Rabu, 04 Januari 2012

Jawaban Mengenai Al-Quran Teks Manusiawi

Oleh :  Nurul H MaARIF




Guru kita, Prof. Dr. H. Fauzul Iman, M.A., yang juga Direktur Pascasarjana IAIN SMH Banten, menulis artikel menarik di Radar Banten (Jumat, 25/11/2011), ter­utama bagi penggemar atau tepatnya pegiat studi al-Qur’an. Dengan judul sensasional, “Al-Quran Teks Manusiawi”, beliau hendak mengajak umat muslim untuk berinteraksi langsung dengan al-Quran. Siapapun dia. 

Semangat interaksi langsung dengan al-Quran yang di­sam­­paikannya ini, barangkali identik dengan pengalaman Sir Muhammad Iqbal, yang men­dapat wejangan dari ayah­nya; “Bacalah al-Quran seakan ia hanya diturunkan untukmu.” (H.A. Mustofa, Filsafat Islam, 1997, h. 331). Hal sama di­uta­ra­kan Ali bin Abi Thalib jauh hari sebelumnya. Dikatakannya: “Al-Quran adalah mushhaf yang ti­dak berbicara. Manusialah yang mengucapkannya.” (Nashr Hamid Abu Zayd, Teks, Otoritas, Kebenaran, 2003, h. 159). Tugas pembaca untuk mem­bun­yi­kan­nya, melalui penafsiran.

Tulisan guru kita yang menarik itu, hemat kami, perlu dicermati dalam beberapa seginya, sebagai silaturahim intelektual kami. Per­tama, pemaknaan atas judul yang dipilih. Selintas membaca judul artikelnya, yang lantas ter­bersit dalam pikiran kami ada­lah al-Quran sebagai muntaj tsaqafi (produk budaya). Pe­mi­kiran “unik” yang ditelurkan Nashr Hamid (beliau tampak men­yetujui beberapa pan­dangan Nashr, semisal akar kata qu­ran dan “al-Quran sebagai pro­­duk budaya” yang disebut di bagian akhir tulisannya) ini, lantas memantik kontroversi ber­kepanjangan. Hatta, peng­gagasnya diusir dari negerinya, Mesir, dan selanjutnya menetap di Belanda, menjadi intelektual yang bebas. Karenanya, jika hanya membaca judul tulisan guru kita itu, bisa jadi kita akan salah menangkap maksudnya. Inilah pentingnya keterkaitan judul dan isi tulisan. 

Kedua, korelasi judul dan pe­san pokok artikel. Bagi kami, dik­si yang beliau pilih untuk judul artikelnya, “al-Quran Teks Ma­nusiawi”, sama sekali tidak meng­gambarkan pesan yang hen­dak disampaikan. “Teks ma­nusiawi”, mengandaikan hu­bungan antara shifat dan maushuf (yang disifati). Bagi kami, “teks manusiawi” itu se­mak­na dengan “teks atau tu­lisan yang bersifat manusia”, yang le­bih menekankan sisi pro­fa­nitas ke­timbang skralitas. Itu se­bab­nya, dengan istilah “teks ma-nu­siawi”, secara sadar atau tidak, al-Quran telah diturunkan de­­­rajatnya menjadi semacam teks karya manusia. Sekelas bu­ku, daras, cerpen, opini atau se­jenisnya. 

Melihat isi pokok artikel beliau, tam­paknya bukan pemaknaan de­mikian yang dimaksud. Yang ingin beliau sampaikan, adalah al-Quran itu teks yang di­pe­r­un­­tukkan bagi manusia. Ma­kanya, beliau menuliskan: “Tidak ada yang namanya Qur’an Allah, yang ada Qur’an un­tuk manusia. Tidak ada hu­kum Allah, yang ada adalah hu­kum untuk manusia.” Dengan de­mikian nyata, istilah “teks ma­nusiawi”, sejatinya tidak se­ja­lan dengan pesan yang di­sam­paikan, karena yang di­ingin­kan adalah “al-Quran sebagai teks untuk manusia” yang bisa ditafsirkan siapapun se­suai kadar intelektual dan ke­cenderungannya. Ini kian ter­gambar dari pernyataannya: “teks manusiawi, bukan teks un­tuk Allah.” Jika penafsiran kami tepat, maka sejatinya yang ingin beliau katakan adalah; al-Quran itu teks ilahi, namun untuk keperluan manusia.  
Kami sendiri meyakini, ter­le­pas dari perdebatan serius pe­rihal posisi “teks al-Quran” apa­kah karya Allah, Muhammad, atau karya bersama Allah, Jibril dan Muhammad, al-Quran ada­lah teks ilahi yang sakral, yang ditransmisikan melalui Mu­hammad. Ia hanya men­yam­­paikan, tanpa mereduksi atau mengorupsi lafal dan mak­nanya. Itulah sifat tabligh-nya. Itu sebabnya, dalam tulisan ini, kami menggunakan judul “al-Qur’an Teks Manusiawi?” (dengan tanda tanya), sebagai ben­tuk ketidaksepahaman kami atas judul yang dipilih guru kami itu. Bagi kami, al-Quran bukan teks manusiawi, me­lain­kan teks ilahi untuk manusia.
Ketiga, al-Quran sebagai kitab be­bas tafsir. Benar belaka, ayat-ayat al-Quran itu bebas tafsir, ka­rena sifatnya yang terbuka. Tak bisa dielakkan, siapapun bisa memaknai ayat-ayat al-Qur­’an sesuai kemapanan in­te­lektualnya; yang tak jarang meng­hasilkan keragaman. Inilah ken­yataan al-Qur’an sebagai mu­tiara, seperti diutarakan Ab­­dullah al-Darraz. Kita bisa me­nemukan cahaya berbeda-be­da, tergantung dari sisi mana menatapnya.
Ken­dati siapapun memiliki ke­bebasan menafsir al-Quran, na­mun efek produksi tafsirnya harus diperhatikan. al-Qur’an ada­lah kitab hudan (petunjuk, Qs. 2: 2), yang tidak etis jika di­tafsir sembarangan, yang efek­­nya justru mengerdilkan ke­besaran dan universalitas al-Quran. Itu sebabnya, ken­da­­tipun mengakui keterbukaan al-Quran, M. Quraish Shihab me­wanti-wanti supaya pe­naf­si­ran dilakukan “secara sadar dan penuh tanggung jawab.” (M. Quraish Shihab, Mem­bu­mikan al-Qur’an, 1998, h. 77).
Boleh saja memahami al-Quran menggunakan pen­de­katan mo­dern yang canggih, se­misal hermeneutika, nad­ha­riyat al-hudud, dan se­ba­gai­nya. Namun hendaknya, teori ini digunakan secara “sadar dan penuh tanggung jawab”, se­­hingga tafsiran yang dihasilkan tidak mengeliminasi al-Quran se­bagai kitab hidayah. Ibarat pe­dang bermata dua, al-Quran bisa “laka” (menyelamatkanmu) atau “’alaika” (men­ce­la­ka­kan­mu), tergantung siapa dan untuk apa menggunakannya. 
Dengan alasan kebebasan me­nafsir ini, sayangnya, lantas mun­cul banyak penafsiran yang me­ngebiri kehudanan dan uni­ver­salitas al-Quran. Diantara ka­susnya, oleh kelompok politik ter­tentu (dan sangat mungkin juga oleh kelompok kepentingan lain­nya), ayat-ayat tertentu di­pe­lintir dan dipolitisasi untuk men­dukung kelompoknya. Ini­lah yang oleh Azyumardi Az­ra disebut “abuse of quranic verses” (Abdullah Saaed, App­roac­hes to the Qur’an in Con­temporary Indonesia, 2005, h. 193-207) dan oleh Stefan Wild di­sebut “political interpretation of the Qur’a’n” (Jane Dammen McAuliffe, the Cambridge Companion to the Qur’an, 2010, h. 273-289). Kami sendiri men­ye­butnya “politisasi al-Quran”.    
Dengan demikian, kebebasan me­nafsir yang diinginkan Prof Fauzul Iman, hendaknya tetap me­­ngedepankan nadhariyat al-hudud (tapal batas de­mar­kasi). Kebebasan tidak bermakna se­mua orang tanpa tanggung jawab dan kemapanan berhak me­nafsirinya. Apalagi jika pro­duk tafsirnya mencerabut al-Quran sebagai kitab petunjuk, dan mengebiri universalitasnya, dan lantas mempersempitnya un­tuk kepentingan pragmatis belaka. Inilah yang akan men­ja­dikan al-Quran “’alaika” (men­ce­lakakanmu), bukan “laka” (men­ye­lamatkanmu). Wa Allah a’lam.


Nurul H MaARIF
Mahasiswa Program Doktor Kajian al-Quran SPs UIN Jakarta dan pengajar di Ponpes Qothrotul Falah Cikulur, Lebak, Banten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar