Kamis, 29 Desember 2011

PENDIDIKAN POLITIK BAGI DPR

Oleh Fauzul Iman
I. Pendahuluan
Dilihat dari misinya judul ini ada kesan baru karena pertama, judul ini dikaitkan langsung dengan lembaga Dewarn Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal yang namanya pendidikan politik sejatinya diberikan kepada orang yang belum mengenal  politik. Dalam kontek ini, timbul pertanyaan apakah memang DPR belum pernah mendapatkan pendidikan politik, atau memang sebenranya sudah mendapatkannya tetapi belum teraktualisasikan dalam keseharian pengembangan tugasnya? Akan tetapi   ditangkap dari pandangan umum  (sepintas) , DPR sebenarny tergolog orang yang sudah mengagapai (menggondol) kecakapan menyangkut konstelasi, rekruitmentasi, regulasi, perumusan kebjakan, paradigma dan integritas poltik. Kedua,  judul yang terkait dengan pendidikan politik pada umumnya lebih tersiar ke topic antara lain bagaimna pendidikan politik bagi generasi muda, pendidikan politik bagi perempuan dan amat jarang pendidikan politik yang diarahkan pada lembaga yang langsung mengurusi politik. Ketiga, ada kemungkinan  judul ini sebagai reaksi , respon dan kepercayaan  masyarakat yang mulai berkurang  terhadap kredibilitas DPR sebagai pembela suara (hak) rakyat.
                Catatan unik tahan 2006 , seperti juga tahun sebelumnya, dari hasil survai tranparansi Internasional Indonesia (TII) telah  meyoroti  DPR sebagai lembaga yang menduduki rengking tertinggi dalam melakukan korupsi. Benar atau tidaknya hasil survey ini yang jelas masyarakat ingin membuktikan kinerja dan integritas DPR dalam menjalankan tugas politiknya di dalam sebuah negara yang demokratis. Dalam  kontek demokrasi inilah , pendidikan politik sangat berarti dan signifikan  bagi semua komponen bangsa tidak hanya DPR tetapi juga komponen dan strata lain  untuk mnadapatkan pendidikan politik.  Melalui pendidikan politik semua warga negara dapat belajar mengenai bagaimana  negara dan lembaga-lembaganya dalam menjalankan tugas, hak dan kewajibannya. Termasuk belajar dalam kaitannya memahami dan mengamalkan hak-hak wraga negara yang bersangkutan dalam partisipasinya menegakkan keadilan dan demokrasi.
II.   Makna Pendidikan Politik dan Ugensinya
                Pendidikan politik adalah upaya penyampaian  (penanaman ) niai-nila pengetahuan dan ideology kepada warga mengenai bagaimana diberlakukannya sistem, regulasi dan kebijakan  negara termasuk hal hal yang dirumuskan oleh kebijakan dan demokrasi  politik. Pengetahuan ini penting dimiliki warga untuk mengenali hak-haknya dalam upaya bepartisipasi  menegakkan keadilan dan demokrasi. Mourice Duverger, sosiolog politik Perancis, menyebutkan tiga  hal  dalam kaitan memaknai pendidikan politik  yaitu : (1) internalisasi nilai-nilai ideology, (2) Wahana sosialisasi dan komunikasi public secara kritis dan (3) Institusionalisasi visi politik.    Internalisasi merupakan bentuk penanaman dan pewarisan ideology para pejuang bangsa yang tidak diragukan lagi kesukseskannya melakukan pendidikan politik dan internalisasi nilai perjuangan kepada seluruh rakyat. Sementara sosialisasi adalah upaya kesediaan warga menjadi penyalur aspirasi dan kepentingan public. Adapun intitusionalisasi adalah aktifitas sistemik yang berjuang melalui organisasi untuk memperjuangkan kekuatan rakyat dalam mencapai target dan visi perjuangan.
                Dari pengertian ini dapat disimpulkan adanya visi dan misi yang mulia dalam pendidikan politik. Dari sini sebenarnya letak urgensi pedidikan politik bagi setiap warga yang berniat baik ingin memperjuangkan kepentingan rakyat bersama. Misi ini muncul sebagai respon dari paradigm politik era reformasi yang  menuntut keterbukaan dan partisipasi rakyat . Era sebelumnya adalah Era Orde baru yang bersikap otoriter dan doktriner. Partisipasi rakyat yang berbentuk aspirasi dan kritik korektif dicegah oleh pemerintah otoriter dengan cara yang amat represif. Kondisi ini mebuat pemerintah semakin leluasa menjalankan kebijakan yang tidak sejalan dengan aspirasi rakyat. Kebijakan pemerintah yang kerap menguntungkan kelompok elie tertentu telah menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam berbagai bidang. Pertumbuhan ekonomi hanya dimiliki oleh pemerintah dan para kroninya yang bertendensi koruptif yang membuat negara Indonesia dilanda berbagai kerisis .  Pada akhirnya dapat merugikan pemerintah sendiri karena ditumbangkan oleh  rakyat yang menuntut perlunya reformaasi dalam tubuh pemerintahan.
                   Dalam kontek inilah, urgensi pendidikan politik menjadi sangat strategis dan signifikan diperdayakan di Era reformasi .  Di era pemerintahan  yang sudah berubah ini, peluang merealisasiakan pendidikan politik bagi warga negara semakin lebar. Di Perguruan tinggi bahkan telah mengalokasikan satu mata kuliah pendidikan poltik yang disebut dengan Civic Education (pendidikan kewarganegaraan).    Berbeda dengan pelajaran Civic yang lalu, Civic Education adalah pendidikan demokrasi yang berupaya menyadarkan terdidik menjadi sadar akan hak-haknya berdemkrasi dan berpartisipasi  dalam negara. Hal  ini dilakukan sebagai penopang budaya demokrasi  itu sendiri dimana untuk membangun demokrasi yang genuine dibutuhkan upaya penyadaran melalui pendidikan demokrasi.
                Upaya ini dilakukan agar masyarakat transisi yang sedang  mereformasi demokrasi tidak mundur kembali ke ranah yang rentan terhadap tumbuhnya ancaman budaya dan prilaku kejahatan politik, seperti prilaku anarkis dalam menyuarakan pendapat, polituk uang (mony politic), pengerahan masa untuk tujuan politik dan penggunaan simbol-simbol suku dan agama dalam berpolitik. Bertolak  dari kenyataan ini,    Indonesia membutuhkan sebuah demorasi keadaban (civilitized Democracy) atau seperti yang dikemukakan Robert W. Heffner sebagai keadaban demokrasi ( democratic civility). Tegasnya untuk mencapai misi keadaban demokrasi,  maka pendidikan politik merupakan kebutuhan yang sangat niscaya dan mendesak. Menurut Azyumardi Azra,  terdapat dua alasan perlunya pendidikan politik. Pertama, meningkatnya gejala dan kecendrungan political illiteracy, tidak melek politik dan tidak tahu cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya di kalangan warga negara. Kedua, meningkatnya political apathism (apatisme politik) yang ditujukkan dengan sedikitnya keterlibatan warga negara dalam proses-proses politik.
                Uraian ini menunjukan betapa pentingnya pendidikan politik dalam suatu negara yang sedang melukan perubahan politik. Indonesia sebagai negara yang tercatat paling buruk menegakkan demokrasi di Asia tenggara ini, tentunya  tidak boleh kembali ke alam kekuasaan otoriter (point of no return) yang tidak mendidik warganya berkontribusi dalam mencerahkan peradaban demokrasi politik demi membangun kesejahteraan dalam segala aspek kehidupan.  Bagi setiap warga negara yang masih komitmen membangun negara demokrasi yang berkeadilan dan sejahtera, pendidikan politik bagi mereka merupakan entitas yang tidak boleh diabaikan.
III. Peranan dan kontribusi DPR dalam Pendidikan Politik
                Seperti sudah dikemukakan di atas  salah satu instrument  untuk menegakkan pendidikan politik adalah adanya suatu intitusi. DPR merupakan intitusi yang paling strategis dalam menunjukan peran dan kontribusinya melaksanakan pendidikan politik. Sebagai wakil pilihan rakyat, DPR sejatinya kumpulan orang berkualitas yang mampu memahami paradigma kenegaraan dan cara kerja demokrasi. Dari lembaga DPR ini seharusnya lahir prilaku dan pribadi kualitas  yang menunjukkan kompetensi dan kebaikannya sehingga patut diteladani oleh rakyat yang mewakilkannya. Akan tetapi kenyataannya rakyat masih menuntut ketulusan dan kejujuran DPR dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Selama ini rakyat masih melihat isu yang menodai citra DPR oleh ulah sebagian anggota DPR yang melakukan praktek kejahatan dan pelanggaran moral.   
                Kondisi ini tentu saja amat menyulitkan lembaga DPR untuk mengembalikan citranya agar dapat dipercaya kembali oleh masyarakat. Kesulitan yang sama adalah ketika lembaga ini harus dipercaya menjalankan peran dan kontribusinya dalam tugas-tugas mulia seperti untuk menegakkan pendidikan politik. Sementara kasus lain yang juga turut menciderai DPR terkait dengan lolosnya calon anggota dewan  oleh partai yang bersangkutan, padahal  calon tersebut tidak memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai. Namun dari sebagian anggota DPR yang cela, masih terdapat anggota DPR yang berprilaku baik dan berkualitas. Idealnya para anggota DPR yang berkualitas inilah yang paling tepat menjalankan misi pendidikan politik. Sementara bagi anggota DPR yang tidak mampu menjalankan cara kerja demokrasi DPR untuk memperjuangkan kepentngan rakyat selayaknya mereka diberi pendidikan politik.
                Dalam kaitannya dengan pendidikan politik bagi DPR terlebih dahulu harus melihat aktifitas politik di lapangan . Lalu seberapa jauh keterlibatan  DPR membijaki dan mengendalikan kegiatan-kegiatan politiknya di lapangan tersebut. Banyak hal di lapangan politk yang masih perlu disikapi oleh pendidikan politik yaitu kondisi yang melingkupi kegiatan pemilu atau pilkada. Sejak rekruitmen calon pimpinan/wakil rakyat, simbolisme suku dan penggunaan atas nama agama, pemasangan baleho, mony politic, pengerahan masa, netralitas dan penampilan elite politik, tema kompanye hingga sampai pemungutan suara. Semuanya merupakan masalah yang membutuhkan penanganan cerdas bukan saja dari sisi jaminan penegakkan hukum, tetapi juga pencerahan dari sisi  wawasan pengetahuan , sikap  maupun moral.
                Dari sinilah sesungguhnya peran, kontribusi oleh DPR dan  pendidikan politik diperlukan di dalamnya. Dari sisi  kontibusi, DPR sebagai lembaga elit politik sudah sepatutnya mengusung keteladanan dalam menampilkan cara kerja demokrasi di tengah-tengah masyarakat. Memang di sini akan timbul tarik menarik kepentingan politik karena DPR para anggotanya berasal dari partai politik. Namun setidaknya sebagai lembaga politik rakyat, DPR harus berani memperbaiki praktek politik yang tidak sehat dalam Pemilu maupun Pilkada.
 Diantara praktek politik yang belum sehat selalu saja berkisar pada maslah masalah praktek mony politic, kompanye yang tidak bermutu, pengerahan masa yang tidak mendidik, curi star kompanye, kapasitas calon wakil dan pimpinan yang tidak kualitas,kegiatan Pilkada yang terlalu menonjolkan aspek shawbiz politik, pemasangan baleho tanpa tatakrama,  masa kerumunan (political crowd),  masa grombolan (mobocratic) dan lain lain . Adapun dari sisi perlunya pendidikan politik di kalangan DPR bukan karena semata penambahan wawasan pengetahuan tetapi juga untuk  membuktikan keteladanan DPR itu sendiri di tengah rakyat. Utamanya komitmen DPR dalam upaya menegakkan kejujuran, keadilan dan demokrasi.
                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar