Kamis, 29 Desember 2011

BAB I

PENDAHULUAN


1.         Umum
Indonesia merupakan negara merdeka yang lahir dari hasil jerih payah perjuangan bangsa yang datang dari berbagai golongan, suku, adat, agama, ideologi  dan budaya. Mereka telah  berjuang meraih kemerdekaan  dengan sekuat tenaga, pengorbanan nyawa,  dan semangat ketulusan bersama. Benih perjuangan bersama ini bermula dari semangat Kebangkitan Nasional yang digelorakan pada tahun 1908, disusul dengan pernyataan Sumpah Pemuda tahun 1928 hingga sampai puncak gelora  deklarasi Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Bertolak dari sejarah heroisme yang bernuansa kebersamaan,, bangsa Indonesia seharusnya dapat melanjutkan misi  tersebut dengan tetap merawat segenap potensi yang dimiliki, baik dari segi demografi, Sumber Kekayaan Alam, maupun kepulauan.  Menurut catatan Badan Pusat Statistik, jumlah pendusuk Indonesia  mencapai lebih dari 228.523.300 (2008).[1] Dari 17.504 pulau, penduduk terebar tidak merata di ribuan pulau, terutama  di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.  Sebaran penduduk yang menggambarkan perbedaan budaya itu merupakan keniscayaan demografis.
Perbedaan itu merupakan anugrah (fitrah) dari  Tuhan yang apabila dikelola dengan baik  akan melahirkan sikap saling  kerjasama dalam  menumbuhkan ide, gagasan dan cita-cita kreatif untuk membangun solidaritas persatuan dan kebangsaan. Sebaliknya, perbedan tersebut akan mengarah kepada situasi konflik manakala  keadaannya dibiarkan tanpa pengelolaan yang baik dan benar.
Menyadari adanya spektrum perbedaan itu, maka para pejuang bangsa dengan segenap komponen pemuda berupaya meletakkan tonggak persatuan dalam ikatan nasionalisme melalui deklarasi Sumpah Pemudanya pada 28 Oktober 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Peletakkan tonggak  persatuan itu dimonumentalkan dalam miniatur simbol: Bhineka Tunggal Ika.  Undang-Undang Dasar 1945 telah mengukuhkan lambang tersebut  dalam pasal 36 A.  Makna kongkrit dari Bhineka Tunggal Ika ialah mengedapnkan dan menanamkan kesadaran hidup bersatu (inklusif) dalam kemajmukan bangsa tanpa membedakan golongan, warna kulit,  suku, budaya, ideologi, politik dan agama (ekslusif). Keberbedaan ini, tegasnya mengandung konsepsi yang mengikat rohaniah bangsa tetap dalam integrasi kebangsaan dengan menyediakan ruang yang  menghormati kehidupan pluralistik.
Idealisme kebinekaan sebagai yang tergambar  di atas, dalam perjalanannya  mengalami  distorsi nilai setelah Indonesia dilanda krisis multidimensi pada tahun 1997. Krisis yang kemudian mendorong lahirnya tuntutan reformasi sebagai bentuk  protes rakyat dan sekaligus koreksi total dari kegagalan pemerintahan Orde Baru dalam membangun  bidang ekonomi, politik dan hukum, telah membawa kondisi negara Indonesia menjadi tidak kondusif. Kebhinekaan bangsa yang bermakna kemajemukan menegakkan persatuan antara sesama bangsa tanpa membedakan agama, ideologi, etnis, golongan,  politik dan budaya, kini keadaannya dicabik oleh adanya konflik antar umat beragama dan vertikal yang berkepanjangan.
Intensitas konflik dengan segala konsekwensinya mau tidak mau telah menyeret ke arah konflik yang melibatkan sentimen agama seperti yang  terjadi di Ambon, Poso dan konflik antara umat beragama yang paling mutakhir terjdi di Bekasi . Ditambah dengan situasi kemiskinan yang masih tinggi dan kesenjangan ekonomi masyarakat diduga akan semakin memperparah ancaman konflik antar umat beragama di masa mendatang. Belum lagi ekses lain yang menyertai lahirnya konflik seperti ulah provokator dan isu kedaerahan pada pengembangan wilayah dan pemilihan pimpinan daerah yang berorientasi otonomi.
Mencermati situasi NKRI yang tidak steril dari berbagai bentuk ancaman baik ancaman nyata maupun ancaman potensial telah menyadarkan bangsa Indonesia untuk senantiasa siap siaga dengan Kewaspadaan Nasional yang tinggi. Sikap Kewaspadaan Nasional semacam ini dikerahkan dalam upaya menghadapi dan mengatasi berbagai macam ancaman, tantangan, hambatan maupun gangguan (ATHG) dari manapun datangnya.
Kewaspadaan Nasional (Padnas) adalah suatu sikap dalam hubungannya dengan nasionalisme yang dibangun dari rasa peduli dan rasa tanggungjawab serta perhatian seseorang warga negara terhadap kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari situasi potensi ancaman. Padnas juga sebagai suatu kualitas kesiapan dan kesiagaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk mampu menditeksi, mengantisipasi sejak dini dan melakukan aksi pencegahan berbagai bentuk dan sifat potensi ancaman terhadap NKRI. Padnas dapat juga diartikan sebagai manifestasi kepedulian dan rasa tanggung jawab bangsa Indonesia tehadap keselamtan dan keutuhan bangsa dalam wadah NKRI. Oleh karena itu, Padnas harus bertolak dari keyakinan ideologis dan nasionalisme yang kokoh serta perlu didukung oleh usaha-usaha pemantauan sejak dini dan terus menerus terhadap berbagai implikasi dari situasi serta kondisi yang berkembang, baik di dalam maupun di luar negri.[2] Tindakan  yang bersifat dini yang dikenal dengan pencegahan (early warning) dan penangkalan (early detection) harus dilakukan dengan tepat dan sinergik. Tindakan dini ini diwujudkan dalam upaya memulihkan kembali keadaan yang perlu diakuisisi dan direhabilitasi sebagai bagian dari wujud Kewaspadaan Nasional.  
Konflik yang melibatkan antar umat beragama di Ambon tidak hanya menelan korban nyawa, harta banda dan prasarana, tetapi juga telah merusak tatanan psiologi kemanusiaan yang pemulihannya membutuhkan kepiawaian dan waktu panjang. Tatanan pergaulan antar umat beragama di masyarakat Ambon yang pada mulanya rukun dan damai,  tiba-tiba  di luar dugaan dihentakkan olah konflik kekerasan bertumpah darah yang sangat bertentangan dengan adat istiadat dan ajaran agama masyarakat Ambon (Islam dan Kristen). Oleh karena itu perlu digali penyebab dan akar masalahnya, terutama dari aspek ekonomi, politik, budaya, keamanan dan hukum.
Konflik yang berkualitas mengerikan ini sepertinya telah terhenti dengan tenang. Namun, sisa traumatik yang masih melekat dan dirasakan mencekam oleh masyarakat, tentunya tidak boleh dipandang remeh karena suatu saat bisa saja ledakan konflik terulang kembali dalam bentuk yang paling dahsyat. Guna mengantisipasi apakah konflik antar umat beragama itu benar-benar sudah reda dengan terwujudnya stabilitas keamanan atau hanya bersifat sementara, diperlukan upaya pencegahan dan penangkalan dengan melibatkan semua unsur terkait secara terpadu baik oleh pemerintah pusat, pemda, aparat keamanan, lembaga adat, LSM, maupun masyarakat dengan pemuka agamanya.
Pemuka agama, menurut Taufik Abdullah (1982: 17)  adalah sebagai salah satu kelompok pemimpin masyarakat terdiri atas pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal adalah pejabat agama yang diangkat oleh pemegang kekuasaan negara atau masyarakat adat, sedangkan pemimpin informal, kepemimpinannya didasarkan atas pengakuan masyarakat. Pemuka agama dengan kedudukannya yang bersifat informal itu mempunyai ciri-ciri yang belum tentu dimiliki oleh pemimpin formal. Pada pemimpin formal pengaruhnya hanya muncul selagi ia masih melekat dengan jabatan formalnya, sedangkan pemuka agama pada umumnya terdapat hubungan yang amat dekat dengan masyarakatnya karena kharisma dan pengaruh yang dimilikinya.
Pengaruh yang dimiliki pemuka agama ini sangat strategis untuk membimbing masyarakat menjalankan ajaran agama dengan baik dan benar. Masyarakat akan senantiasa mentaati apa yang dikatakan pemuka agama berdasarkan doktrin agama yang disampaikannya. Oleh karena itu peranan pemuka agama sangat dibutuhkan untuk menanamkan pentingnya persatuan dan toleransi antara sesama umat manusia. Peran ini akan semakin penting  manakala pemuka agama memiliki kemampuan SDM yang dapat memahami konstelasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan pemahaman yang komprehensif mengenai konstelasi kehidupan berbangsa, pemuka agama dengan sendirinya akan terpanggil untuk ikut mewujudkan toleransi dan persatuan sesama bangsa tanpa melihat kepentingan kelompok dan perbedaan agama. Tegasnya pemuka agama yang berkualitas akan mampu mengajak dan mengelola masyarakat dengan  pendekatan spiritual dan lintas sektoral (kebangsaan) untuk  bersatu padu menghindari konflik (perpecahan) antar sesama umat beragama. Semua itu dijalankan, tidak lain, dalam  rangka mewujudkan ketahanan nasional sehingga tujuan pembangunan nasional tercapai.
Dalam upaya mengatasi dan mencegah terjadinya ancaman konflik antar umat beragama, diperlukan implemntasi konsep padnas yang secara operasional harus berada di dalam ruang serta koridor hukum, HAM dan demokrasi. Implementasi padnas tidak terbatas pada kelompok terentu tapi mencakup seluruh komponen bangsa, termasuk pemuka agama. Dengan demikian padnas bukan milik negara semata melainkan milik seluruh lapisan masyarakat.
Bertolak dari latar belakang dan fanomena di atas, maka pokok permasalahan yang harus diupayakan pemecahannya secara komperhensif integralistik  dan holistik adalah : “Bagaimana implementasi Kewaspadaan Nasional terhadap terjadinya ancaman konflik antar umat beragama guna meningkatkan kualitas pemuka agama dalam rangka pembangunan nasional.”  

2.         Maksud dan Tujuan
a.         Maksud Penulisan
            Maksud penulisan naskah ini adalah untuk memberikan gambaran tentang masalah ancaman  konflik antar umat beragama yang dialami bangsa Indonesia dan penanganannya, serta upaya-upaya implementasi Padnas dalam kehidupan masyarakat guna meningkatkan kualitas pemuka agama dalam rangka pembangunan nasional.

b.         Tujuan Penulisan
            Untuk memberikan sumbangan berupa saran pemikiran kepada pihak-pihak  yang dipandang penting guna merancang dan mentapkan  kebijakan ke depan  dalam menangani ancaman konflik antar umat beragama, baik pada tahap preemtif (penangkalan), preventif (pencegahan), maupun kontijensi/kuratif (pemulihan keamanan dan penegakan hukum) serta tahap recoveri.         

3.         Ruang Lingkup dan Sistematika
            Rruang lingkup pembahasan dan analisisnya dibatasi pada uraian tentang ancaman konflik antar umat beragama yang   bernuansa agama dan bercorak etnis yang  terjadi di Indonesia, baik yang berupa potens, ancaman maupun yang mengarah kepada  konflik antar umat beragama, dengan contoh konflik antar umat beragama di Sitobondo, Poso,  yang gaung pristiwanya terdengar baik pada level nasional maupun dunia karena konflik antar umat beragama tersebut telah memuncak ke aksi teror. Disamping itu akan diungkapkan kasus mutakhir ancaman konflik umat beragama yang terjadi di Bekasi. Para pelaku itu disinyalir merupakan kelompok radikal yang memanfaatkan isu ketidakadilan.  Kondisi tersebut telah berpengaruh terhadap terwujudnya kualitas pemuka agama dan pembangunan nasional.
            Tulisan ini disusun menurut sistematika penulisan yang bersifat komprehensif integral terpadu dan menyeluruh dengan tata urut sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
            Bab ini memaparkan tentang landasan dan filosofi pembentukan negara-bangsa (nation-state) NKRI yang dilatarbelakangi heterogenitas masyarakat Indonesia. Kemudian dipaparkan paradigma nasional sebagai kerangka di dalam melihat permasalahan ATHG berupa ancaman konflik antar umat beragama, melalui implementasi Padnas guna meningkatkan kualitas pemuka agama dalam rangka pembangunan nasional
            Bab pendahuluan ini diuraikan dengan pembagian Sub-Judul Umum, Maksud dan Tujuan, Ruang Lingkup, Sistematika, Metode dan Pendekatan, serta Pengertian-pengertian.

BAB II: LANDASAN PEMIKIRAN
            Bab ini menguraikan tentang Landasan Pemikiran yang digunakan untuk kepentingan  pembahasan bab-bab berikutnya. Landasan pemikiran yang digunakan adalah Paradigma Nasional, yang meliputi Pancasila  sebagai landasan idiil, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional, Wawasan Nusantara sebagai landasan visioner, Ketahanan Nasional sebagai landasan konsepsional, dan Kewaspadaan Nasional, serta peraturan perundang-undangan terkait sebagai landasan operasional, serta teori-teori yang melandasi pembahasan dan analisis tulisan ini.

BAB III: IMPLEMENTASI KEWASPADAAN NASIONAL TERHADAP TERJADINYA KONFLIK ANTAR UMAT BERAGAMA SAAT INI IMPLIKASINYA DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
            Bab ini menguraikan tentang kewaspadaan nasional dan hakikatnya terhadap ancaman konflik antar umat beragama, yang meliputi pemahaman tentang permasalahan konflik antar umat beragama, kondisi implementasi padnas terhadap ancaman konflik antar umat beragama dengan contoh kasus penanganan konflik antar umat beragama yang terjadi di Sitobondo, Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, kasus Ahmadiyah, kasus konflik antar umat beragama di Bekasi baru-baru ini  dan implikasinya terhadap mewujudkan kualitas pemuka agama saat ini, serta permasalahan yang dihadapi.

BAB IV: PENGARUH PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS
             Bab ini menganalisis tentang seberapa jauh perkembangan lingkungan strategis yang bersifat global, regional dan nasional melahirkan berbagai peluang dan kendala pada kebijaksanaan, strategi dan upaya implementasi kewaspadaan nasional terhadap terjadinya ancaman konflik  antar umat beragama yang dirumuskan guna meningkatkan kualitas pemuka agama dalam rangka pembangunan nasional.

BAB V: IMPLEMENTASI KEWASPADAAN NASIONAL TERHADAP TERJADINYA ANCAMAN KONFLIK ANTAR UMAT BERAGAMA YANG DIHARAPKAN, KONTRIBUSINYA DAN INDIKATOR KEBERHASILAN
            Bab ini mengungkapkan tentang arah dan bentuk konkret dari implementasi Padnas terhadap konflik antar umat beragama yang berangkat dari kondisi awal, kemudian dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategisi serta Paradigma Nasional, sehingga yang diharapkan tersebut disamping mempedomani Paradigma nasional, juga kemampuannya menyikapi  percaturan global.

BAB VI: KONSEPSI IMPLEMENTASI KEWASPADAAN NASIONAL TERHADAP TERJADINYA ANCAMAN KONFLIK ANTAR UMAT BERAGAMA
            Bab ini mencakup uraian mengenai langkah-langkah konsepsional yang dapat diambil untuk mengimplementasikan Padnas guna mencegah terjadinya ancaman konflik antara umat beragama menuju peningkatan kualitas pemuka agama. Langkah-langkah tersebut diuraikan dalam bentuk kebijakan, strategi dan upaya-upaya yang bersifat operasional, komprehensif integral guna menyentuh aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan konsep Ketahanan nasional dan visi wawasan nusantara.

BAB VII: PENUTUP
            Bab ini menguraikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari seluruh pembahasan tulisan, untuk selanjutnya dikemukakan saran yang dapat diberikan guna dapat merealisasikan implementasi Padnas terhadap ancaman konflik umat beragamal, menuju peningkatan kualitas pemuka agama dalam rangka pembangunan nasional.

4.         Metode dan Pendekatan
a.         Metode
            Metode yang dipergunakan dalam pembahasan ini adalah  metode deskriptif analitis dan pengungkapan berbagai fakta atau variabel, guna melahirkan suatu kesimpulan dan rekomendasi kebijakan. Dalam hal metode berpikir, digunakan pendekatan denduktif, yaitu menguraikan filosofi dan paradigma  umum untuk memahami realitas empirik.

b.         Pendekatan
            Pembahasan tulisan ini menggunakan pendekatan kesisteman, yaitu memandang permasalahan sebagai totalitas dari berbagai unsur atau sub-sistem dalam bingkai Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.

5.         Pengertian-Pengertian
a.         Implementasi
            Implementasi adalah pelaksanaan yang menghasilkan bentuk konkret implementatif. Dalam kaitannya dengan judul implementasi Padnas, maka implementasi yang dimaksud di sini adalah pelaksanaan dari Padnas tersebut, yaitu langkah-langkah konsepsional yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan early warning system, early detection,  pencegahan awal dan penangkalan awal terhadap berbagai bentuk ancaman potensial (laten) maupun terbuka (manifes) terhadap kehidupan nasional. Konkretnya, implementasi Padnas berkaitan dengan ancaman terhadap kehidupan nasional, sekaligus ancaman terhadap nasionalisme keindonesiaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
( BS. Kewaspadaan Nasional Lemhannas , 2010 : 21)

b.         Kewaspadaan Nasional
            Adalah suatu sikap dalam hubungannya dengan nasionalisme yang dibangun dari rasa peduli dan rasa tanggung jawab seorang warga negara terhadap kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari suatu ancaman. BS. Materi Kewaspadaan Nasional Lemhannas, 2010 : 21).

c.         Ketahanan Nasional
            Adalah kondisi dinamik suatu bangsa yang meliputi segenap aspek kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam untuk menjamin identitas, integritas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan untuk mencapai tujuan nasionalnya. (Bidang Studi Ketahanan nasional Indonesia, 2010 :15).

d.         Konflik
            Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama, dan “konflik” dan konteks kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat dan lain-lain yang paling tidak melibatkan dua pihak atau lebih.
            Konflik dimaknakan secara luas, yaitu “ketidakcocokan (incomptability) antara yang ideal dengan fakta atau kenyataan” (Galtung, 1968), hingga “ketidak-akuran antara satu pihak dengan pihak lain,” sampai pada “pecahnya ketidakcocokan menjadi satu pertikaian terbuka.” Konflik antar dan inter-komponen  masyarakat yang dapat berkembang menjadi konflik antar komponen dalam masyarakat itu sendiri dan juga konflik dengan pemerintah di lain pihak.


e.         Konflik antar umat beragama
            Adalah suatu perselisihan (pertikaian) yang terjadi dan dilakukan oleh umat manusia yang menganut agama berbeda. Konflik tersebut pada umumnya ditandai dengan adanya perbuatan merusak  tempat dan simbol-simbol agama  yang dilakukan oleh masing-masing penganut agama berbeda.


                [1] Badan Pusat Statistik, 2008, Statistik Indonesia 2008, hal. 70
                [2]Lemhannas RI, 2009, Kewaspadaan Nasional dan Implementasinya dalam Pembangunan Ekonomi Nasional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar