Kamis, 29 Desember 2011

Punya Kemiripan Sejarah, Banten Bisa Belajar Dari Iran

Oleh : Prof. Dr. Fauzul Iman

 

Selama satu pekan mulai dari 14-1 Juli 007 Iran Cultural Centre (ICC) mengundang tokoh-tokoh Islam mengunjungi Iran. Salah satu rombongan itu adalah Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN SMH Banten Prof Dr Fauzul Iman. Kepada Radar Banten Fauzul mengisahkan perjalanan ilmiah tersebut. 
Rute kunjungan diawali dengan mengunjungi kota Qum, Teheran, yang merupakan kota kaum mullah (para ulama). Dalam sejarahnya, Qum terkenal sebagai pusat gerakan jihad ulama Iran. Di kota Qum inilah rombongan yang terdiri dari Prof Dr Fauzul Iman, Guru Besar UGM Prof Dr Amien Rais, Ketua MUI Pusat Dr Umar Sihab, mantan Menteri Pemberdayaan Wanita Tuti Alawiyah, pengurus PP Muhammadiyah Munawar Abbas dan rektor UGM, utusan Universitas Brawijaya, IAIN, dan Universitas Muhamadiyah diterima oleh para ayatullah (ulama besar yang memiliki keilmuan berderajat mujtahid). 
Para ayatullah menyambut kedatangan rombongan dengan ramah, terbuka, dan penuh persaudaraan. Mereka adalah ulama yang rata-rata berkapasitas pemikir genius. Mereka tidak hanya menguasai ilmu keagamaan, tetapi juga mumpuni dalam bidang keilmuan sekuler seperti bahasa Inggris, Sosiologi, Antropologi, Filsafat dan Matematika. Sebagian para ulama itu telah memperoleh gelar doktor dan profesor. 
Seiring dengan kapasitas yang dimilikinya, para ulama itu sangat militan, sederhana dan disiplin dalam memegang teguh aqidah dan idealisme keilmuan. Salah satu contoh yang menarik dari idealisme itu ialah obsesi mereka menentang dan melawan musuh Islam tidak dengan cara radikal tetapi dengan landasan rasional dan keilmuan. “Kita dari dunia Islam sudah saatnya membangun ukhuwah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi buat menangkis musuh yang kelewatan batas,” ucap ayatullah Talaqi, pemikir internasional Iran, ketika berbicara menyambut kedatangan rombongan tokoh Islam. 
Selain itu yang paling menarik adalah komitmen dan idealisme keilmuan seorang ayatullah Qum yang bernama Marashi Najafi. Selama 29 tahun ia megumpulkan naskah klasik (manuskrip) yang berusia ratusan hingga ribuan tahun. Tekadnya mengumpulkan naskah dipicu oleh orientalis barat yang memborong naskah Islam di Irak. Marashi menduga sang orientalis barat itu akan berniat menguasai ilmu Islam yang pada akhirnya menghancurkan peradaban Islam. Dari sinilah, ayatullah Marashi Najafi mulai tertarik dengan naskah (manuskrip) sehingga berusaha dengan sekuat tenaga mengumpulkan naskah itu dari berbagai negara Islam. 
Dengan niat ingin memajukan peradaban Islam, Marashi rela membeli naskah dari uang hasil jerih payahnya bahkan tidak sedikit mengorbankan uang demi memiliki naskah tersebut. Suatu ketika ia mau menunaikan ibadah haji, di tengah perjalanan ia melihat naskah yang sedang dijual. “Ketika itulah ia membatalkan ibadah haji. Ongkos hajinya digunakan untuk memborong naskah,” tandas Fauzul. 
Naskah-naskah yang telah dikumpulkan dan dibelinya itu kini disimpan dan dirawat dalam sebuah gedung megah dengan tanah berukuran enam ribu meter persegi berlantai lima ke bawah (lantai basement) dan tiga ke atas. Total naskah berjumlah 120.000 disimpan khusus di lantai lima basement. Menurut pengelolanya, Dr Awsathi, sebagai pustakawan naskah, lantai basement itu anti bom dan gempa berkekuatan 5 skala richter. Dari segi subjeknya naskah itu memuat bidang al-Qur’an yang ditulis tangan tanpa ada syakel dan titik, tafsir, hadis, ilmu kalam, filsafat, sejarah, sosilologi, antropologi, perbandingan agama, dan tentang ke iranan. 
“Bila kota Qum hendak dibandingkan dengan Banten, terdapat kemiripan dari segi heroisme sejarah dan nuansa religiusitas. Namun dari segi militansi keilmuan yang dibuktikan secara simbolik kultural dan praktis akademik masih jauh tertinggal dengan spirit para mullah Qum,” ujar Fauzul. 
Di Qum, para ulama dengan pusat organisasi pendidikannya, Hawzah Ilmiah, mampu mendirikan beratus-ratus lembaga pendidikan yang bertujuan mencetak mujtahid. “Sementara di Banten masih membutuhkan perjuangan keras, terutama dari segi komitmen dan tingkat kepedulian keilmuan para komponen Banten,” tandasnya. 
Di Qum, para ulamanya mampu menggalang dana sosial secara mandiri, utuh dan kompak. Beratus-ratus lembaga pandidikan dengan perangkat lunak dan kerasnya (fisik) telah dibangun secara mandiri oleh para ulama Qum. “Bantuan dari pemerintah memang ada tapi dukungan dan sikap kepedulian keilmuan pemerintah sangat tinggi,” ujrnya lagi. 
Di Banten keseriusan demikian baik para ulama maupun pemerintah belum mampu menggalang. “Oleh karena itu, penanaman keseriusan kepedulian ilmiah dan akademik di Banten selayaknya dipelopori oleh ulama dan pemerintah,” imbuhnya. 
Bila di Qum, para ulama dan pemerintah mampu merawat peradaban dan kebudayaan dengan mendirikan perpustakaan naskah, maka di Banten sudah sepantasnya didirikan institusi yang mampu mengakses peradaban kebantenan dan Islam. “Institusi itu bisa bernama ‘Bantenologi; yang berupaya dengan serius menggali dan merawat kepustakaan, naskah (manuskrip), serta peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga,” pungkasnya. 
Tingkat keharuan melestarikan peradaban agama antara Qum dengan Banten terdapat kemiripan. Dalam hal ini tampak pada upacara ziarah kubur di pemakaman orang-orang yang dipandang mulia dan terhormat. Di makam Imam Khomeini, para peziarah dengan penuh keharuan mengelu-elukan dan mengenang jasa kebesaran Khomeini. Para peziarah itu tidak sayang mengeluarkan uang dari koceknya dan dilempar ke dalam makam Khomeini hingga menutupi setengah makam tersebut. “Namun uang yang terkumpul itu tidak digunakan untuk kepentingan keluarga Khomeini, tetapi untuk membangun mesjid dan lembaga pendidikan,” ujarnya. Maukah Banten belajar dari Iran?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar