Selasa, 17 April 2012

Inilah Cara Rasulullah Mengawasi Harta Negara


Oleh Prof DR H Fauzul Iman MA

Dewasa ini mata bangsa masih terbelalak kepada ulah oknum yang gemar mempermainkan harta negara. Oknum itu dengan seenaknya me-mark up dan menyulap harta negara tanpa peduli terhadap nasib hidup rakyat yang kian menjepit. Padahal, sebagai bangsa yang religius telah mengetahui bahwa yang namanya harta negara adalah milik Allah SWT. (QS [2]:284).
Berdasarkan ayat ini tentu semua kekayaan alam yang ada di bumi adalah Allah pemiliknya. Umat manusia dengan ilmu dan keahliannya diperbolehkan mengeksploitasi potensi alam sepanjang manfaatnya untuk kesejahteraan umat. Di sinilah perlunya negara melakukan pengawasan harta negara (kekayaan alam) agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Hasan Hanafi dalam bukunya Ad-Din wa Ats-Tsaurah menyebutkan, kata harta dalam dua bentuk. Sebagian dinisbahkan pada bukan pemilik dan sebagian dinisbahkan pada sesuatu (objek), seperti harta anak yatim dan harta kamu. Kebanyakan Alquran menyebut kata harta dengan objeknya sejumlah 54 kali. Ini menunjukkan bahwa pengawasan harta harus dihidupkan dengan aktivitas ekonomi yang kredibel, jujur, profesional, dan berjiwa entrepreneurship. Harta negara tidak boleh dimatikan atau dihancurkan oleh pribadi yang bermental cengeng, penyulap, dan korup.
Harta negara yang dikelola dengan jujur, mandiri, dan profesional, baik oleh pribadi pengusaha maupun pejabat negara, berarti telah melakukan pengawasan harta negara secara internal dan mulia. Buah dari kemandirian dan kejujurannya kemudian ia menjadi pribadi yang tidak lagi bernafsu merampas dan menguasai harta negara yang bukan haknya. Bahkan, ia akan turut dengan efektif membantu negara untuk menyejahterakan kaum lemah (yatim dan fakir miskin).
Dari sinilah sebenarnya pengawasan harta negara harus dimulai dengan akhlak yang baik dari dalam pribadi maupun pemimpin bangsa. Di era klasik tidak sedikit pemimpin yang menerapkan pengawasan harta negara dengan cara ketat dan konsisten. Nabi SAW ketika mengutus Muadz bin Jabal sebagai gubernur di Yaman, sebelum ia sampai ke tempat bertugas diminta kembali datang menghadap kepada Nabi, “Tahukah kamu mengapa aku memanggilmu kembali wahai Muaz?” tanya Nabi.

“Belum tahu ya Rasululullah.”
“Saya ingatkan lagi sejak engkau mengemban amanah ini jangan coba-coba mengambil sesuatu (untuk kepentingan pribadi) tanpa seizinku. Barang siapa yang berbuat curang, pada hari kiamat kelak akan dibangkitkan dalam keadaan memikul beban kecurangannya.”

Cara Nabi ini diikuti olen generasi berikutnya, Umar bin Khattab, seperti diceritakan Abdul Qadim Zallum dalam bukunya al-Amwal fi Dawlat al-Khilafah. Umar dengan tegas mengambil harta negara dari tangan Abu Sufyan pemberian dari anaknya, Muawiyah, yang menjadi Gubernur Syam senilai 10 ribu dinar.
Harta itu ditarik dan diserahkan kembali oleh Umar ke Baitul Mal (negara) setelah terlebih dahulu diadakan penyelidikan oleh lembaga pengawasan (semacam KPK) yang bernama al-Muraqabah dan al-Muhasabah al-Ammah (Badan Pengendali Harta Negara). Ketegasan para pemimpin sangat efektif dalam menjaga harta negara dari para penyulap (koruptor) sehingga tidak terjadi mafia pencurian harta negara secara berkesinambungan. Waalllahualam bishwaf..



Wanita Menjadi Saksi


Oleh Prof DR H Fauzul Iman MA

Di era reformasi ini, bangsa Indonesia boleh berbangga karena telah banyak wanita yang terlibat dalam tugas membangun bangsa. Di antara mereka ada yang menjadi menteri, pengusaha, hakim, politisi, pengamat, dai, dan polisi. Keterlibatan para wanita dalam suatu posisi ini, menurut ajaran agama, dipandang telah menduduki posisi sebagai saksi di tengah umat/syuhada ala an-nas (QS 22:78).
Berdasarkan ayat ini, baik laki-laki maupun wanita, diperkenankan untuk menjadi saksi sebagai pemimpin dan penyeru yang benar dan adil guna memperbaiki kehidupan umat. Raghib al-Ashfihani dalam bukunya Mu’jam Mufradat Alfadz al-Quran menjelaskan pengertian saksi sebagai sosok yang hadir untuk menyaksikan sesuatu, baik dengan penglihatan maupun dengan pemikiran cermat (benar). Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menjadi saksi sebagai pemimpin, baik laki-laki maupun wanita, harus memiliki pandangan tajam, pemikiran cermat (cerdas), dan sikap yang jujur (adil). Sarat ini wajib dimilki oleh setiap saksi karena ia harus melihat, menginformasikan, dan merubah ketimpangan yang terjadi di lapangan dengan teliti, benar, dan jujur.
Lalu, bagaimana dengan para wanita kita yang kini berada pada posisi penting? Sudahkah mereka menunjukkan kesaksian sikap dan pandangannya dengan baik di tengah masyarakat? Apakah kesaksian para wanita pada posisi strategis telah benar-benar menjadi saksi untuk melakukan perubahan terhadap ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat?
Dari sisi kuantum kita bangga terhadap wanita kita yang berperan pada posisi strategis telah bertambah dibanding dengan era sebelumnya. Akan tetapi, dari sisi kualitas, akhir-akhir ini kita prihatin terhadap sebagian wanita yang tidak lagi berdaya menunjukkan posisi strategisnya sebgai saksi umat yang cermat, adil dan jujur. Para wanita yang diharapkan melakukan perubahan bangsa dari segala krisis yang melanda malah kini mereka menjadi bagian yang membuat krisis itu sendiri. Isu-isu yang tidak sedap kepada para wanita yang berposisi penting berupa keterlibatannya pada kriminalitas korupsi telah mencoreng citra wanita sebagai ibu pelembut kedamaian dan penjaga moral bangsa.
Para wanita itu kini terseret ke sentrum perbincangan pejoratif yang ujung-ujungnya mereka tertuduh memasuki ranah hukum peradilan. Padahal, posisi penting yang diraihnya hasil perjuangan letih ketika mereka menuntut kuota wanita di lembaga perwakilan rakyat. Bahkan, tidak jarang perdebatannya menyangkut gender telah mengundang ketegangan yang meradang antara pemkir modern dengan pemikiri fanatic. Setelah posisi kuota itu kini setengahnya direbut ternyata dijungkirkan kembali secara sia-sia oleh segelintir wanita “penting” yang tidak lagi berdaya meneguhkan kesaksian moralnya dengan jujur dan adil di tengah bangsa.
Inikah sebenarnya pertanda kelemahan wanita karena kodratnya yang cepat melimbung dalam kepanikan. Lalu, ia begitu saja menyerah dan terpelanting pada situasi terburuk sehingga harus berurusan dengan hukum demi mengejar kepuasan sesaat yang menyilaukan. Inikah model wanita yang telah mencederai sederet perjuangan panjang wanita Indonesia yang dengan darah dan keringatnya telah memperjuangkan bangsa dari ketertindasan.
Para Wanita yang diharapkan menjadi penyejuk laki-laki (suami) dan anak-anaknya kini malah sebagian dari mereka berlomba dengan laki-laki melakukan kejahatan korupsi bersama. Na'udzubillah. Wallahu a’lam