Kamis, 29 Desember 2011

Kedudukan Marja’ Taqlid di Dunia Syi’ah

Di lingkungan Syi’ah, eksistensi imam yang punya otoritas tidak hanya lahir dari kebutuhan politik. Sebaliknya, ia terlahir karena sudah digariskan dalam Al-Quran Al-Karim. Menurut kaum Syiah 12 Imam, pemegang wilayat Ilahiyah pertama adalah Nabi Muhammad Saw. Selanjutnya, pemegang wilayat Ilahiyah berikutnya secara berturut-turut adalah Ali, Hasan bin Ali, Husain bin Ali, Ali bin Husain as-Sajjad, Muhammad bin Ali al-Baqir, Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq, Musa bin Ja’far al-Kazhim, Ali bin Musa ar-Ridha, Muhammad bin Ali al-Jawad, Ali bin Muhammad al-Hadi, Hasan bin Ali al-Askari, dan Muhammad bin Hasan al-Mahdi al-Muntazhar. Imam terakhir ini tengah mengalami kegaiban. 
Dalam kegaiban kecilnya, fungsi imamahnya diperantarai oleh empat duta khususnya yakni Utsman bin Sa’id, Muhammad bin Utsman, Husain bin Ruh, dan Ali bin Muhammad. Dengan selesainya periode keempat utusan khusus, Imam Muhammad bin Hasan memasuki kegaiban besar.
Dalam teologi Syi’ah, seorang imam bukan saja pembimbing umat secara sosio-administratif tetapi yang lebih signifikan adalah merekalah yang punya kemampuan memahami makna batin ayat-ayat al-Quran. Dengan demikian, kalam-kalam mulia mereka setara dengan sabda-sabda suci Nabi Saw. Lain kata, ucapan-ucapan mereka tergolong dalam hadits itu sendiri. Memperkuat pernyataan ini, Imam Ja’far pernah berkata, ”Haditsku adalah hadits ayahku. Hadits ayahku adalah hadits kakekku. Hadits kakekku adalah hadits Husain. Hadits Husain adalah hadits Hasan. Hadits Hasan adalah hadits Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib). Hadits Ali bin Abi Thalib adalah hadits Nabi. Dan hadits Nabi Saw adalah perkataan Allah kepadanya.” (Jami’ Ahadits asy-Syi’ah, jilid 1). Maka itu, ucapan dan tindakan mereka senantiasa menjadi pedoman berperilaku bagi para pengikut (syi’ah) mereka. Sekaitan dengan itu, keliru bila menyebutkan bahwa, misalnya hadits menyangkut hukum, Imam Ja’far berposisi sebagai mujtahid sebagaimana Imam asy-Syafi’i di dunia Sunni.
Menyusul kegaiban besar Imam Keduabelas, kepemimpinan umat dilanjutkan oleh para ulama (baca: fuqaha/mujtahid). Adapun tentang otoritas seorang mujtahid atau fuqaha dapat dilacak dari dua hadits berikut: (1) Pernyataan Imam ash-Shadiq as, “Menolak wewenang seorang mujtahid samalah dengan menolak wewenang seorang imam, dan menolak wewenang seorang imam berarti menaruh keberatan terhadap wewenang Allah dan ini sama artinya dengan syirik.” (Syaikh Muhammad Ridha Muzhaffar, Akidah Syi’ah Imamiyah, hal. 13); dan (2) Ucapan Imam Hasan al-Askari as: “Jika ada seorang fuqaha yang menjaga dirinya, menjaga agamanya, tidak mengikuti hawa nafsunya, dan menaati perintah Tuhannya, maka wajib bagi orang awam mengikutinya (yuqalliduhu).” (Fatih Guven, 560 Hadits, hal. 379).
Akar-akar Historis Marja’ Taqlid
Istilah marja’ taqlid mengandung makna “otoritas yuridis yang sangat berilmu di lingkungan umat Syi’ah yang fatwa-fatwa hukumnya diikuti oleh mereka yang mengikutinya dan praktik-praktik keagamaan yang dilakukannya selalu didasarkan kepada fatwa-fatwanya.” (Abdulaziz A. Sachedina, 1991: 12).
Kemunculan terma ini tentunya tidak terlepas dari konsep yang mereka geluti yakni ijtihad. Tentang ini, ada fase-fase tertentu yang dilalui kaum Syi’ah. Menurut Muthahhari, kemunculan konsep konsep ijtihad di dunia Syi’ah lebih lambat ketimbang di dunia Sunni. Ini tidak terlepas dari masalah konsep kepemimpinan yang ada pada kedua golongan tersebut. Syi’ah percaya bahwa otoritas hukum dan spiritual sejak wafatnya Nabi dilanjutkan oleh Ali dan keturunannya. Akibatnya, masalah-masalah hukum dan lainnya relatif bisa diselesaikan dengan adanya figur para imam tersebut. Sementara itu, Sunni tidak punya kekhasan pemikiran tersebut. Karena tidak ada figur yang ditunjuk, maka pemecahan persoalan hukum diserahkan kepada setiap individu. Setidaknya ini terlukis pada hadits Mu’adz bin Jabal yang terkenal itu. Dari hadits itulah, istilah ijtihad bergulir.
Hadits tersebut, lanjut Muthahhari, menolerir perlunya pengembangan penalaran terhadap masalah-masalah baru yang belum tersurat dalam al-Quran dan hadits. Dalam menggunakan nalar ini Sunni lebih banyak menerapkan qiyas –yang dalam anggapan Syi’ah bukan merupakan metode ijtihad. Dalam Syi’ah, ada empat sumber hukum yang diakui: Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan akal (’aql).
Perkembangan fiqih Syi’ah, mengikuti amatan Muhammad Ramyar, melewati tiga fase. Pertama, fase ketika Thusi mampu menciptakan dasar-dasar khusus di lingkungan Syi’ah untuk melakukan ijtihad. Kedua, fase Ibn al-Muthahhar al-Hilli (w.676/1274), yaitu fase pembatasan ruang gerak fiqih Syi’ah. Pembatasan yang lebih ketat terhadap ruang gerak fiqih Syi’ah ini dilakukan oleh Mulla Amin Astarabadi (w.1034/1624) –seorang tokoh Akhbari. Ketiga, fase kebangkitan ijtihad yang diretas oleh Syaikh Murtadha al-Anshari (w.1281/1864).
Di masa al-Anshari, taqlid dalam makna sekarang mulai dikenal. Syaikh al-Anshari –yang di zamannya merupakan marja’ taqlid tunggal di Najaf sebagaimana diungkapkan Sachedina (1991: 51) –mencanangkan kebebasan berpikir dan kebolehan orang awam untuk bertaqlid kepada mujtahid yang tidak diragukan kapasitas ilmunya. Dalam konsep al-Anshari, taqlid diasaskan pada ketulusan dalam melihat kemampuan logis yang dimiliki mujtahid. Al-Anshari mengizinkan muqallid untuk bertaqlid kepada mujtahid tertentu setelah mengadakan investigasi.
Bisa disimpulkan bahwa secara teologis kelahiran marja’ taqlid dilatari oleh kuatnya doktrin dan akidah Syi’ah terhadap ulama sebagai pelanjut, pelindung agama, dan pewaris esoteris Nabi setelah gaibnya Imam Keduabelas. Keyakinan ini ditunjang oleh ayat dan riwayat yang menyatakan perlunya pemimpin dunia setelah Nabi, dan secara rasional, sebagaimana diungkap Sachedina (1991:23), dalam menghadapi krisis yang mencuat menyusul gaibnya Imam Mahdi, umat Syi’ah perlu mendapatkan yurisprudensi hukum dan politik tersendiri.
Apabila disusun secara kronologis, mengikuti pemetaan Fauzul Iman, era kepemimpinan dalam Syi’ah Imamiyah meliputi era kepemimpinan Nabi (ashr al-anbiya), era kepemimpinan para Imam (ashr al-awshia), dan era kepemimpinan ulama (ashr al-’ulama). Yang terakhir inilah, menurut Syi’ah, pelanjut Nabi dan tempat pemecahan-pemecahan agama (marja’iyat al-uzhma).
Marja’ Taqlid dalam Sejarah Imamiyah
Di antara tokoh-tokoh marja’ taqlid yang pernah muncul dalam sejarah Imamiyah, dihitung sejak era Syaikh Anshari dan sebelum masa Imam Khomeini ialah: (1) H. Syaikh Muhammad Hasan Isfahani Najafi (w.1849); (2) Syaikh Murtadha al-Anshari (w.1894); (3) Mirza Hasan asy-Syirazi (w.1894); (4) Akhund Mullah Muhammad Kazhim Khurasani (w.1911); (5) H. Muhammad Kazhim Thabathaba’i Yazdi (w.1919); (6) Muhammad Taqi Ha’iri Syiazi (w.1920); (7) Syaikh Fathullah Syari’ati Isfahani (w.1945); (9) H. Aqa Husain Burujerdi (w.1961) (Siddiqui dalam Fauzul Iman, 1995).
Di masa Imam Khomeini, ada empat marja’ taqlid yang terkenal, yakni Imam Khomeini sendiri, Muhammad Kazhim Syariat Madari, Sayyid Abu al-Qasim al-Khu’i, dan Husain Muntazheri (Zubaidi Mastal, 1989). Sementara marja’ taqlid pasca Khomeini yang termasyhur adalah Ayatullah Uzhma Sayyid Ali Khamene’i, Ayatullah Uzhma Syaikh Muhammad Taqi Bahjat Fumani, Ayatullah Ruhani, Ayatullah Uzhma Fadhil Lankarani, dan seterusnya. (Aalim Network, 4 September 1996).
Dari paparan di muka, nyatalah bahwa lahirnya marja’ taqlid dalam Syi’ah Imamiyah terkait erat dengan aspek historis maupun dengan aspirasi untuk melembagakan doktrin Imamah dalam batang tubuh Syi’ah. Keperluan terhadap marja’ taqlid –selanjutnya kepada wilayat al-faqih, yang tidak disinggung di sini mengingat relatif banyak disinggung di lain tempat- merupakan sesuatu yang alamiah dan rasional. Ia diperlukan guna membimbing amal sehari-hari umat Syi’ah dan petunjuk hidup sehari-hari. Dalam kalimat Imam Khomeini (dalam Fauzul Iman, 1995), posisi marja’ taqlid berperan sebagai ”tempat penyandaran umat dan memberi mereka petunjuk-petunjuk Ilahi demi kebahagiaan kini dan kelak.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar