamata Islam adalah sebuah anugerah bukan musibah. Ia adalah anugerah yang diberikan kepada orang beriman agar memahami apa tujuan dari banyaknya perbedaan yang terjadi. Akhir dari ayat ini juga menyebutkan bahwa sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang bertakwa. Namun apa ciri-ciri orang mulia tersebut? Jawabannya adalah kalimat sebelumnya yaitu mereka yang dapat memahami (dalam makna yang luas “merayakan”) perbedaan yang terjadi di masyarakat. Dalam ayat yang lainnya Allah ta’ala berfirman :

Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu mengenai pemberianNya, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. QS Al-maidah : 48.
Dari sini seorang muslim dapat memahami adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada di luar kehendak Ilahi. Kalaupun nalarnya tidak memahami kenapa Tuhan berbuat demikian, kenyataan yang diakui Tuhan itu tidak akan menggelisahkan atau mengantarkannya “mati” atau memaksa orang lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan agamnya. Sehingga sudah selayaknya seorang muslim memahami dan mengamalkan bahwa perbedaan sekalipun dalam agama tidak menghalanginya untuk berbuat baik. Inilah yang disebutkan Allah dalam firmanNya :

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berbuat adil (memberikan sebagian hartamu) kepada orang yang tidak memerangi kamu karena agama, tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. QS Al-Mumtahanah : 8. 
Inilah spirit Islam dalam menghargai sebuah perbedaan, ia adalah bentuk dari tasamuh (toleransi) yang didasarkan pada nash-nash Ilahi. Sehingga sudah selayaknya setiap muslim menerima perbedaan tersebut. Apalagi jika menyitir ucapan dari DR Yusuf Al-Qaradhawi bahwa “Perbedaan di Antara Umatku adalah rahmat”. Jika perbedaan yang ada dalam tubuh umat Islam adalah rahmat maka perbedaan yang ada di masyarakat adalah sesuatu yang menjadi bukti dari Tuhan.
Marilah kita  kembali kepada ukhuwah Islamiyah dalam bingkai warisan budaya leluhur bangsa ini, khususnya mengenai bagaimana kita bisa menyikapi perbedaan yang ada. Perbedaan bukanlah sesuatu yang harus dihilangkan, akan tetapi perbedaan adalah sesuatu yang harus dirayakan. Sebuah kebun tidak terasa indah jika hanya memiliki satu jenis bunga, namun kebun itu akan sangat indah ketika terdiri dari berbagai jenis bunga-bungaan, Wallahu a’lam.

IV.   Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai perbedaan dan konflik yang terjadi di masyarakat serta bagaimana pengelolaannya serta bagaimana kita bisa merayakan perbedaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa :
1.      Perbedaan yang terjadi di masyarakat telah mengarah kepada konflik dan perselisihan yang mengkhawatirkan.
2.      Konflik yang terjadi tidak hanya terjadi antar umat beragama namun juga terjadi pada intern umat Islam yang merupakan agama mayoritas
3.      Pengelolaan yang efektif adalah dengan menggunakan pendekatan Ukhuwah Islamiyah dengan bingkai kearifan lokal (local wisdom)
4.      Ukhuwah Islamiyah bermakna persaudaraan (ikatan) yang didasarkan pada nilai-nilai Islam yang tidak hanya berlaku bagi umat Islam saja melainkan juga bagi umat agama lainnya
5.      Perbedaan adalah sunatullah yang secara aplikatif telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari budaya bangsa Indonesia sehingga perbedaan ini seharusnya bisa dirayakan untuk membangun sebuah peradaban yang berperikemanusiaan

Daftar Bacaan :
M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Quran : tafsir Maudhu’i Atas pelbagai Persoalan umat,Penerbit Mizan : Bandung, cet. I tahun 1996
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikulturalisme, Penerbit Pilar Media : Jakarta, tahun 2005
Nurcholish Majid, Islam : Kemodernan dan keindonesiaan, Penerbit Mizan : Bandung, tahun 2008
Amiur Nuruddin, Ijtihad ‘Umar bin Al-Khatab : Studi Tentang Perubahan Hukum Dalam Islam, Rajawali : Jakarta, cet. I tahun 1991
Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, RMBook & PSAP : Jakarta, tt
Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam : Dari Fundamentalisme, Modernisme dan Post-Modernisme, Paramadina : Jakarta, Cet. I tahun  1996
Eko Prasetyo, Membela Agama Tuhan : Potert Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik Global, Insist Press : Jakarta, tahun 2002
Said Agil Siraj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, Penerbit Mizan : Bandung, tahun 2006.
Alwi Syihab, Islam Inklusif : Menuju Sikap terbuka dalam Agama, Penerbit Mizan : Bandung, cet.V, tahun 1999
----------, Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia : 2010



[1] Badan Pusat Statistik, 2010, Statistik Indonesia, hal. 8
[2] Nurcholish Majid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Hal. 50
[3] Alwi Syihab, Islam Inklusif, hal. 80
[4] Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, hal. 186
[5] Dalam hal ini konflik terjadi secara intern umat Islam dan ekstern dengan umat lain
[6] Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, hal. 122
[7] Ainul yaqin, Pendidikan Multi Kultural, hal. 176
[8] M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur’an, hal. 486
[9] M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur’an, hal. 489
[10] Nurcholish Majid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, hal. 128
[11] Lihat Jurnal Penamas, Agama dan Multikulturalisme 


MORAL ISLAM

Oleh : Prof. Dr. Fauzul Iman

Al-Ghazali menyebut moral Islam sebagai tingkah laku seseorang yang muncul secara otomatis berdasarkan kepatuhan dan kepasrahan pada pesan (ketentuan) Allah Yang Mahauniversal. Seorang Muslim yang bersikap demikian akan mengarahkan pandangan hidupnya pada spektrum yang luas, tidak berpandangan sempit ataupun eksklusif. Ia dapat menerima realitas sosial yang beragam dan memupuk pergaulan dengan berbagai kalangan tanpa membatasi diri dengan sekat agama, kultur, dan fanatisme kelompok.
Inilah yang dimaksud dengan firman Allah SWT, ''Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.'' (QS Al-Hujurat [49]: 13).
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa moral Islam adalah takwa itu sendiri. Artinya dengan kekuatan takwanya, seorang Muslim mampu menanamkan moral Islam di tengah-tengah perbedaan sosial dan budaya masyarakat secara toleran, demokratis, terbuka, dan tanpa mengklaim dirinya paling benar.
Ulama Sufi membagi moral ke dalam tiga jenis, yaitu moral agama, moral undang-undang, dan moral lingkungan sosial. Dari ketiga jenis moral tersebut, yang paling dominan adalah moral agama dan menjadi sumber acuan bagi kedua moral yang lainnya. Itulah sebabnya, ajaran Islam selalu menekankan kepada semua umatnya agar senantiasa berpegang teguh pada moral Islam.
Sayangnya, fakta yang terjadi justru sebaliknya. Banyak orang yang tunduk pada selain moral agama. Dari kalangan penguasa, pengusaha, dan politisi, misalnya, masih banyak yang tunduk pada tatanan sistem politik yang hegemonik demi keuntungan pribadi, ketimbang membela rakyat dan masyarakat lemah dari ketertindasan.
Kasus lainnya, ada seorang agamawan yang dahulunya menjadi panutan masyarakat, pribadinya baik, tutur katanya lembut, sikapnya sopan, dan tidak pernah lupa mengenakan simbol-simbol keagamaan, kini justru berubah. Ia tenggelam dalam dunia kekerasan dan dunia kemewahan setelah menceburkan diri dalam lingkungan pergaulan yang hedonis.
Sebagai bangsa yang religius, sepatutnya kita memperkuat moral Islam yang bersifat universal dengan tetap melestarikan moral sosial dan lingkungan yang substansinya sejalan dengan moral Islam. Dengan cara demikian, kita berharap semua bentuk perilaku yang menodai akhlak dan nilai-nilai luhur agama dan bangsa dapat dieliminir. Semoga!

Belajar dari Pengorbanan Ibrahim untuk Banten


Oleh : Reporter Radar Banten


SERANG - Umat Islam, Minggu (6/11), memenuhi masjid dan tanah lapangan untuk melaksanakan salat Idul Adha. Setelah itu, baru dilaksanakan penyembelihan hewan kurban yang dagingnya didistribusikan kepada warga kurang mampu. Dalam pesan khutbah Idul Adha kemarin, para khatib mengingatkan bahwa Idul Adha sebagai momentum untuk membangun relasi sosial antarsesama dan belajar dari pengorbanan Nabi Ibrahim.
Di lapangan Studen Center UIN Syarifhidayatullah, Tangerang Selatan, ratusan umat Islam memenuhi lapangan ini. Mereka mengikuti salat Idul Adha dengan khusuk. Dalam pesan khutbahnya, khatib Dr Zubair mengatakan, banyak pelajaran yang tersirat dalam penyembelihan hewan kurban. Salah satu pelajaran yang dapat diambil adalah peran Nabi Ibrahim menciptakan pendidikan kepada putra tercinta yakni Ismail. “Indikator keberhasilan suatu pendidikan, apabila anak didik mampu menjalankan perintah Allah dalam kehidupannya,” katanya.
Setinggi apa pun pendidikan yang ditempuh seseorang tanpa diimbangi dengan pendidikan Islam belum dikatakan berhasil. Diakui Zubair, terkadang orangtua bangga anak memenangi olimpiade namun tidak bangga ketika anak dapat menghafal Alquran. “Tidak ada kata terlambat. Sekarang kita harus lebih bangkit menyelamatkan anak-anak,” sambung dosen Fakultas Adab Humaniora UIN ini.
Zubair menyebutkan ada lima pola pendidikan Ibrahim kepada keluarganya. Pertama, visi pendidikan Ibrahim mencetak generasi saleh yang menyembah hanya kepada Allah. Kedua, mendidik Ismail dan putra-putra lainnya mengikuti Islam secara totalitas, ketiga muatan pendidikan Ismail mencakup semua aspek kebutuhan manusia baik secara intelektual maupun emosional. Keempat, lingkungan Ibrahim mencetak akidah dan akhlak, dan kelima, kesiapan mampu berkorban dalam semua pihak dalam proses pendidikan.
Di Kota Serang, salat id dilaksanakan halaman Masjid Raya Albantani di Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) yang diikuti ribuan orang. Sejumlah pejabat di lingkungan Pemprov Banten ikut salat di masjid tersebut. Di antaranya Gubernur Ratu Atut Chosiyah, Wakil Gubernur M Masduki, Sekda Banten Muhadi, dan sejumlah kepala dinas di lingkungan Pemprov Banten.
Sebagai khatib adalah Ketua MUI Kota Serang KH Mahmudi. Mahmudi mengatakan, hakikat penyembelihan hewan kurban adalah ibadah sosial. Selain itu, penyembelihan hewan kurban juga menjadi simbol mendekatkan diri kepada Allah SWT. “Karena bukan daging hewan kurban yang akan sampai kepada Allah tetapi ketakwaan orang yang menyerahkan hewan kurban tersebut,” ujarnya.
Mahmudi menambahkan, berkurban masuk dalam ibadah sosial karena memiliki makna sedekah dalam arti luas. Yakni orang yang mampu membantu orang yang lemah dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari karena dalam harta orang-orang kaya ada hak-hak orang miskin.
Usai salat id, Gubernur secara simbolis menyerahkan 77 hewan kurban kepada perwakilan dari MUI Banten dan dilanjutkan dengan open house di lantai dasar Masjid Raya Albantani. Total Pemprov Banten membagikan 4.000 kupon daging hewan kurban.
Gubernur Ratu Atut Chosiyah mengatakan, makna pemberian hewan kurban merupakan bentuk kepedulian orang yang mampu kepada orang yang lemah dengan memberikan sedikit hartanya dalam bentuk daging kurban. “Kami mengajak orang yang mampu untuk meningkatkan kepedulian kepada orang-orang yang kurang mampu. Salah satu bagian dari kepedulian sosial itu dengan memberikan hewan kurban,” kata Atut.
Sementara di lingkungan Pemkab Tangerang, salat Idul Adha dipusatkan di Masjid Agung Al Amjad. Direktur Pascasarjana IAIN SMH Banten Prof Dr Fauzul Iman menjadi khatib. Dalam pesan khutbahnya, Fauzul mengatakan bahwa Idul Adha merupakan hari raya yang tidak dapat dipisahkan dengan kisah Nabi Ibrahim bersama anaknya Ismail. Kata Fauzul Allah menguji Nabi Ibrahim dan Ismail dengan perintah yang berat untuk mengorbankan nyawanya yang kemudian diganti dengan hewan sembelihan berupa kambing besar. “Ujian ini memberikan pelajaran bagi Ibrahim dalam mend­idik keturunannya terutama Ismail. Ibrahim sangat berharap agar Ismail kelak menjadi pemimpin yang bermoral, cerdas, tidak bermental cengeng dan mampu mengatasi persoalan yang dihadapi,” ujarnya.
Kata Fauzul, umat Islam dapat belajar dari pengabdian Ibrahim yang tulus terhadap keluarga dan umatnya sehingga mampu mendidik dan mengubah masyarakatnya dari kehidupan yang berwatak primitif menjadi umat yang beradab dan tercerahkan. Fauzul mengajak kepada masyarakat Banten untuk membangun Banten dengan semangat pengorbanan yang tinggi. “Mari kita mengambil ibrah (pelajaran-red) cara pengorbanan Ibrahim dan Ismail untuk menata bangsa dan masyarakat Banten secara kompak dan professional,” pungkasnya. (bon-alt/zen)




Al-Quran Teks Manusiawi

Oleh : Prof. Dr. Fauzul Iman

Al-Quran secara etimologis berasal dari kata qara’a - yaqra’u, qira’atan, qur’anan. Para ulama mendefinisikan kata qar’a dengan menghimpun atau mengumpulkan. Nasir Hamid tidak sepakat dengan makna mengumpulkan karena turunnya al-Qur’an di tengah masyarakat yang berulang-ulang menggunakan tradisi lisan. Ia cenderung memaknai kata qaraa dengan mengulang-ulang.
Pendapat Nasir ini logis bila dipahami dari sisi penyampaian wahyu yang berulang kepada Nabi bahkan dari segi isinya pun kerap kali berulang. Misalnya al-Qur’an berulangkali mengungkap kisah Nabi dengan tema yang sama dalam beberapa surat. Surat al-Fatihah bagian dari al-Qur’an juga disebut dengan tujuh yang berulang-ulang karena kandungannya banyak tersebar pada batang tubuh -ayat al-Qur’an.
Al-Qur’an memang pedoman hidup umat manusia yang menggambarkan realitas yang selalu berulang. Nabi SAW sendiri sebagai penerima wahyu adalah mahluk realitas yang selalu berulang melakukan aktivitas sosial dan menyaksikan peristiwa baik dan buruknya kehidupan. Oleh karena itu Allah sebagai Zat Yang Maha Suci merindukan realitas kebaikan sehingga perlu mengutus Nabi (mahluk realitas) yang bertugas melakukan perbaikan dan mewujudkan tatanan realitas yang berkeadaban. Al-Qur’an sebagai pedoman yang berhadapan dengan realitas berulang akan menyesuaikan isi dan pesannya dengan struktur pemahaman dan kebudayaan (peradaban) realitas itu sendiri.
Pesan al-Qur’an itu dimaksudkan agar dapat dipahami oleh tingkatan-tingkatann ma­nusia sesuai dengan batas-batas realitas yang dihadapinya. Nabi Muhammad SAW orag pertama yang mendapat mandat/otoritas untuk menjelaskan pesan al-Qur’an sangat dibatasi oleh realitas di mana ia lahir dan bermukim. Ulama sebagai pelanjut tafsir mendapat batasan konteksi yang sama sebagaimana generasi umat berikutnya akan memahami al-Qur’an sejalan dengan realitasnya. Inilah yang dimaksud dengan Ibnu Qayyem al-Jawziyyah bahwa syari’at Islam merupakan syari’at yang tepat dengan perkembangan zaman.
Ketepatan al-Qur’an dengan perkembangan zaman ditandai oleh kesediaannya untuk ditafsir. Kebutuhan al-Qur’an pada tafsir sangat erat dengan seluruh kandungannya yang diberikan buat umat manusia. Semua kandungan al-Qur’an baik yang berbentuk postulat, yang normatif, kongkret dan yang abstrak disediakan buat kepentingan manusia. Ajaran tentang yang ghaib seperti Allah, malaikat, akherat, surga, neraka, jin dan setan semuanya dijelaskan untuk kepentingan manusia. Apalagi ajaran kongkret yang berkaitan dengan aspek kehidupan di dunia. Keseluruhannya bukan untuk Allah tetapi untuk umat manusia mencapai kejayaaannya sebagai ciptaan Allah SWT. Oleh karena itu tidak ada yang namanya Qur’an Allah yang ada Qur’an untuk manusia. Tidak ada hukum Allah yang ada adalah hukum untuk manusia ( Q.S. 17 :9).
Keleluasan al-Qur’an ini merupakan hikmah dari Allah untuk mengundang para pemikir (penafsir) agar tidak takut menafsirkan (memahami) al-Qur’an dari berbagai disiplin ilmu dengan metode yang baik dan benar. Para mufassir diperkenankan memahami teks al-Qur’an apa adanya sebagaimana teks manusawi bukan teks untuk Allah. Pemahaman seperti ini akan membawa nuansa baru dalam kajian al-Qur’an untuk mendapatkan rahasia dan segala dimensi keilmuan yang terkandung dalam al-Qur’an. Bukan cara pemahaman seperti yang ditawarkan Imam Humaeni agar para mufasir terlebih dahulu mampu memahami makna batin al-Qur’an. Tawaran Humaeni ini untuk tahapan pe­ngembangan keilmuan sulit dilakukan sampai kapan seseorang telah dipandang mema­hami batin al-Qur’an. Apakah orang harus bertahun-tahun bersemedi mencari wangsit Tuhan sebelum menafsir al-Qur’an. Stelah itu ia diklaim sebagai manusia sakral yang satu-satunya mendapat mandat paling istimewa untuk memahami al-Qur’an. Cara ini justru akan semakin menambah kesulitan ketika adanya problem baru yang menuntut pemecahan cepat tidak dapat dilakukan karena harus menunggu kedatangan ulama yang sedang bertapa.
Pertanyaan berikutnya adakah ulama bertapa yang suci itu akan semakin membawa per­soalan pelik mengingat umatnya tidak bisa mendapat pencerahan sang ulama yang telah terbingkai oleh lilitan feodalisme keagamaan. Di zaman Nabi saja hingga para sahabat tak akan pernah dijumpai ulama tafsir yang menggendong jangkar feodalisme dalam soal tugas menalar al-Qur’an. Tengok saja seperti mufasir besar Ibnu Mas’ud, Ibu Abas dan Ibnu-Ibnu lainnya dalam jumlah berlapis-lapis mereka lebih elegan di tengah perwatakan egaliterianismenya dengan umat. Ada banyak ulama yang memberi kualifikasi kemudahan untuk menafsir al-Qur’an. Al-Ghozali cukup mensaratkan dengan menguasai lima ratus ayat-ayat bidang hukum. Yusuf Qardawi ulama modern yang paling produktif pun berobsesi bahwa di zaman realitas aneka teknologi yang serba canggih ini, tidak ada kesulitan bagi para ulama untuk berijtihad—memaham al-Qur’an.
Tawaran ulama realitas ini logis karena di abad baru ini kita tidak akan menolak aneka rupa pemahaman al-Qur’an. Kemunculan gagasan baru untuk melawan misteri al-Qur’an dengan aneka bentuk metodologi sah-sah saja. Apakah kita akan menghindar dari tahapan alamiah sunatullahnya berpikir dari gaya nalar modernisme, neo modernisme, postmodernisme hingga sampai dekonstruksismenya ala derida Foucult. Tentu saja kita tidak boleh memerahkan jagat muka kita terhadap lahirnya metode ini. Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan kearifan metodologi nalar dengan mem­biarkan Mua’z bin Jabal berdialektika dengan realitas baru (ijtihad) di kota yaman ketika di sana akan menghadapi persoalan baru yang belum ada ketetapannya dalam al-Qur’an dan Hadis.
Tafsir sebagai ilmu yang menjelaskan dan memahami kandungan al-Qur’an dengan menggunakan metode keilmuan al-Qur’an tidak akan berhenti dalam sebuah metoda yang status quo. Dalam sejarahnya selalu berkembang dari satu metode ke metode hingga menemukan aneka macam metode keilmuan al-Qur’an yang baru. Pada mulanya metode tafsir diajarkan melalui dialog face to face antara Nabi dan para sa­habatnya. Sepeninggal Nabi untuk menyatukan umat Islam atas inisiatif Usman, Al-Qur’an menjadi bentuk mushaf. Di zaman Khalifah Ali muncul ilmu I’rab al-Qura’n yang meletakkan kaedah Nahwu dan cara pengucapan Al-Qur’an secara baku dan tepat dengan tokohnya Abu Al-Aswad Ad-Du’ali. Perkembangan selanjutnya pada abad 3 H , lahir Ilmu Asbab An-Nuzul yang menafsirkan berdasarkan latar belakang dan konteks peristiwa turunnya ayat-ayat al-Qur’an dengan tokohnya Ali bin Al-Madany.
Zaman terus bergulir keinginan umat untuk mengungkap misteri kandungan al-Qura’n agar berdialog dengan realitas lebih banyak lagi sehingga pada saat itu muncul ilmu yang mengungkap keajaiban al-Qur’an (ajaib al-Qur’an), ilmu yang mengungkap kesamaran al-Qur’an (Mubhamat al-Qur’an), ilmu yang mengungkap kata yang sukar dipahami (musykil al-Qur’an), ilmu revisi ayat al-Qur’an berdasarkan konteks realitas yang telah berubah (nasikh mansukh) dan lain-lain. Kemunculan ilmu baru mengenai kajian al-Qur’an sangat disadari para ulama di zaman itu sebagai reaksi terhadap per­kembangan zaman dan realitas yang sangat niscaya sehingga tidak mungkin dihindari. Oleh karena itu penolakan ilmu-ilmu baru mengenai al-Qur’an di zaman modern ini merupakan sikap pengingkaran terhadap realitas sejarah.
Bertolak dari sejarah tersebut, maka kemunculan ilmu baru mengenai kajian (tafsir) al-Qur’an yang digagas oleh tokoh-tokoh kontemporer separti antara lain Amin al-Khulli ( kri­tik sastra al-Qur’an), Nasir Hamid (kajian hermeunitik dibalik empirik al-Qur’an sebagai produk budaya), Abid al-Jabiri (perumusan kaidah baru pembentukan hukum Islam), Arkoun ( mengadopsi makna kalam Tuhan ke dalam realitas yang belum dan tak terpikirkan), Hasan Hanafi (pembentukan turas baru Islam), Muhammad Shahrur dengan teori barunya Nazariyat al-Hudud (teori batas bawah dan batas atas), dan masih banyak yang lain seperti tokoh yang termuda Talat Hasan, semuanya merupakan pemikir baru yang tidak boleh dinapikan karena telah turut mempersegar pemahaman al-Qur’an dalam upaya memecahkan problem kemanusian. Pemikiran baru seperti inilah sangat layak kita kembangkan karena telah meletakkan al-Qur’an sebagai teks manusiawi.

Prof Dr H Fauzul Iman, MA
Direktur Pascasarjana IAIN SMH Banten

Rabu, 04 Januari 2012

Jawaban Mengenai Al-Quran Teks Manusiawi

Oleh :  Nurul H MaARIF




Guru kita, Prof. Dr. H. Fauzul Iman, M.A., yang juga Direktur Pascasarjana IAIN SMH Banten, menulis artikel menarik di Radar Banten (Jumat, 25/11/2011), ter­utama bagi penggemar atau tepatnya pegiat studi al-Qur’an. Dengan judul sensasional, “Al-Quran Teks Manusiawi”, beliau hendak mengajak umat muslim untuk berinteraksi langsung dengan al-Quran. Siapapun dia. 

Semangat interaksi langsung dengan al-Quran yang di­sam­­paikannya ini, barangkali identik dengan pengalaman Sir Muhammad Iqbal, yang men­dapat wejangan dari ayah­nya; “Bacalah al-Quran seakan ia hanya diturunkan untukmu.” (H.A. Mustofa, Filsafat Islam, 1997, h. 331). Hal sama di­uta­ra­kan Ali bin Abi Thalib jauh hari sebelumnya. Dikatakannya: “Al-Quran adalah mushhaf yang ti­dak berbicara. Manusialah yang mengucapkannya.” (Nashr Hamid Abu Zayd, Teks, Otoritas, Kebenaran, 2003, h. 159). Tugas pembaca untuk mem­bun­yi­kan­nya, melalui penafsiran.

Tulisan guru kita yang menarik itu, hemat kami, perlu dicermati dalam beberapa seginya, sebagai silaturahim intelektual kami. Per­tama, pemaknaan atas judul yang dipilih. Selintas membaca judul artikelnya, yang lantas ter­bersit dalam pikiran kami ada­lah al-Quran sebagai muntaj tsaqafi (produk budaya). Pe­mi­kiran “unik” yang ditelurkan Nashr Hamid (beliau tampak men­yetujui beberapa pan­dangan Nashr, semisal akar kata qu­ran dan “al-Quran sebagai pro­­duk budaya” yang disebut di bagian akhir tulisannya) ini, lantas memantik kontroversi ber­kepanjangan. Hatta, peng­gagasnya diusir dari negerinya, Mesir, dan selanjutnya menetap di Belanda, menjadi intelektual yang bebas. Karenanya, jika hanya membaca judul tulisan guru kita itu, bisa jadi kita akan salah menangkap maksudnya. Inilah pentingnya keterkaitan judul dan isi tulisan. 

Kedua, korelasi judul dan pe­san pokok artikel. Bagi kami, dik­si yang beliau pilih untuk judul artikelnya, “al-Quran Teks Ma­nusiawi”, sama sekali tidak meng­gambarkan pesan yang hen­dak disampaikan. “Teks ma­nusiawi”, mengandaikan hu­bungan antara shifat dan maushuf (yang disifati). Bagi kami, “teks manusiawi” itu se­mak­na dengan “teks atau tu­lisan yang bersifat manusia”, yang le­bih menekankan sisi pro­fa­nitas ke­timbang skralitas. Itu se­bab­nya, dengan istilah “teks ma-nu­siawi”, secara sadar atau tidak, al-Quran telah diturunkan de­­­rajatnya menjadi semacam teks karya manusia. Sekelas bu­ku, daras, cerpen, opini atau se­jenisnya. 

Melihat isi pokok artikel beliau, tam­paknya bukan pemaknaan de­mikian yang dimaksud. Yang ingin beliau sampaikan, adalah al-Quran itu teks yang di­pe­r­un­­tukkan bagi manusia. Ma­kanya, beliau menuliskan: “Tidak ada yang namanya Qur’an Allah, yang ada Qur’an un­tuk manusia. Tidak ada hu­kum Allah, yang ada adalah hu­kum untuk manusia.” Dengan de­mikian nyata, istilah “teks ma­nusiawi”, sejatinya tidak se­ja­lan dengan pesan yang di­sam­paikan, karena yang di­ingin­kan adalah “al-Quran sebagai teks untuk manusia” yang bisa ditafsirkan siapapun se­suai kadar intelektual dan ke­cenderungannya. Ini kian ter­gambar dari pernyataannya: “teks manusiawi, bukan teks un­tuk Allah.” Jika penafsiran kami tepat, maka sejatinya yang ingin beliau katakan adalah; al-Quran itu teks ilahi, namun untuk keperluan manusia.  
Kami sendiri meyakini, ter­le­pas dari perdebatan serius pe­rihal posisi “teks al-Quran” apa­kah karya Allah, Muhammad, atau karya bersama Allah, Jibril dan Muhammad, al-Quran ada­lah teks ilahi yang sakral, yang ditransmisikan melalui Mu­hammad. Ia hanya men­yam­­paikan, tanpa mereduksi atau mengorupsi lafal dan mak­nanya. Itulah sifat tabligh-nya. Itu sebabnya, dalam tulisan ini, kami menggunakan judul “al-Qur’an Teks Manusiawi?” (dengan tanda tanya), sebagai ben­tuk ketidaksepahaman kami atas judul yang dipilih guru kami itu. Bagi kami, al-Quran bukan teks manusiawi, me­lain­kan teks ilahi untuk manusia.
Ketiga, al-Quran sebagai kitab be­bas tafsir. Benar belaka, ayat-ayat al-Quran itu bebas tafsir, ka­rena sifatnya yang terbuka. Tak bisa dielakkan, siapapun bisa memaknai ayat-ayat al-Qur­’an sesuai kemapanan in­te­lektualnya; yang tak jarang meng­hasilkan keragaman. Inilah ken­yataan al-Qur’an sebagai mu­tiara, seperti diutarakan Ab­­dullah al-Darraz. Kita bisa me­nemukan cahaya berbeda-be­da, tergantung dari sisi mana menatapnya.
Ken­dati siapapun memiliki ke­bebasan menafsir al-Quran, na­mun efek produksi tafsirnya harus diperhatikan. al-Qur’an ada­lah kitab hudan (petunjuk, Qs. 2: 2), yang tidak etis jika di­tafsir sembarangan, yang efek­­nya justru mengerdilkan ke­besaran dan universalitas al-Quran. Itu sebabnya, ken­da­­tipun mengakui keterbukaan al-Quran, M. Quraish Shihab me­wanti-wanti supaya pe­naf­si­ran dilakukan “secara sadar dan penuh tanggung jawab.” (M. Quraish Shihab, Mem­bu­mikan al-Qur’an, 1998, h. 77).
Boleh saja memahami al-Quran menggunakan pen­de­katan mo­dern yang canggih, se­misal hermeneutika, nad­ha­riyat al-hudud, dan se­ba­gai­nya. Namun hendaknya, teori ini digunakan secara “sadar dan penuh tanggung jawab”, se­­hingga tafsiran yang dihasilkan tidak mengeliminasi al-Quran se­bagai kitab hidayah. Ibarat pe­dang bermata dua, al-Quran bisa “laka” (menyelamatkanmu) atau “’alaika” (men­ce­la­ka­kan­mu), tergantung siapa dan untuk apa menggunakannya. 
Dengan alasan kebebasan me­nafsir ini, sayangnya, lantas mun­cul banyak penafsiran yang me­ngebiri kehudanan dan uni­ver­salitas al-Quran. Diantara ka­susnya, oleh kelompok politik ter­tentu (dan sangat mungkin juga oleh kelompok kepentingan lain­nya), ayat-ayat tertentu di­pe­lintir dan dipolitisasi untuk men­dukung kelompoknya. Ini­lah yang oleh Azyumardi Az­ra disebut “abuse of quranic verses” (Abdullah Saaed, App­roac­hes to the Qur’an in Con­temporary Indonesia, 2005, h. 193-207) dan oleh Stefan Wild di­sebut “political interpretation of the Qur’a’n” (Jane Dammen McAuliffe, the Cambridge Companion to the Qur’an, 2010, h. 273-289). Kami sendiri men­ye­butnya “politisasi al-Quran”.    
Dengan demikian, kebebasan me­nafsir yang diinginkan Prof Fauzul Iman, hendaknya tetap me­­ngedepankan nadhariyat al-hudud (tapal batas de­mar­kasi). Kebebasan tidak bermakna se­mua orang tanpa tanggung jawab dan kemapanan berhak me­nafsirinya. Apalagi jika pro­duk tafsirnya mencerabut al-Quran sebagai kitab petunjuk, dan mengebiri universalitasnya, dan lantas mempersempitnya un­tuk kepentingan pragmatis belaka. Inilah yang akan men­ja­dikan al-Quran “’alaika” (men­ce­lakakanmu), bukan “laka” (men­ye­lamatkanmu). Wa Allah a’lam.


Nurul H MaARIF
Mahasiswa Program Doktor Kajian al-Quran SPs UIN Jakarta dan pengajar di Ponpes Qothrotul Falah Cikulur, Lebak, Banten.

Zakat Bukan Suap (1)

Oleh : Prof. Dr. Fauzul Iman



Kehadiran zakat dalam doktrin Islam bukanlah suatu yang hampa (vacuum) dengan realitas. Ia hadir dalam upaya mereaksi kepongahan sosial dan ketimpangan akidah di tengah-tengah arus masyarakat animis (primitif) dan masyarakat dominasi kekuatan feodalisme imperium Romawi dan Persia.
Pada masyarakat yang animis, kondisinya dicoraki sistem keyakinan yang percaya pada kekuatan dewa yang mampu memberi keselamatan dan keberkahan hidup. Dewa menjadi Tuhan sakral yang ditunduki sekaligus ditakuti masyarakat sehingga demi mendapat perlindungannya mereka dengan segala cara melakukan sesembahan. Tanpa sesemabahan tersebut, dampaknya membuat dewa akan marah dan menyengsarakan kehidupan mereka sendiri. Oleh karena itu, guna menjinakkan dewa agar memberi keselamatan (jaminan kelangsungan hidup), manusia harus memberi upeti pada dewa dengan cara sesembahan berupa pemberian sesajen pada dewa.
Sementara dalam masyarakat feodal yang didominasi oleh kekuatan adidaya imperium Romawi dan Persia, rakyatnya dipaksa untuk tunduk kepada raja-raja yang berwatak feodal dan pemeras melalui kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Rakyat sama sekali tidak diberi kebebasan mendapat hak dari pemerintahan, kecuali kewajiban rakyat memenuhi kehendak para raja yang memerintah dengan tangan besi. Segala yang menyangkut hasil kerja jerih payah rakyat baik yang digali dari sumber pemilikan tanah maupun dari aset lain, tidak mendapat perlindungan raja secara adil, tetapi sebagian besar dari penghasilannya dipaksa menjadi upeti yang diserahkan untuk kenikmatan hidup para raja. Sebaliknya rakyat hidup tak berdaya sembari bertekuk lutut meratapi sabda sabda penyengsaraan sang raja adikuasa.
Gambaran di atas memperlihatkan adanya ketimpangan sosial ekonomi yang sangat mencolok antara penguasa dan rakyatnya. Disparitas sosial antara kelas kuat dengan kelas lemah sulit dihindari karena tidak adanya pengimbang kekuatan yang membangun misi kemanusiaan. Konsekwensinya berpuncak pada konflik antar suku dan kelas yang berujung pada kehancuran tatanan sosial.
Dalam suasana seperti itu Islam datang melalui Nabi Muhammad SAW membawa misi kemanusiaan dengan cara mengubah sistem keyakinan, membangun hidup saling tolong menolong, menegakkan prinsip hidup bersama dan mengikis perbedaan hidup yang berlandaskan kepentingan kelompok, suku dan kelas sosial. Salah satu upayanya adalah dengan menerapkan doktrin zakat .
Dengan konsep zakat ini, Nabi bermaksud mengubah agar sistem pendistribusian atau pemilikan aset ekonomi tidak hanya mengalir ke kalangan elite —sebagai halnya sesajen yang diberikan untuk menyuap dewa atau upeti kepada raja—melainkan dinikmati pula oleh rakyat kecil ( Q.S 59 :7). Dalam al-Quran rakyat kecil ini dikenal dengan kaum mustad’afin, yaitu orang yang taraf hidupnya dalam memenuhi kebutuhan ekonominya tergolong lemah. Kaum mustad’afin yang wajib diperhatikan dan berhak memperoleh bagian (distribusi ekonomi) dari harta zakat, sebagai disebut dalam al-Quran, terdiri dari delapan golongan antara lain ; fakir, miskin,, para mualaf, budak, dan Ibnu Sabil (Q.S. 9 : 60), Pada mereka inilah harta zakat dari orang orang yang mampu disalurkan dengan penuh ketulusan hati dan bertujuan membebaskan (mensucikan) harta (zakat mal) dan badannya dari kotoran dosa (zakat fitrah). (Q.S. 60 :103).
Mengomentari ayat ini Prof. Dr. Sya’rawi pakar tafsir dari mesir, dalam sebagian pikirannya yang tertuang dalam buku “Khawathir al-Quran al-Karim li Sya;rawi” mengeksplorasi kata tuthahhirhum dengan membersihkan seluruh segi yang terkait dengan kotoran (noda) yang ada pada tubuh manusia dan hartanya. Sedangkan kata tuzakkihim dari segi harta mengandung arti mencerahkan, mengembangkan hartanya menjadi suci dan berlipat ganda. Dari aspek fisik (anggota badan) bukan saja pencerahan atau perubahan kesehatan jiwa menjadi tenang tetapi juga pola sikap menjadii semangat berusaha dan konsisten menanamkan kebaikan di tengah-tengah soial kehidupan. Sikap hidup muzaki (pemberi zakat) yang dahulunya labil dengan sifat kikir, pemarah, arogan, tidak toleran berubah dengan konsisten menjadi dermawan (penolong), pemaaf, mencintai keadilan, perdamaian.dan peradaban (muzakki).

Prof Dr H Fauzul Iman, MA
Penulis adalah Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN SMH Banten

Zakat Bukan Suap (2/Habis)

oleh : Prof. Dr. Fauzul Iman




Dengan konsep zakat, Nabi Muhammad SAW bermaksud mengubah agar sistem pendistribusian atau pemilikan aset ekonomi tidak hanya mengalir ke kalangan elite sebagai halnya sesajen yang diberikan untuk menyuap dewa atau upeti kepada raja melainkan dinikmati pula oleh rakyat kecil ( Q.S 59 :7).
Dalam al-Quran rakyat kecil ini dikenal dengan kaum mustad’afin, terdiri dari delapan golongan antara lain ; fakir, miskin,, para mualaf, budak, dan Ibnu Sabil (Q.S. 9 : 60), Pada mereka inilah harta zakat dari orang orang yang mampu disalurkan dengan penuh ketulusan hati yang bertujuan membebaskan (mensucikan) harta (zakat mal) dan badannya dari kotoran dosa (zakat fitrah). (Q.S. 60 :103).
Dapat dibayangkan seandainya para muzakki seperti ini tumbuh subur di masyarakat kita, sudah barang pasti kondisi stabilitas keamanan masyarakat akan terjamin. Tidak akan muncul di dalamnya keserakahan pribadi, konflik masyarakat dan kejahatan kriminal yang dapat menggangu ketenangan dan kedamaian sosial. Kehidupan kini dan ke depan akan tampak beradab, sejahtera, maju dan sama sederajat. Tidak ada saling tekan dan jurang perbedaan antara si kaya dan di miskin.
Kita masih menaruh harapan optimis terhadap bangsa kita yang telah banyak berbuat baik untuk menzakatkan (mendermakan) sebagian hartanya ke pada kaum fakir miskin. Namun amat disayangkan dengan cara pembagiannya yang terkesan massif dan ugal-ugalan sehingga terjadi kekisruhan yang berujung nyawa umat manusia melayang. Misi dan tujuan zakat guna membangun masyarakat sejahtera dan beradab menjadi musnah dan tak bermakna.
Ironisnya di samping peristiwa tadi, masih didapati pula dari sebagian elit kita yang membayar zakat sebatas ingin menyenangkan Tuhan agar terbebas dari dosa semata (tathhir) tapi mengenyampingkan sisi pencerahan hidup (tazkiyyah) ke depan. Akibatnya mereka terbebani oleh sublimasi sesaat tanpa melakukan perubahan sikap hidup dengan berzakat (berderma) kembali dan melakukan kebaikan-kebaikan dengan konsisten. Perbuatan demikan jelas tak ubahnya seperti gaya amalan kaum primitif yang ingin menjinakkan dan menyuap Tuhan Dewa dengan cara mempersembahkan sesajen. Atau sama dengan memberikan upeti kepada raja-raja tiran karena takut dari bayangan kekuasaannya yang berwatak menindas.
Perilaku berzakat seperti ini bukan saja membahayakan kemaslahatan pribadi (tathhir) yang bersangkutan tetapi tujuan berzakat dalam upaya membangun kesejahteraan dan peradaban umat tidak akan tercapai (tazkiyyah). Oleh karena itu untuk meletakkan misi berzakat sesuai dengan maksud Allah, yaitu untuk membangun kemaslahatan umat manusia sebagai mahluknya, maka mengaplikasikan misi tathhir dan tazkiyyah (bersih diri dan pencerahan sosial) dalam berzakat amat diperlukan .
Guna mewujudkan misi pencerahan di atas, maka cara pendistribusian zakat yang masih terbawa arus primitif agar segera dicegah dengan kebijakan kontstitutif yang elegan. Sikap feodalisme keagaman yang masih menjadikan tokoh agama sebagai pusat penerima zakat dipandang tidak proporsional lagi karena dapat menghilangkan dimensi sosial dan terkesan merupakan perpanjangan tangan para dewa dan para raja (primitif). Pemberdayaan lembaga zakat baik oleh lembaga pemerintah maupun masyarakat yang kredibel (tathhir), professional dan terpercaya (tazkiyyah) masih tetap dibutuhkan (condition sine quanone).

Prof Dr H Fauzul Iman, MA
Penulis adalah Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN SMH Banten