Rabu, 04 Januari 2012

Zakat Bukan Suap (2/Habis)

oleh : Prof. Dr. Fauzul Iman




Dengan konsep zakat, Nabi Muhammad SAW bermaksud mengubah agar sistem pendistribusian atau pemilikan aset ekonomi tidak hanya mengalir ke kalangan elite sebagai halnya sesajen yang diberikan untuk menyuap dewa atau upeti kepada raja melainkan dinikmati pula oleh rakyat kecil ( Q.S 59 :7).
Dalam al-Quran rakyat kecil ini dikenal dengan kaum mustad’afin, terdiri dari delapan golongan antara lain ; fakir, miskin,, para mualaf, budak, dan Ibnu Sabil (Q.S. 9 : 60), Pada mereka inilah harta zakat dari orang orang yang mampu disalurkan dengan penuh ketulusan hati yang bertujuan membebaskan (mensucikan) harta (zakat mal) dan badannya dari kotoran dosa (zakat fitrah). (Q.S. 60 :103).
Dapat dibayangkan seandainya para muzakki seperti ini tumbuh subur di masyarakat kita, sudah barang pasti kondisi stabilitas keamanan masyarakat akan terjamin. Tidak akan muncul di dalamnya keserakahan pribadi, konflik masyarakat dan kejahatan kriminal yang dapat menggangu ketenangan dan kedamaian sosial. Kehidupan kini dan ke depan akan tampak beradab, sejahtera, maju dan sama sederajat. Tidak ada saling tekan dan jurang perbedaan antara si kaya dan di miskin.
Kita masih menaruh harapan optimis terhadap bangsa kita yang telah banyak berbuat baik untuk menzakatkan (mendermakan) sebagian hartanya ke pada kaum fakir miskin. Namun amat disayangkan dengan cara pembagiannya yang terkesan massif dan ugal-ugalan sehingga terjadi kekisruhan yang berujung nyawa umat manusia melayang. Misi dan tujuan zakat guna membangun masyarakat sejahtera dan beradab menjadi musnah dan tak bermakna.
Ironisnya di samping peristiwa tadi, masih didapati pula dari sebagian elit kita yang membayar zakat sebatas ingin menyenangkan Tuhan agar terbebas dari dosa semata (tathhir) tapi mengenyampingkan sisi pencerahan hidup (tazkiyyah) ke depan. Akibatnya mereka terbebani oleh sublimasi sesaat tanpa melakukan perubahan sikap hidup dengan berzakat (berderma) kembali dan melakukan kebaikan-kebaikan dengan konsisten. Perbuatan demikan jelas tak ubahnya seperti gaya amalan kaum primitif yang ingin menjinakkan dan menyuap Tuhan Dewa dengan cara mempersembahkan sesajen. Atau sama dengan memberikan upeti kepada raja-raja tiran karena takut dari bayangan kekuasaannya yang berwatak menindas.
Perilaku berzakat seperti ini bukan saja membahayakan kemaslahatan pribadi (tathhir) yang bersangkutan tetapi tujuan berzakat dalam upaya membangun kesejahteraan dan peradaban umat tidak akan tercapai (tazkiyyah). Oleh karena itu untuk meletakkan misi berzakat sesuai dengan maksud Allah, yaitu untuk membangun kemaslahatan umat manusia sebagai mahluknya, maka mengaplikasikan misi tathhir dan tazkiyyah (bersih diri dan pencerahan sosial) dalam berzakat amat diperlukan .
Guna mewujudkan misi pencerahan di atas, maka cara pendistribusian zakat yang masih terbawa arus primitif agar segera dicegah dengan kebijakan kontstitutif yang elegan. Sikap feodalisme keagaman yang masih menjadikan tokoh agama sebagai pusat penerima zakat dipandang tidak proporsional lagi karena dapat menghilangkan dimensi sosial dan terkesan merupakan perpanjangan tangan para dewa dan para raja (primitif). Pemberdayaan lembaga zakat baik oleh lembaga pemerintah maupun masyarakat yang kredibel (tathhir), professional dan terpercaya (tazkiyyah) masih tetap dibutuhkan (condition sine quanone).

Prof Dr H Fauzul Iman, MA
Penulis adalah Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN SMH Banten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar