Rabu, 04 Januari 2012

Zakat Bukan Suap (1)

Oleh : Prof. Dr. Fauzul Iman



Kehadiran zakat dalam doktrin Islam bukanlah suatu yang hampa (vacuum) dengan realitas. Ia hadir dalam upaya mereaksi kepongahan sosial dan ketimpangan akidah di tengah-tengah arus masyarakat animis (primitif) dan masyarakat dominasi kekuatan feodalisme imperium Romawi dan Persia.
Pada masyarakat yang animis, kondisinya dicoraki sistem keyakinan yang percaya pada kekuatan dewa yang mampu memberi keselamatan dan keberkahan hidup. Dewa menjadi Tuhan sakral yang ditunduki sekaligus ditakuti masyarakat sehingga demi mendapat perlindungannya mereka dengan segala cara melakukan sesembahan. Tanpa sesemabahan tersebut, dampaknya membuat dewa akan marah dan menyengsarakan kehidupan mereka sendiri. Oleh karena itu, guna menjinakkan dewa agar memberi keselamatan (jaminan kelangsungan hidup), manusia harus memberi upeti pada dewa dengan cara sesembahan berupa pemberian sesajen pada dewa.
Sementara dalam masyarakat feodal yang didominasi oleh kekuatan adidaya imperium Romawi dan Persia, rakyatnya dipaksa untuk tunduk kepada raja-raja yang berwatak feodal dan pemeras melalui kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Rakyat sama sekali tidak diberi kebebasan mendapat hak dari pemerintahan, kecuali kewajiban rakyat memenuhi kehendak para raja yang memerintah dengan tangan besi. Segala yang menyangkut hasil kerja jerih payah rakyat baik yang digali dari sumber pemilikan tanah maupun dari aset lain, tidak mendapat perlindungan raja secara adil, tetapi sebagian besar dari penghasilannya dipaksa menjadi upeti yang diserahkan untuk kenikmatan hidup para raja. Sebaliknya rakyat hidup tak berdaya sembari bertekuk lutut meratapi sabda sabda penyengsaraan sang raja adikuasa.
Gambaran di atas memperlihatkan adanya ketimpangan sosial ekonomi yang sangat mencolok antara penguasa dan rakyatnya. Disparitas sosial antara kelas kuat dengan kelas lemah sulit dihindari karena tidak adanya pengimbang kekuatan yang membangun misi kemanusiaan. Konsekwensinya berpuncak pada konflik antar suku dan kelas yang berujung pada kehancuran tatanan sosial.
Dalam suasana seperti itu Islam datang melalui Nabi Muhammad SAW membawa misi kemanusiaan dengan cara mengubah sistem keyakinan, membangun hidup saling tolong menolong, menegakkan prinsip hidup bersama dan mengikis perbedaan hidup yang berlandaskan kepentingan kelompok, suku dan kelas sosial. Salah satu upayanya adalah dengan menerapkan doktrin zakat .
Dengan konsep zakat ini, Nabi bermaksud mengubah agar sistem pendistribusian atau pemilikan aset ekonomi tidak hanya mengalir ke kalangan elite —sebagai halnya sesajen yang diberikan untuk menyuap dewa atau upeti kepada raja—melainkan dinikmati pula oleh rakyat kecil ( Q.S 59 :7). Dalam al-Quran rakyat kecil ini dikenal dengan kaum mustad’afin, yaitu orang yang taraf hidupnya dalam memenuhi kebutuhan ekonominya tergolong lemah. Kaum mustad’afin yang wajib diperhatikan dan berhak memperoleh bagian (distribusi ekonomi) dari harta zakat, sebagai disebut dalam al-Quran, terdiri dari delapan golongan antara lain ; fakir, miskin,, para mualaf, budak, dan Ibnu Sabil (Q.S. 9 : 60), Pada mereka inilah harta zakat dari orang orang yang mampu disalurkan dengan penuh ketulusan hati dan bertujuan membebaskan (mensucikan) harta (zakat mal) dan badannya dari kotoran dosa (zakat fitrah). (Q.S. 60 :103).
Mengomentari ayat ini Prof. Dr. Sya’rawi pakar tafsir dari mesir, dalam sebagian pikirannya yang tertuang dalam buku “Khawathir al-Quran al-Karim li Sya;rawi” mengeksplorasi kata tuthahhirhum dengan membersihkan seluruh segi yang terkait dengan kotoran (noda) yang ada pada tubuh manusia dan hartanya. Sedangkan kata tuzakkihim dari segi harta mengandung arti mencerahkan, mengembangkan hartanya menjadi suci dan berlipat ganda. Dari aspek fisik (anggota badan) bukan saja pencerahan atau perubahan kesehatan jiwa menjadi tenang tetapi juga pola sikap menjadii semangat berusaha dan konsisten menanamkan kebaikan di tengah-tengah soial kehidupan. Sikap hidup muzaki (pemberi zakat) yang dahulunya labil dengan sifat kikir, pemarah, arogan, tidak toleran berubah dengan konsisten menjadi dermawan (penolong), pemaaf, mencintai keadilan, perdamaian.dan peradaban (muzakki).

Prof Dr H Fauzul Iman, MA
Penulis adalah Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN SMH Banten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar