Kamis, 29 Desember 2011

Umat

oleh : Fauzul Iman 



Kata umat, seperti disebut ar-Raghib al-Ashfihani dalam bukunya Mu'jam Mufradat Alfadz Alquran, diartikan sebagai ''semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, seperti agama yang sama, waktu atau tempat yang sama baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka''. Definisi ini tampaknya ingin menjelaskan pengertian (cakupan) umat tidak hanya menunjuk kepada kelompok agama tertentu tetapi juga kepada agama lain.
Alquran dan Hadis sendiri menggolongkan makhluk binatang ke dalam kategori umat. Tiada satu burung pun yang terbang dengan kedua sayapnya kecuali umat-umatmu juga seperti kamu (Q. S. 6: 38). ''Semua yang berkeliaran,'' sabda Nabi SAW, ''adalah juga umat dari umat-umat Tuhan'' (H.R. Imam Muslim).
Selain kelompok umat di atas, Alquran menyebut seseorang yang terkumpul dalam dirinya sifat-sifat terpuji, seperti Nabi Ibrahim sebagai umat. Sementara Rasulullah juga menggolongkan manusia-manusia yang durhaka kepada agama sebagai umat. ''Semua umatku masuk surga kecuali yang enggan,'' kata Nabi SAW (H.R. Bukhari).
Kata umat di dalam Alquran disebut sebanyak 52 kali dalam bentuk tunggal. Al-Damighani dalam kamus Alqurannya memerinci sembilan pengertian kata umat yang terdapat dalam Alquran, yaitu: kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin, generasi silam, umat Islam, orang-orang kafir, dan seluruh umat manusia.
Semua pengertian umat yang terungkap dalam tulisan ini, menunjukkan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang luwes, terbuka dan moderat, yang dapat menampung sekian himpunan umat yang hidup di bumi ini. Umat Islam, menurut Alquran, adalah Ummatan Wasathan (Q.S.2:143). Yusuf Qardawi dalam bukunya Al Khashais al-Ammah li al-Islam menjelaskan pengertian wasathan sama dengan tawazzun, yaitu keseimbangan antara dua arah atau jalan yang saling berhadapan atau bertentangan; tidak terpengaruh oleh kepentingan individu, kelompok, ras dan suku. 
Dengan demikian, Ummatan Wasathan adalah umat yang adil, toleran, senang berdialog, mau hidup rukun dan tidak bersikap ekstrem yang dapat memicu lahirnya konflik pribadi dan masyarakat. Ummatan Wasathan juga berarti umat yang posisinya selalu berada di tengah yang dapat dilihat oleh semua pihak. Mereka menjadi syuhada dalam arti saksi dan sekaligus disaksikan.
Mereka adalah umat yang harus mampu menjadi teladan bagi yang lain dalam menegakkan keadilan, membela kebenaran, dan melenyapkan tindakan kekerasan, keterbelakangan, dan kemiskinan umat. Karena itu, dalam konteks negara kita yang sangat heterogen -- terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama -- sudah barang tentu Islam senantiasa menempatkan perbedaan dan keanekaan ini dalam posisi umat yang potensial untuk diajak bersama-sama membangun bangsa dan menegakkan kebenaran Ilahi di muka bumi. 

Demonstrasi

Oleh Prof Dr H Fauzul Iman MA


 
Demonstrasi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah muzhaharah. Kata dasarnya adalahzhaahara yang artinya menunjukkan fakta. Dilihat dari makna kata dasarnya, tersimpul pengertian bahwa demonstrasi adalah aksi untuk menunjukkan fakta dan data-data akurat yang disertai argumentasi yang kuat.
Dalam bahasa agama, demonstrasi seperti ini disebut dengan al-burhan. Ibnu Taimiyah memahami kata al-burhan dengan bukti-bukti yang didemonstrasikan secara empiris. Firman Allah SWT, "Katakanlah (hai Muhammad), tunjukkanlah bukti-bukti kebenaranmu jika kalian termasuk orang yang benar." (QS Albaqarah [2]: 111).
Ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang Yahudi dan Nasrani yang mendebat Nabi SAW. Orang-orang tersebut mengklaim dirinya yang paling baik dan akan masuk surga. Namun, mereka tidak mampu menunjukkan bukti-bukti yang kuat sehingga klaimnya dinilai Alquran sebagai angan-angan kosong (amani).
Berdasarkan ayat ini, kita boleh saja berdemonstrasi untuk menuntut hak, menyampaikan aspirasi, atau melontarkan kritik kepada pemerintah, baik melalui tulisan, turun di jalan, forum dialog, maupun seminar. Namun, semua itu harus disampaikan dengan cara-cara yang beradab.
Akhir-akhir ini, kita sering menyaksikan betapa maraknya aksi demonstrasi di negeri ini. Sebagian dilakukan dengan cara-cara elegan dan damai. Namun, sebagian lainnya dilakukan dengan kekerasan. Cara-cara kekerasan dalam berdemonstrasi jelas sangat berbahaya. Karena, selain mengancam persatuan bangsa, juga melanggar prinsip demokrasi itu sendiri. Bahkan, melanggar norma-norma agama.
Karena itu, mari kita mengambil pelajaran dari Allah SWT saat memerintah Musa AS untuk mencegah ulah Firaun yang membahayakan masyarakat di negerinya. Dalam misi besarnya itu, Musa diperintahkan untuk berkata lembut dan sopan. Firman-Nya, "Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Firaun. Sesungguhnya, dia telah melampaui batas. Maka, berkatalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (QS Thaha [20]: 43-44).

Ramadhan Emansipatoris

Oleh :  Prof Dr H Fauzul Iman, MA 





Bulan Ramadhan sebagai bulan suci, kehadirannya tidak dapat disangsikan telah mendapat sambutan yang begitu semarak oleh kaum muslimin baik dalam level dunia maupun level nasional.
Khusus di negeri kita hampir semua komunitas muslim menyambutnya dengan tingkat mobilitas kegiatan keagaman yang amat berbeda dengan bulan bulan biasa. Utamanya menyangkut antusiasisme aktifitas keagamaan yang dilakukan, tampak kepermukaan menonjol. Tidak saja dalam kegiatan-kegiatan yang sekalanya terbatas pada space sosial tertentu tetapi juga kerap pada kegiatan keagamaan yang melampaui batas lintas kultur. 
Dalam space tertentu sebut saja, misalnya, yang paling normatif adalah salat jamaah tarawih bersama, kontemplasi ibadah melalui tahajud, i’itikaf, kultum, buka bersama, bazar amal, dan diskusi-diskusi keagamaan. Sementara yang sifatnya paling kongkrit adalah gerakan pengumpulan zakat, infak dan sedekah baik oleh lembaga resmi maupun oleh lembaga soaial yang didirikan di masjid-masjid. Bahkan dalam bulan Ramadhan ini, tidak jarang diadakan pula kegiatan yang bersifat dialog keagamaan dengan melibatkan pemeluk agama non muslim untuk diajak bersama memecahkan problem sosial keagamaan. 
Pada batas yang paling formal antusiasisme keagamaan di atas, amat baik setidaknya umat Islam secara simbolik telah meletakkan keagungan Ramadhan sebagai syiar. Artinya umat Islam mampu mendeklarasikan Ramadhan di tengah-tengah umat dengan eneka kegiatan dan dengan pesertanya dalam jumlah massif. Tegasnya Ramadhan berhasil digerakkan umat menjadi media kolektif (bersama) dalam memperoleh inspirasi (pelajaran) agama, menggagas dan memecahkan persoalan pendidikan dan pembiasaan-pembiasaan disiplin. Termasuk dalam hal penggalangan solidaritas sosial islamiyah. Firman Allah SWT, “Demikianlah (perintah Allah) dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka itu sesungguhnya timbul dari ketakwaan hati ( Q.S. 22 : 32). 
Dari segi kemampuannya menggalang kegiatan umat secara massif, dalam diskursus sosiologi agama, Ramadhan dapat menjadi penggerak emansipatoris di tengah-tengah monumentalitas umat. Emansipatoris, sebagaimana menurut James Hastings, dalam bukunya Encyclopedia of Religion and Ethic artinya suatu pembebasan dari hidup pembekuan intelektual (kebodohan), kemiskinan, pemihakan individu, kekuasaan, dan golongan. Dengan kata lain emansipatoris adalah gerakan bersama membebaskan kezaliman (penindasan), sifat individualism, dan aroganisme dalam upaya mewujudkan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. 
Kita cermati bagaima Ramadhan menjadi lokomatif kegiatan rohaniah. Dengan tarawih bersama, secara psilologis umat didorong dapat melakukan temu sosial dan silaturahmi dalam batas dan lingkup kohesifitas masyarakat. Dengan kultum, umat sekali waktu diketuk dan disentuh batinnya dengan pesan pesan agama mengenai disiplin hidup, tentang persatuan, perdamaian, pencerahan dan perubahan hidup. Dengan diskusi umat diajak berfikir memperoleh wawasan rasional dan kreatif untuk memecahkan persoalan aktual kehidupan. Dengan menghimpun zakat, infak dan sedekah umat didorong bersatu padu menggalakkan kepekaan sosial dalam membantu kaum lemah (duafa) tanpa melihat latar belakang sosial dan kebudayaan. Pokoknya dengan mobilitas Ramadhan, momentum kegiatan keagamaannya sangat praksis dalam menggerakkan dan menggiring umat di atas kesatuan rohaniah, persamaan derajat kedudukan, dan hak hak bersama membebaskan penindasan (pembodohan dan pemiskinan). 
Inilah pentingnya kita lestarikan Ramadhan dalam nuansa emansipatoris. Pertanyaanya seberapa jauh nuansa ini dapat berjalan konsisten di tengah-tengah kehidupan umat. Amat disayangkan pembinaan Ramadhan yang begitu survive di masanya kini mati dan membeku kembali dalam sisa dan puing-puing realitas kehidupan umat terutama setelah masa Ramadhan berhenti. Nuansa pembiasaan menggalang hidup bersama yang dahulu sangat kolektif egaliter kini menyempit bersifat ad hoc dan rontok setelah umat memburu kepentingan sesaat. Hidup saling menghujat, mengadu domba dan mencela masih tetap bercokol dalam lembaga-lembaga yang seharusnya menjaga kedamaian dan saling tolong-menolong. Seperti kerap terjadi di partai politik, kantor maupun organisaasi sosial keagamaan. Teror bom masih saja terjadi oleh kelompok tertentu. Hidup saling tolong-menolong dan peduli umat tidak tumbuh karena anak yatim dibiarkan tidak sekolah dan tidak sedikit kaum elit mengusir para pengemis. Bahkan disiplin menghargai waktu di kantor-kantor tidak dilaksanakan karena para pegawai sering masuk kantor terlambat. Hidup selingkuh menyakiti suami dan istri masih terjadi di mana mana. Celakanya mereka masih memandang semuanya sebagai hal yang biasa dan lumrah terjadi dalam suatu kehidupan. 
Ironisnya nuansa hidup yang tidak emansipatoris ini justru masih terjadi pula dalam hal hal yang sangat sepele, misalnya umat masih meributkan perbedaan ritual yang bersifat furui’yyah. 
Suasana keberagaman semacam ini jelas merusak citra ibadah puasa dan bertentangan dengan tujuan, visi dan misi ibadah Ramadhan yang sangat emansipatoris. Untuk menghindari kondisi yang tidak kondusif bagi kehidupan keberagamaan masa depan, maka upaya menghidupkan semangat Ramadhan emansipatoris secara berkesinambungan merupakan suatu keniscayaan. 

Prof Dr H Fauzul Iman, MA 

Penulis adalah Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN SMH Banten

Punya Kemiripan Sejarah, Banten Bisa Belajar Dari Iran

Oleh : Prof. Dr. Fauzul Iman

 

Selama satu pekan mulai dari 14-1 Juli 007 Iran Cultural Centre (ICC) mengundang tokoh-tokoh Islam mengunjungi Iran. Salah satu rombongan itu adalah Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN SMH Banten Prof Dr Fauzul Iman. Kepada Radar Banten Fauzul mengisahkan perjalanan ilmiah tersebut. 
Rute kunjungan diawali dengan mengunjungi kota Qum, Teheran, yang merupakan kota kaum mullah (para ulama). Dalam sejarahnya, Qum terkenal sebagai pusat gerakan jihad ulama Iran. Di kota Qum inilah rombongan yang terdiri dari Prof Dr Fauzul Iman, Guru Besar UGM Prof Dr Amien Rais, Ketua MUI Pusat Dr Umar Sihab, mantan Menteri Pemberdayaan Wanita Tuti Alawiyah, pengurus PP Muhammadiyah Munawar Abbas dan rektor UGM, utusan Universitas Brawijaya, IAIN, dan Universitas Muhamadiyah diterima oleh para ayatullah (ulama besar yang memiliki keilmuan berderajat mujtahid). 
Para ayatullah menyambut kedatangan rombongan dengan ramah, terbuka, dan penuh persaudaraan. Mereka adalah ulama yang rata-rata berkapasitas pemikir genius. Mereka tidak hanya menguasai ilmu keagamaan, tetapi juga mumpuni dalam bidang keilmuan sekuler seperti bahasa Inggris, Sosiologi, Antropologi, Filsafat dan Matematika. Sebagian para ulama itu telah memperoleh gelar doktor dan profesor. 
Seiring dengan kapasitas yang dimilikinya, para ulama itu sangat militan, sederhana dan disiplin dalam memegang teguh aqidah dan idealisme keilmuan. Salah satu contoh yang menarik dari idealisme itu ialah obsesi mereka menentang dan melawan musuh Islam tidak dengan cara radikal tetapi dengan landasan rasional dan keilmuan. “Kita dari dunia Islam sudah saatnya membangun ukhuwah di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi buat menangkis musuh yang kelewatan batas,” ucap ayatullah Talaqi, pemikir internasional Iran, ketika berbicara menyambut kedatangan rombongan tokoh Islam. 
Selain itu yang paling menarik adalah komitmen dan idealisme keilmuan seorang ayatullah Qum yang bernama Marashi Najafi. Selama 29 tahun ia megumpulkan naskah klasik (manuskrip) yang berusia ratusan hingga ribuan tahun. Tekadnya mengumpulkan naskah dipicu oleh orientalis barat yang memborong naskah Islam di Irak. Marashi menduga sang orientalis barat itu akan berniat menguasai ilmu Islam yang pada akhirnya menghancurkan peradaban Islam. Dari sinilah, ayatullah Marashi Najafi mulai tertarik dengan naskah (manuskrip) sehingga berusaha dengan sekuat tenaga mengumpulkan naskah itu dari berbagai negara Islam. 
Dengan niat ingin memajukan peradaban Islam, Marashi rela membeli naskah dari uang hasil jerih payahnya bahkan tidak sedikit mengorbankan uang demi memiliki naskah tersebut. Suatu ketika ia mau menunaikan ibadah haji, di tengah perjalanan ia melihat naskah yang sedang dijual. “Ketika itulah ia membatalkan ibadah haji. Ongkos hajinya digunakan untuk memborong naskah,” tandas Fauzul. 
Naskah-naskah yang telah dikumpulkan dan dibelinya itu kini disimpan dan dirawat dalam sebuah gedung megah dengan tanah berukuran enam ribu meter persegi berlantai lima ke bawah (lantai basement) dan tiga ke atas. Total naskah berjumlah 120.000 disimpan khusus di lantai lima basement. Menurut pengelolanya, Dr Awsathi, sebagai pustakawan naskah, lantai basement itu anti bom dan gempa berkekuatan 5 skala richter. Dari segi subjeknya naskah itu memuat bidang al-Qur’an yang ditulis tangan tanpa ada syakel dan titik, tafsir, hadis, ilmu kalam, filsafat, sejarah, sosilologi, antropologi, perbandingan agama, dan tentang ke iranan. 
“Bila kota Qum hendak dibandingkan dengan Banten, terdapat kemiripan dari segi heroisme sejarah dan nuansa religiusitas. Namun dari segi militansi keilmuan yang dibuktikan secara simbolik kultural dan praktis akademik masih jauh tertinggal dengan spirit para mullah Qum,” ujar Fauzul. 
Di Qum, para ulama dengan pusat organisasi pendidikannya, Hawzah Ilmiah, mampu mendirikan beratus-ratus lembaga pendidikan yang bertujuan mencetak mujtahid. “Sementara di Banten masih membutuhkan perjuangan keras, terutama dari segi komitmen dan tingkat kepedulian keilmuan para komponen Banten,” tandasnya. 
Di Qum, para ulamanya mampu menggalang dana sosial secara mandiri, utuh dan kompak. Beratus-ratus lembaga pandidikan dengan perangkat lunak dan kerasnya (fisik) telah dibangun secara mandiri oleh para ulama Qum. “Bantuan dari pemerintah memang ada tapi dukungan dan sikap kepedulian keilmuan pemerintah sangat tinggi,” ujrnya lagi. 
Di Banten keseriusan demikian baik para ulama maupun pemerintah belum mampu menggalang. “Oleh karena itu, penanaman keseriusan kepedulian ilmiah dan akademik di Banten selayaknya dipelopori oleh ulama dan pemerintah,” imbuhnya. 
Bila di Qum, para ulama dan pemerintah mampu merawat peradaban dan kebudayaan dengan mendirikan perpustakaan naskah, maka di Banten sudah sepantasnya didirikan institusi yang mampu mengakses peradaban kebantenan dan Islam. “Institusi itu bisa bernama ‘Bantenologi; yang berupaya dengan serius menggali dan merawat kepustakaan, naskah (manuskrip), serta peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga,” pungkasnya. 
Tingkat keharuan melestarikan peradaban agama antara Qum dengan Banten terdapat kemiripan. Dalam hal ini tampak pada upacara ziarah kubur di pemakaman orang-orang yang dipandang mulia dan terhormat. Di makam Imam Khomeini, para peziarah dengan penuh keharuan mengelu-elukan dan mengenang jasa kebesaran Khomeini. Para peziarah itu tidak sayang mengeluarkan uang dari koceknya dan dilempar ke dalam makam Khomeini hingga menutupi setengah makam tersebut. “Namun uang yang terkumpul itu tidak digunakan untuk kepentingan keluarga Khomeini, tetapi untuk membangun mesjid dan lembaga pendidikan,” ujarnya. Maukah Banten belajar dari Iran?

Guru Besar Universitas Al Azhar Naik Angkot

Oleh : Prof. Dr. Fauzul Iman


Guru besar IAIN se-Indonesia diberi kesempatan untuk berdialog dengan ulama dan pemikir di universitas terkemuka Mesir. Dari IAIN SMH Banten, yang berangkat adalah Prof Dr H Fauzul Iman, MA. Berikut laporannya setelah Fauzul tiba di Banten. 
Kunjungan ke negeri Nil, Mesir selama dua minggu (29 November-16 Desember 2009) untuk mengikuti kegiatan short course telah membuahkan manfaat dan kesan yang tidak terlupakan. Kesan itu dirasakan setelah saya dengan kawan-kawan para guru besar IAIN/UIN se Indonesia berkunjung dan mengadakan dialog dengan para ulama dan pemikir di tiga universitas terkemuka Mesir, yaitu di Universitas Al-Azhar, Universitas Kairo, dan Universitas Qanat Swes. 
Di Universitas Al-Azhar kami berdialog dengan Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Prof Dr Abdullah al-Husaini Ahmad Hilal. Di antara poin menarik dari dialog itu ialah mengisahkan al-Azhar sebagai perguruan tinggi tertua yang berdiri melewati sejarah panjang dan berliku-liku. 
Bermula al-Azhar berdiri dari masjid ke masjid dengan pengajian alakadarnya oleh ulama ke ulama secara turun-temurun. Dengan bekal keimanan dan ketulusan tanpa mengharap suatu materi, pengajian itu mendapatkan dukungan masyarakat luas hingga pada puncaknya mendapat perhatian khalifah al-Hakim bi Amrillah dari Dinasti Fathimiyah dengan bantuan dana wakaf. Lalu, diikuti oleh khalifah berikutnya serta dermawan setempat dan seluruh dunia Islam. Konon kabarnya, sampai saat ini, wakaf tersebut pernah mencapai sepertiga dari kekayaan Mesir. 
Demikian, antara lain, keunikan sejarah berdirinya Universitas al-Azhar yang pertama kali cikal bakalnya berupa masjid dibuka oleh Panglima Jauhar al –Shiqilly pada 970 M. Menurut Ahmad Hilal, berdirinya Universitas al-Azhar tidak dapat dipisahkan dari perjuangan gigih Amru bin Ash ketika menguasai wilayah Mesir atas perintah Umar bin Khathab. Di sana Amru bin Ash mendirikan masjid dan membangun kota dengan nama Fushthat. Kemudian kekuasaan berpindah ke khilafah Abassiyyah yang mengubah nama kota menjadi al-Qatha’i yang ditandai dengan pembangunan masjid bernama Ahmad bin Thoulun. Pada masa Dinasti Fathimiyyah (969 M) kota diubah lagi dengan nama al-Qahirah ditandai dengan pembangunan masjid bernama Jami’ al-Qahirah dan pembangunan beberapa istana yang bernama al-Quhsur al-Zahirah (istana-istana berkilau). Dari Dinasti yang beraliran syi’ah inilah berdiri lembaga pendidikan al-Azhar, kelanjutan dari nama masjid Jami al-Azhar. Pada puncak kekuasaan Salahuddin al-Ayubi, al-Azhar berubah dari ideologi syi’ah ke ideologi sunni. 
Pada 1928, dan terutama, setelah diberlakukan undang undang tentang pengembangan universitas, kini dibuka fakultas-fakultas umum (ulum al-Dunya) terdiri antara lain sain teknologi dan kedokteran, namun tetap konsisten mempertahankan ciri khas ilmu keagamaannya (ulum ad-din). Strateginya yaitu bagi mahasiswa fakultas umum tetap diwajibkan menghafal al-Quran sebagaimana diberlakukan pada fakultas keagamaan. Universitas al-Azhar hingga kini tetap mampu bertahan dalam dua tradisi tradisional dan modern. Dalam mengembangkan kurikulum, al-Azhar berorientasi pada kebutuhan zaman tetapi membatasi pada hal-hal yang berorientasi pada gemerlap materi. 
Kini Universitas al-Azhar telah memilki mahasiswa 420.000 terdiri dari 160.000 mahasiswa asing serta 104 mahasiswa arab. Mereka masing- masing tersebar dalam enam puluh delapan fakultas dan enam fakultas cabang. Semua mahasiswa asing tersebut termasuk mahasiswa Indonesia yang belajar di al-Azhar dibebaskan dari biaya dan diberi bantuan dana setiap bulan masing-masing 160 pon (junaih). Bahkan mereka disediakan asrama (tempat menginap) yang bernama Madinat al-Bu’us al-Islamiyah. Seluruh bantuan pendidikan yang diberikan pada mahasiswa berasal dari dana wakaf yang terkumpul di Universitas Al-Azhar. Saya berani mengatakan Indonesia belum signifikan memberikan bantuan biaya kepada mahasiswa di Mesir kecuali hanya menfasilitasi melalui seleksi ujian. 
Para alumninya sejak dahulu tersebar menjadi ulama, pemikir dan tokoh dunia. Bahkan dewasa ini tesebar di berbagai instansi baik di politik, hakim, jaksa, menteri serta ada di antaranya tokoh dunia dan pemikir-pemikir Islam liberal. Hal ini terjadi karena al- Azhar merupakan universitas terbuka yang menghargai toleransi dan mengajarkan kebebasan bermazhab. Tidak heran jika kini dunia telah mengenal pemikir-pemikir Islam liberal legendaris lulusan al-Azhar seperti Muhammad Abduh, Ali Abdurraziq, Toha Husain, Qasim Amin dan pemikir Islam tradisionalis tingkat dunia seperti antara lain Yusuf Qordowi. Bahkan saya dengar Syeikh Thantawi sebagai Grand Syekh al- Azhar pernah mewacanakan pemikiran liberalnya tentang bunga bank, bom bunuh diri, dan dukungan terhadap pemerintah Perancis yang melarang wanita memakai cadar penutup muka (niqab). Walaupun Grand Syekh mendapat kecaman dari para ulama setempat dan dunia Islam bahkan fatwa fatwanya dituduh sebagai pesanan dari Amerika, namun ia dan al-Azhar masih tetap bergulir dan eksis seperti sekarang. 
Uraian sepintas ini memperlihatkan bagaimana Al-azhar hingga kini tidak pernah kedap menghadapi tantangan modern. Ia tetap unik dengan konsisten mempertahankan tradisinya di samping proyek modernisasi dan liberasinya. Terbukti walau dengan pemikiran liberasinya Thantawi, sebagai seorang Grand Syekh, Universitas Al-Azhar hingga kini tetap masih mandapat dukungan dan mengunduh dana wakaf dengan amat signifikan dari masyarakat. Keunikan lain adalah sikap guru besarnya baik yang mengabdi di al- Azhar maupun di luar al-Azhar telah menunjukkan sikap tawadu dan biasa-biasa saja bergaul dan berbaur. Saya menjumpai mereka naik angkot dan makan bersama mahasiswa di warung-warung makan yang berada di sekitar al-Azhar Kota Kairo. Para guru besarnya bersahaja namun juga diperkenankan mereka berbeda dan tidak setuju dengan tradisi pemikiran al-Azhar. 
Ketika bekunjung ke Universitas Qanat Swes (Suez Canal) dan Universtitas Kairo. Saya berdialog dengan Prof Dr Abdurrahim al-Kurdi, Dekan Fakultas Bahasa Universitas Swez Canal dan Prof Dr Hasan Hanafi, Guru Besar Universitas Cairo. Kedua Guru Besar ini bersegmen sama dalam tradisi pemikiran keislaman. Mereka dalam beberapa hal tidak sejalan dengan tradisi pemikiran al-Azhar. “Saya alumni al-Azhar dididik dan dibesarkan ilmunya dari sana, tapi tidak berarti saya sejalan dengan semua stradisi pemikiran dan sistem pendidikan al-Azhar”, cetus Prof Dr Abdurrahmin al-Kurdi, ketika menjawab pertanyaan saya dalam dialog.
Sementara Hasan Hanafi, tokoh yang bukan alumni langsung al-Azhar tapi ia banyak menimba ilmu dari guru-gurunya di al-Azhar, adalah tokoh pemikir Islam liberal dunia yang bersahaja, hangat, senang bergurau dan akrab dalam berdialog. Hasan Hanafi memang terhitung pemikir Islam liberal di Mesir. Ia menggagas perlunya meninggalkan turas Islam yang tidak lagi sejalan dengan zaman. Turas masa lalu yang berorientasi pada klaim paling benar harus diubah dengan pikiran kontekstual yang tidak menggunakan kategori iman dan kafir. Kategori iman dan kafir akan mempersempit pergaulan ilmiah yang membuat umat Islam selalu berada pada peradaban terbelakang, kebodohan dan kemiskinan.
Hasan Hanafi, mendorong umat Islam berpikir demokratis, independen dan lintas kultural sehinga tidak terjebak pada perangkap sekte sempit. Namun, dalam membela akidah, Hasan Hanafi tidak kalah keras dengan Islam fundamentalis. Dalam dialognya, ia mengajak umat Islam dunia untuk menegakkan teologi tanah, yaitu teologi yang berprinsip bahwa tanah milik adalah anugerah Tuhan yang harus direbut secara revolusioner. Karena itu, Hasan Hanafi mengajak umat Islam merebut tanah umat di Palestina dari tangan orang-orang Yahudi/Israel dengan revolusionir dan perang.
Uraian sepintas ini menggambarkan bahwa sejak dahulu pertarungan pemikiran dialektis antara pemikiran liberal dengan tradisional di Universitas al-Azhar, Kairo, tampak berjalan inten dan terkadang menegangkan. (*)Menurut Ahmad Hilal, berdirinya Universitas al-Azhar tidak dapat dipisahkan dari perjuangan gigih Amru bin Ash ketika menguasai wilayah Mesir atas perintah Umar bin Khathab. Di sana Amru bin Ash mendirikan masjid dan membangun kota dengan nama Fushthat. Kemudian kekuasaan berpindah ke khilafah Abassiyyah yang mengubah nama kota menjadi al-Qatha.

Etos Ramadan

Oleh : Prof. Dr. Fauzul Iman



Kalimat-kalimat motivatif mengenai Ramadan seperti kalimat Ramadan bulan penuh rahmat, Ramadan bulan pendidikan moral, Ramadan bu­lan pembebasan dosa dan lain-lain. Kalimat-ka­limat itu telah didengar oleh seluruh umat Islam bahkan mung­kin oleh umat non­mus­lim. Dari sisi subtansi, ka­limat itu sebenarnya ber­asal dari hadis Nabi, wa­lau­pun secara implisit dalam hadis tidak dinyatakaan de­mikian. Dari sisi misinya, ka­limat itu amat dinamik ka­rena mengandung pesan edu­katif yang mendorong p­e­laku puasa untuk mengisi Ramadan dengan ke­giatan-kegiatan produktif dan positif.
Dalam kondisi tertentu, sepertinya umat Islam ter­pengaruh oleh kalimat mulia itu karena pada ta­hap permukaan umat Islam secara masif ber­da­tangan salat berjamaah di masjid. Di sanalah me­reka secara kompak mengamalkan aneka ritus berupa kalimah istighfar, tahlil, tasbih, tahmid, dan amalan-amalan lainnya. Bahkan jamaah dengan intens mendengarkan tausiyah profetik dari para penceramah yang meng­­­gugah umat untuk melaku­k­an kegiatan amaliyah yang lebih baik dalam kehidupan. Na­mun kegiatan  tersebut telah ber­henti di batas ritual sesaat tanpa ima­jinasi kreatif yang dirasa­kan se­cara aplikatif oleh umat.


Padahal kalimat motivatif Ra­madan pada level implisitnya ber­asal dari sabda Nabi Mu­ham­mad SAW yang mengandung ima­­jinasi Ramadan yang berdaya kreatif tinggi. Sebut saja, misanya, kata i’tqu min an-nar (bulan be­bas dari api neraka). Secara se­­man­tik kata bebas dari api ne­raka me­miliki makna dan ima­­jinasi yang dalam. Tidak boleh dipahami secara simbolik sehingga menyi­kapinya hanya sebatas amal ritual per­mohonan ampun pada Allah yang sig­nifi­kansi praksisnya juga sangat ter­­batas. Kata itu harus dipahami se­cara luas ke arah mak­na peng­in­safan dosa dari segala dimensi  ke­hidupan sosial eko­nomi dan politik.
Pemahaman yang terakhir di atas itulah yang  mengandung im­­plikasi luas ke arah imajinasi pem­bebasan dosa dari segala akti­vitas peradaban yang cela. De­ngan amalan Ramadan kita ber­arti harus melakukan pem­be­basan dosa antara lain dari dosa terhadap negara, prilaku aro­ganisme, kebodohan, kemis­ki­nan, intoleransi, kebahilan, dosa etos kerja, dan pembebasan dari dosa penataan lingkungan hidup. Selama ini pengetahuan sebagian umat tentang hukuman dosa hanya pada mereka yang meninggalkan kewajiban ibadah mahdah seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Sementara me­reka yang tidak peduli dengan ke­miskinan dan kebodohan, me­langgar disiplin, perilaku sek­tarianisme, tidak suka me­lakukan penelitian (tidak cinta ilmu), merusak lingkungan,  dan me­langgar undang-undang ne­gara, jarang dikecam sebagai per­buatan dosa.
Itu sebabnya setiap kali mo­men­tum ibadah Ramadan mun­cul, selalu saja berhenti pada ke­giatan ritual monoton. Ironis­nya kegiatan ritual yang pada awal­nya terlihat masif semakin hari semakin me­nyusut. Pada akhir­nya ibadah Ra­madan hanya terlihat beberapa orang saja yang melaksankan salat tarawih berja­maah. Dampaknya hingga kini ama­­lan Ramadan belum me­mi­liki imajinasi kreatif yang ber­upaya memperbaiki rea­litas sosial dan citra peradaban umat dengan konkrit.
Fakta yang terjadi malah masih ba­nyak pasca-Ramadan, orang-orang yang tidak merasa berdosa ketika bersikap  masa bodoh atau tidak peduli dengan masalah sosial (kemanusiaan) moral, pen­didikan dan lingkungan. Di bidang kemanusiaan, misalnya masih didapati orang yang mem­biarkan umat yang telantar tidak mendapatkan bantuan pen­di­dikan, padahal mereka tergolong anak cerdas. Di bidang etos kerja dan moral didapati para pegawai ne­gara yang tidak disiplin dalam bekerja tepat waktu dan menge­lola keuangan negara. Di bidang il­mu masih didapati plagiator ilmiah dan malas melakukan pe­ne­litian. Di bidang ketertiban dan penataan lingkungan masih di­dapati orang yang membuang sam­pah seenaknya dan melang­gar ketertiban lalu lintas. Bahkan hidup saling menghormati dan to­leransi antara sesama umat nyaris tercabik-cabik oleh aro­ga­­nisme kelompok dan per­be­daan satus sosial dan agama. Saat­nya pelaku yang disebut di atas dikenakan hukuman “dosa besar”, karena Tuhan tidak butuh lagi pada mereka yang berpuasa tapi mencelakakan peradabanya sendiri. Barangkali inilah yang dimaksud dengan hadis Nabi, “ba­­rangsiapa yang tidak meng­amal­kan kalimat-kalimat moti­vatif dalam ibadah Ramadan de­ngan konkrit, maka Allah tidak ber­kebutuhan padanya dari se­kadar meninggalkan makanan dan minuman”.

Prof Dr H Fauzul Iman, MA
Direktur Pascasarjana IAIN SMH Banten

Mahasiswa Asal Banten di Negara Seribu Menara

Prof Dr Fauzul Iman, MA 



Kesempatan ini saya gunakan setelah KMB berulang-ulang dan cukup lama menghubungi saya baik di hotel tempat saya menginap maupun melalui kontak selurer. Dari semangat dan sorot matanya saya memahami mengapa KMB di Mesir mengundang saya untuk menjadi pembicara dalam forum dialog eklusif. Sementara dari sisi kesibukan dalam kegiatan shorts course yang menyita waktu hingga hampir-hampir saya tidak dapat memenuhi keinginan mereka. Namun setelah berdialog langsung, saya dapat menangkap adanya tiga motivasi kuat yang diinginkan KMB mengundang saya untuk berdialog yaitu silaturahmi, memperkenalkan sepak terjang KMB dan penyampaian isi hati. 
Silaturrahmi saya dengan KMB berjalan begitu akrab, hangat dan dialogis karena acaranya dipetakan dalam suasana forum dialog di mana saya menjadi pembicaranya. Sudah menjadi kebiasaan mahasiswa Indonesia di Mesir apabila kedatangan para tokoh Indonesia selalu saja didaulat untuk menjadi pembicara. Demikian pula rupanya saya dipandang mereka sebagai tokoh Banten yang harus didaulat menyampaikan informasi ilmiah dan hal-hal aktual yang terjadi di Banten sebagai tempat asal kelahiran mereka. 

Saya memulai berdialog dengan menyampaikan presentasi di hadapan KMB dari hal yang sederhana dan keinginan KMB untuk menyampaikan informasi aktual mengenai Banten. Selama dua jam lebih saya menjadi pembicara di KMB yang bertempat di asrama yang cukup luas. Asrama berlantai itu merupakan bantuan Pemprov Banten yang dibeli dari gedung berlantai dan tiga flat dijadikan satu. Bantuan dengan jumlah dua miliar dari Gubernur itu telah cukup membuat kantor KMB permanen dan nyaman dihuni karena telah dipenuhi dengan mebeler, permadani dan peralatan kantor. Namun gedung tersebut terkesan masih kumuh ketika dipandang dari sisi luarnya karena untuk penataan kondisi lingkungan dan bangunan luarnya masih ditangani developer. KMB beruntung dan berbahagia mendapatkan bantuan asrama dari Pemprov Banten, sebagaimana dialami oleh mahasiswa dari provinsi lain yang juga mendapatkan bantuan asrama dari gubernurnya. Kini jumlah asrama mahasiswa daerah di Mesir menjadi sembilan buah setelah Banten— yang terakhir kali—memilikinya. 

Dari dialog itu terbetik semangat, gagasan dan harapan bercampur cemas yang keluar dari pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan mahasswa Banten di Mesir. Semangat mahasiswa Banten di Mesir tidak diragukan lagi karena dibuktikan oleh kinerja yang ditampilkan dalam sebuah organisasi paguyuban (kekeluargaan) yang bernama KMB. Organisasi kedaerahan ini didirikan pada 1976 dengan ketuanya pada saat itu DR H Syibli Syarjaya kini ia menjabat sebagai Purek I IAIN SMHB Serang. Sebagaimana terungkap dalam dialog, organisasi ini dibentuk untuk menjaring silaturahmi antar warga Banten yang berada di Mesir dan di Indonesia dalam upaya mempermudah perjuangan menggali ilmu. 
Adapun dari aspek akademis berfungsi sebagai medan berlatih dan mengasah daya nalar dan intelektualitas anggota sebagai persiapan menghadapi tantangan Banten dan Indonesia kini maupun masa depan. 
Dari sisi kinerjanya, organisasi ini cukup berobsesi menjadikan anggotanya kreatif bersaing dan ingin menunjukkan kemampuan sebagai orang Banten (dalam berbagai bidang) di tengah komunitas lain. Oleh karena itu, KMB sebagai satu satunya lokomatif (penggerak) kegiatan mahasiswa Banten bukan saja menjadi sentral komunikasi warga Banten di Mesir, tetapi juga strategis dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bernuansa akademis (ilmiah) dan pengembangan intelektual melalui diskusi, seminar dan bedah buku. Bahkan saya pernah membaca karya-karya buku monumental yang telah ditulis mahasiswa KMB. Di antara buku itu menuangkan pemikiran cemerlang para tokoh Islam terkenal (kelasik dan modern). Salah satu tokoh atau pemikir Islam yang menjadi kajian buku dimaksud adalah pemikir legendaries Syeikh Nawawi Al-Bantani. Tidak terhenti di sini, mereka juga telah menunjukkan komitmen kebantenannya dengan membuat sebuah serial majalah bulanan yang menginformasikan tempat-tempat wisata dan berita berita aktual mengenai kebantenan. 
Melihat dari segi semangat dan kegiatan mahasiswa Banten yang belajar di Mesir, yang kini berjumlah kurang lebih 200 orang, sekitar 25 % dari jumlah lima ribu mahasiwa Indonesia, maka perhatian serius Pemprov Banten kepada KMB dalam bentuk bantuan asrama merupakan hal wajar dan langkah tepat. Apalagi secara historis Universitas al-Azhar yang menjadi tempat menggali ilmu bagi sebagian besar mahasiswa Banten, seperti kata Azyumardi Azra, tidak dapat dipisahkan hubungannya (jaringannya) dengan ulama Nusantara kenamaan dari Banten, syekh Nawawi al-Bantani, yang juga telah mendapat gelar akademik paling bergengsi dari Universitas Al-Azhar. Dengan bantuan asrama yang telah diresmikan pengguanannya oleh Gubernur pada 10 Mei 2008, diharapkan oleh mereka akan semakin memacu mahasiswa Banten untuk menggerakkan roda aktivitas belajar dan berlatih dalam berbagai bidang. Utamanya dalam menguasai dunia keterampilan dan melanjutkan tradisi dan idealisme keilmuan dengan konsisten seperti Syekh Nawawi Al-Bantani. 
Dalam kontek ini patut dipahami ketika saya berdialog dengan KMB telah muncul pertanyaan dari mereka tentang kekhawatiran dan kecemasannya menatap kondisi masyarakat Banten hari ini maupun masa depan. Mereka cemas apakah Banten setelah menjadi provinsi ini masih mampu mempertahankan citra keulamaan (keilmuan) atau malah lebih mengutamakan pembangunan fisik (materi) sehingga perhatian pada dunia pendidikan terbengkalai. Sementara konflik sosial akan muncul kembali lantaran adanya kejenjangan soial atau berebut soal aset Banten yang hanya didominasi oleh kelompok tertentu. Mereka cemas dengan gaya hidup baru di Banten akan tumbuh penguasa dan politisi pragmatis yang hanya mahir mengekploitasi rakyatnya dengan permainan uang. Bahkan kekhawatiran dan kecemasan mahasiswa Banten tertuju pada sebagian ulama Banten yang tidak netral. Menurut mereka, karena akhir-akhir ini sebagian ulama Banten telah mulai kepincut pada dunia politik sepert menjadi tim sukses dan pendukung partai politik tertentu. 
Namun kecemasan mahasiswa Banten di Mesir beranggsur menghilang setelah saya menjawab pertanyaan mereka dengan arif dan elegan. Pintu pintu optimisme menguat kembali, apalagi setelah mereka tersadarkan kembali kepada jasa dan perhatian pemprov yang telah memberikan bantuan asrama dengan harga yang tidak kecil. Walaupun begitu, masih menyisakan sedikit kekecewaan di kalangan mereka, karena bantuan beasiswa yang dijanjikan oleh anggota DPRD Banten dan Ibu Gubernur ketika dalam acara dialog di Mesir hingga sekarang belum kunjung tiba. (*) 

Penulis adalah Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN SMH Banten

Rekonfigurasi Silaturrahim

Prof Dr H Fauzul Iman, MA 


Kata itu muncul setelah perintah bertakwa kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dari seorang diri, lalu menciptakan pasangannya, kemudian menyebarkan jenis laki-laki dan perempuan. Selain itu, “al-arham” juga muncul setelah perintah bertakwa pada Allah dari situasi sosial kehidupan yang saling meminta (menuntut) (Q.S.4:1). Mencermati ayat ini, tampak bahwa perintah silaturrahim sangat melekat dengan tiga kesadaran manusia, yaitu kesadaran sejarah biologis, kesadaran pluralisme, dan kesadaran interaksi sosial. Pertama, kesadaran sejarah biologis. Kesadaran ini mendorong manusia untuk menyadari bahwa dirinya berasal dari seorang diri (Adam) dan dibuat dari tanah. Kesadaran ini juga membuat yang bersangkutan mengakui kelemahannya sebagai manusia yang tidak pernah luput dari kekurangan karena ia berasal dari bahan rendah (tanah). 
Adam pernah khilaf dari perintah Tuhan dan dijatuhi hukuman turun ke bumi. Artinya, manusia pun mempunyai kelemahan seperti Adam; mempunyai potensi untuk jatuh. Dengan adanya kesadaran teologis ini, manusia dapat menginsafi dirinya untuk tidak berlaku congkak (sombong) dengan sesamanya. Sebaliknya, ia akan berupaya menjaring persahabatan dengan siapa pun tanpa memandang status, golongan, dan latar belakang kehidupan. Pada kondisi ini, seharusnya manusia membangun silaturrahim dengan penuh ketulusan tanpa didongkrak oleh kepentingan temporer. Dengan kata lain, silaturrahim yang dibangun bukan berdasarkan hormat atas pristise atasan atau karena jabatan seseorang sehingga ia menjadi inten dikunjungi bawahannya. Tetapi, sejatinya, silaturrahim berjalan konstan karena dibangun atas dasar prinsip martabat manusia yang sama-sama diciptakan Tuhan. 
Kedua, kesadaran pluralism. Kesadaran ini adalah suatu yang sangat entitas di alam hidup kemanusiaan. Al-Quran jelas mengisyaratkan akan terjadi kegagalan dalam kehidupan umat tanpa pengakuan terhadap keragaman. Amat mustahil jalan kehidupan ditempuh dengan cara monoton, rijid, dan ekslusif. Semua susunan dan dinamika hidup sejak umat manusia, hewan, hingga tumbuh-tumbuhan berkembang dan berjalan dalam keragaman. Oleh karena itu, jelas keragaman adalah prasyarat dan hikmat menuju keseimbangan, kematangan, dan kesuksesan. Segenap nikmat hidup yang telah kita gapai dari berbagai aspeknya telah membutuhkan dan melibatkan semua komponen yang beraneka ragam. Sejak membangun kehidupan rohani, pemikiran, fisik hingga berbentuk peradaban besar, semua unsur dan komponen yang berbeda dengan sendirinya, telah terlibat dan mengambil peran ke dalamnya. Berdasarkan realitas ini, ajaran agama memberikan reward kepada umat manusia yang saling tolong menolong, saling menghormati, dan menjalin kerjasama antara sesamanya. Sebaliknya, agama memberikan kecaman pada umat manusia yang berbuat kekerasan dan anti keragaman. 
Terakhir, interaksi sosial. Hal ini merupakan suatu wujud kegiatan umat manusia sebagai konsekuensi dari adanya keragaman yang satu sama lain saling membutuhkan. Prinsip ini membangun keyakinan bahwa siapa pun manusianya tidak akan mencapai tujuan hidup tanpa mengaitkan dirinya dengan eksistensi lain, seberapa pun derajat atau nilai dari eksistensi itu. Interaksi meniscayakan kesadaran semua pihak untuk tidak saling mengecilkan dan melemahkan. Sebaliknya, masing-masing pihak sesuai dengan kondisi dan fungsinya bersikap proporsional dan wajar. 
Silaturrahim semestinya berjalan dalam bingkai tiga kesadaran ini sehingga saatnya kita menata ulang kembali konfigurasi silaturrahim yang selama ini berjalan. Upaya ini perlu dibangun dalam rangka meningkatkan kepekaan semua umat dalam menanggulangi gejolak sosial yang semakin menuntut di antara mereka. Selama ini kegiatan silaturahim bergerak dalam ruang yang disekat kepentingan formalitas. Nuansanya sekedar memperlihatkan bahwa dirinya terbuka. Selain banyak teman, ia juga bersedia dikunjungi semua orang. Contohnya, model silaturahim yang lagi ngetren di abad modern ini adalah silaturrahim dalam bentuk kegiatan open hause yang digalang oleh para pejabat. Di samping itu, banyak bentuk silaturrahim yang berjalan berdasarkan struktur kelembagaan, sekte, dan kelompok. Misalnya, silaturrahim seremonial yang dimeriahkan oleh instansi, organisasi sosial, organisasi keluarga dan atau organisasi yang bersifat kedaerahan. 
Sepintas gaya silaturrahim model ini berjalan cair dengan segala riuh gemuruhnya manusia dari berbagai strata berdatangan dan berkumpul. Senyum kemegahan, kehangatan, peluk cium, dan berjabat tangan pun tampak sumingrah bahagia. Namun, perhelatan bahagia itu sekelebat cepat menghilang. Kini suasananya mengental kembali dibelakang layar silaturrahim dalam bentuk perkumpulan yang sangat adhoc, elitis, klenik, keronik dan bahkan politis. Suasana rohaniah yang dahulu mencair dalam bentuk puasa, bayar zakat, peluk cium dengan sesamanya kini berubah bentuknya menjadi berwajah tebal dan individual, tak tahu lagi makna pergaulan universal. 
Silaturrahim yang sejatinya mampu merajut umat dalam suatu kebersamaan, namun dari sisi sosial kehidupan tampaknya masih terjadi perbedaan taraf hidup yang mencolok. Adalah logis kalau selama ini di berbagai tempat selalu muncul gejolak sosial, konflik dan perbuatan keriminal yang sulit dibendung. Belum lagi kejahatan teror dan musibah lain yang kesemuanya hampir terjadi dilatarbelakangi ketidakdewasan pemimpin dan komponen elit menyikapi rakyat kecil sehingga muncul ketidakpuasan rakyat. Oleh karena itu kegiatan silaturrahim sebagai bagian dari perintah agama yang selama ini kehadirannya dibutuhkan untuk menyambung tali ikatan (komunikasi) batin antara sesama umat manusia, perlu dikonfigurasikan kembali kepada suatu wujud perbuatan yang dapat dirasakan kongkrit oleh rakyat. 
Wujud perbutan itu, paling tidak, sejalan dengan tiga kesadaran yang diisyarahkan dalam ayat al-Quran di atas, yaitu mengubah silaturrahim dalam konfigurasi kegiatan sosial interaktif (kesadaran biologis dan pluralism) yang dapat memecahkan secara langsung problem yang dirasakan masyarakat aneka bangsa. Wujudnya tetap melanggengkan kegiatan seremonial seperi tradisi open hause, halal bihalal, dan lain lain tetapi di dalamnya ditambah dengan komitmen bersama mengatasi penderitaan yang dihadapi bangsa. Seperti tekad bersama menanggulangi kejahatan korupsi dan kriminal lainnya, mengatasi kemiskinan, membantu penderitaan buruh, dan membantu masalah pendidikan dan kesehatan bagi yang tidak mampu. 

Guru Besar IAIN SMH Banten

Memahami Makna Dunia

Oleh : Fauzul Iman 



Kata dunia berasal dar kata kerja bentuk lampau danaa yang artinya telah dekat. Rahgib Al-Ashfihani, pakar bahasa Alquran, dalam bukunya Mu'jam Mufradat Alfaz Alquran mengemukakan tiga pengertian dunia dalam Alquran, yaitu adakalanya bermakna dekat, rendah, dan adakalanya mengandung pengertian awal. Dari pengertian itu tersimpul bahwa dunia adalah suatu kehidupan awal, dekat dan pendek, atau rendah. Pengertian ini menunjukkan bahwa dunia adalah kehidupan jarak pendek yang membutuhkan persiapan-persiapan paling dini (awal).
Dalam Alquran, kata dunia disebut sebanyak 101 kali disertai dengan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Jumlah kata dunia sebanyak itu disebut Alquran membuktikan betapa pedulinya Allah SWT menjelaskan pada manusia tentang kehidupan dunia.  Allah mengingatkan betapa pentingnya dunia. Tetapi, Allah juga selalu mengingatkan dengan rambu-rambu dan batas-batasnya. Firman Allah, ''Carilah karunia kehidupan di akhirat dan jangan lupa bagaimana kiat hidup di dunia.'' (QS 28: 77).yang 

Artinya : 
Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
 Ayat ini mengandung pesan perlunya manusia mempersiapkan secara matang kehidupan jangka pendek (dunia) guna menempuh kehidupan jangka panjang (akhirat). Persiapan ini dibuat agar manusia tidak terhipnotis pada perangkap keindahan dan fatamorgana dunia yang membahayakan. Pesan Allah SWT ini semakin jelas memberi pelajaran agar kehidupan dunia ini diisi dengan kegiatan-kegiatan yang berkualitas. Manusia tidak boleh memandang dunia di atas segalanya. Pahamilah dunia sebagai sesuatu yang rendah di bawah manusia sehingga dunia dapat dikelola dan dikendalikan oleh manusia dengan baik dan mulia. Bukan dikejar semau syahwat yang menyebabkan umat manusia mudah tersihir dan tunduk pada kemilaunya dunia. Pahamilah, dunia itu sesuatu yang telah dekat, artinya sesuatu yang telah mendekati ketiadaan (kematian) sehingga manusia akan siap siaga, ingat, dan mengenal kearifan Penciptanya.
Dalam kondisi demikian manusia akan selalu berpegang teguh dengan nilai-nilai keabadian Ilahi. Manusia akan membangun nilai-nilai keabadian itu dengan menciptakan dunia prestasi dan kekayaan dalam kemuliaan amanah dan dalam ibadah. Ia tidak akan tertipu oleh licinnya dunia yang membuat dirinya sombong dan serakah di dalam suatu kekuasaan dunia yang pongah. Manusia tak akan lalai dari Kemahaagungan Tuhan dengan menumpahkan seluruh pesonanya ke dalam gemerlap dunia. Karena, ia tahu dunia demikian adalah dunia permainan yang tidak akan kekal abadi tetapi akan sirna (rontok) bersama sirnanya jasad manusia. Untuk itu marilah kita renungkan firman Allah, ''Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan, dan bermegah-megahan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kuning dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.'' (QS 57: 20).

Etika Berdebat

Oleh Prof Dr H Fauzul Iman MA



Dalam bahasa Arab, perdebatan dikenal dengan istilah al-mujadalah. Kata al mujadalah seakar dengan kata al-jidalyang artinya perdebatan sengit. Pendapat lain mengartikannya dengan tali yang terikat kokoh. Dari sini, kataal-jidal mengandung arti debat yang dilakukan dengan cara yang baik dan didasari dalil yang kuat dan benar.
 Firman Allah SWT, ''Dan, ajaklah mereka berdebat dengan cara yang baik.'' (QS Annahl [16]: 125). Mengomentari ayat ini, Wahbah Zuhaili menunjukkan perlunya berdebat dengan berkata lemah lembut, berhati bersih, dan berupaya menghindari kata-kata yang bernada menghina atau mencerca.
Pendapat senada diutarakan oleh Ali Jaritsah dalam kitabnya Adab al-Hiwar wa Al-Munazarah (Etika Dialog dan Berdiskusi). Ia memaparkan kiat-kiat untuk menciptakan nuansa diskusi yang baik. Pertama, dilakukan dengan tertib. Kedua, pembicaraan disampaikan dengan bahasa yang tidak bertele-tele. Ketiga, menghindari pembicaraan di luar konteks.
Tertib artinya tidak tergesa-gesa dalam berpendapat. Sebuah masalah dipahami dahulu dengan cermat dan matang. Setelah dirasakan matang, peserta diskusi boleh menyampaikan pendapat dengan mengajukan gagasan yang aktual.
Demikian pula peserta yang bertanya. Hendaknya, ia mengajukan pertanyaan dengan terlebih dahulu melakukan penyaringan informasi yang akurat. Pertanyaannya pun harus disampaikan dengan kata-kata sopan yang tidak menyinggung dan menyudutkan orang lain.
Dengan cara-cara demikian, perdebatan akan terhindar dari pembicaraan yang bertele-tele atau gugatan yang bernada cercaan dan mengundang kemarahan. "Bukanlah orang beriman, yang suka mencerca, melaknat, berbicara kotor, dan menyakiti," sabda Nabi SAW.
Namun, amat disayangkan, kita masih menjumpai orang yang belum menjunjung tinggi etika berdebat dalam musyawarah. Untaian kata-kata kotor dan tidak pantas sering diucapkan oleh mereka yang seharusnya memberikan keteladanan. Ironisnya, kata-kata kotor itu justru keluar saat mereka hendak memutuskan kebijakan mulia untuk memenuhi hajat umat.
Entah bagaimana jadinya nasib bangsa ini ke depan jika nilai-nilai luhur dan kepribadian bangsa dicabik oleh anak bangsa sendiri. Dalam situasi negeri yang carut-marut karena krisis multidimensi ini, kita membutuhkan ketenangan dan solusi arif bagi aneka persoalan yang melilit. Maka, sudah sepatutnya segenap kaum elite menjunjung tinggi etika. Yang utama adalah sikap jujur, bertanggung jawab, amanah, dan santun dalam berbicara agar tidak memancing kemarahan umat.

BAB VII

PENUTUP


28.       Kesimpulan
Setelah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka uraian tentang Implementasi Padnas terhadap ancaman konflik umat beragama guna meningkatkan kualitas umat beragama dalam rangka pembangunan nasional dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a.    Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakat sangat tinggi. Kondisi tersebut sangat membuka peluang bagi terjadinya konflik sosial di masyarakat. Perbedaan yang seharusnya dimaknai sebagai warna yang menambah khasanah kekayaan bangsa, bisa berubah, menjelma menjadi potensi konflik apabila perbedaan yang ada tersebut tidak mampu dikelola dengan baik oleh Pemerintah selaku penyelenggara negara.
b.    Salah satu perbedaan dalam masyarakat yang sangat berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat pada saat ini adalah perbedaan agama/kepercayaan dalam masyarakat Indonesia. perbedaan yang menyangkut pada hal yang sangat sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tersebut saat ini kembali menjadi ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c.    Implementasi Padnas merupakan langkah-langkah konsepsional yang di dalamnya mengandung unsur-unsur kebijakan, strategi serta upaya kongkrit peningkatan nasionalisme keindonesiaan seluruh komponen bangsa, peningkatan kualitas kesiapan dan kesiagaan menghadapi berbagai bentuk ancaman terhadap kelangsungan kehidupan bangsa dan  negara, guna memelihara kelansungan pembangunan nasional.
d.    Bentuk nyata implementasi padnas ke depan dalam menyikapi konflik antar umat beragama mencakup hal-hal sebagai berikut :
1)    Peningkatan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam kitab suci masing-masing umat beragama merupakan suatu keniscayaan. Dalam hal in para  pemeluk agama tidak memahami cesara tektual belaka. Dalam arti tidak memahami makna-makna simbolik dan sempit yang terkadang menyesatkan pandangan dan prilaku umat beragama itu sendiri untuk melakukan kekerasan (radikal). Pemahaman terhadap ajaran yang diperlukan adalah pemahaman komperhensif dan kentektual yang menggali makna subtansi ajrannya, yaitu ajaran yang  menekankan pada pengamalan kebaikan dan kebenaran yang bersifat universal.
2)    Upaya  meningkatkan pelayan kepada publik (umat) secara lebih luas , terutama kepada semua pemeluk agama tanpa pilih kasih melalui penciptaan pemerataan akses yang berkaitan dengan aktifitas keagamaan. Misalnya tentang kemudahan pengurusan surat izin mendirikan tempat ibadah, bantuan pembangunan sarana serta pelayanan-pelayanan lain yang dapat melancarkan kegiatan-kegiatan seluruh umat beragama.
3)    Tesedianya perangkat perundang-undangan yang mengokomodir semua kepentingan umat beragama. Undang-undang yang selama ini tidak tegas menjamin kelangsungan kehidupan beragama  atau peraturan-peraturan yang potensial mengundang konflik antar umat beragama diubah dengan undang-undang (peraturan) baru yang memihak kepada seluruh kepentingan umat beragama.
4)    Terbangunnya  kehidupan toleransi antara umat beragama dalam suatu  masyarakat yang hetrogin dan pluralis yang tangguh dan dinamis. Bangunan toleransi dimaksufd tercipta melalui sosialisai, legilasi, kordinasi, singkronisasi, dan kerjasama mendirikan latihan, saresehan, dialog, seminar dan pendidikan yang bernuansa multiikultural.         

29.       Saran
a.  Kerukunan hidup antar umat beragama merupakan salah satu masalah pokok yang sangat mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, diperlukan komitmen kuat dan kesungguhan semua pihak khususnya, Pemerintahan Pusat dan Daerah serta para pemuka agama sebagai motor penggerak dalam upaya membangun kerukunan hidup antar umat beragama melalui implementasi kewaspadaan nasional.
b.  Kelompok fundamentalis tidak  menghargai nilai-nilai toleransi yang termaktub dalam Pancasila. Bahaya dari kelompok ini semakin terasa karena banyak pemuka agama yang pada saat ini yang juga menganut paham fundamentalis. Menyikapi hal ini, Pemerintah hendaknya memberikan tindakan  persuasif. Pertama  melalui pembinaan , pemahman agama yang benar dan pelatihan-pelatihan keterampilam. Ketiga perlu tindakan tegas berupa hukuman yang berat bagi mereka yang melakukan kekerasan (radikalisme) yang bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara.
c.  Pemerintah bersama DPR perlu merumuskan peraturan perundang-undangan yang menjamin kehidupan umat beragama di Indonesia  berjalan rukun. Selama tidak ada peraturan dan tindakan hukum yang tegas terhadap kelompok yang berseberangan dengan nilai-nilai Pancasila, maka pelanggaran terhadap dasar neagra akan terus berjalan. Kondisi ini jelas mengandung potensi konflik horizontal dalam masyarakat dengan mengatasnamakan agama. Oleh karena itu, ketegasan Pemerintah dalam menindak dan membentuk aturan hukum yang benar-benar menjamin kehidupan umat beragama berjalan tentram merupakan salah satu keniscayaan dalam rangka kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.