Kamis, 05 Januari 2012

Al-Quran Teks Manusiawi

Oleh : Prof. Dr. Fauzul Iman

Al-Quran secara etimologis berasal dari kata qara’a - yaqra’u, qira’atan, qur’anan. Para ulama mendefinisikan kata qar’a dengan menghimpun atau mengumpulkan. Nasir Hamid tidak sepakat dengan makna mengumpulkan karena turunnya al-Qur’an di tengah masyarakat yang berulang-ulang menggunakan tradisi lisan. Ia cenderung memaknai kata qaraa dengan mengulang-ulang.
Pendapat Nasir ini logis bila dipahami dari sisi penyampaian wahyu yang berulang kepada Nabi bahkan dari segi isinya pun kerap kali berulang. Misalnya al-Qur’an berulangkali mengungkap kisah Nabi dengan tema yang sama dalam beberapa surat. Surat al-Fatihah bagian dari al-Qur’an juga disebut dengan tujuh yang berulang-ulang karena kandungannya banyak tersebar pada batang tubuh -ayat al-Qur’an.
Al-Qur’an memang pedoman hidup umat manusia yang menggambarkan realitas yang selalu berulang. Nabi SAW sendiri sebagai penerima wahyu adalah mahluk realitas yang selalu berulang melakukan aktivitas sosial dan menyaksikan peristiwa baik dan buruknya kehidupan. Oleh karena itu Allah sebagai Zat Yang Maha Suci merindukan realitas kebaikan sehingga perlu mengutus Nabi (mahluk realitas) yang bertugas melakukan perbaikan dan mewujudkan tatanan realitas yang berkeadaban. Al-Qur’an sebagai pedoman yang berhadapan dengan realitas berulang akan menyesuaikan isi dan pesannya dengan struktur pemahaman dan kebudayaan (peradaban) realitas itu sendiri.
Pesan al-Qur’an itu dimaksudkan agar dapat dipahami oleh tingkatan-tingkatann ma­nusia sesuai dengan batas-batas realitas yang dihadapinya. Nabi Muhammad SAW orag pertama yang mendapat mandat/otoritas untuk menjelaskan pesan al-Qur’an sangat dibatasi oleh realitas di mana ia lahir dan bermukim. Ulama sebagai pelanjut tafsir mendapat batasan konteksi yang sama sebagaimana generasi umat berikutnya akan memahami al-Qur’an sejalan dengan realitasnya. Inilah yang dimaksud dengan Ibnu Qayyem al-Jawziyyah bahwa syari’at Islam merupakan syari’at yang tepat dengan perkembangan zaman.
Ketepatan al-Qur’an dengan perkembangan zaman ditandai oleh kesediaannya untuk ditafsir. Kebutuhan al-Qur’an pada tafsir sangat erat dengan seluruh kandungannya yang diberikan buat umat manusia. Semua kandungan al-Qur’an baik yang berbentuk postulat, yang normatif, kongkret dan yang abstrak disediakan buat kepentingan manusia. Ajaran tentang yang ghaib seperti Allah, malaikat, akherat, surga, neraka, jin dan setan semuanya dijelaskan untuk kepentingan manusia. Apalagi ajaran kongkret yang berkaitan dengan aspek kehidupan di dunia. Keseluruhannya bukan untuk Allah tetapi untuk umat manusia mencapai kejayaaannya sebagai ciptaan Allah SWT. Oleh karena itu tidak ada yang namanya Qur’an Allah yang ada Qur’an untuk manusia. Tidak ada hukum Allah yang ada adalah hukum untuk manusia ( Q.S. 17 :9).
Keleluasan al-Qur’an ini merupakan hikmah dari Allah untuk mengundang para pemikir (penafsir) agar tidak takut menafsirkan (memahami) al-Qur’an dari berbagai disiplin ilmu dengan metode yang baik dan benar. Para mufassir diperkenankan memahami teks al-Qur’an apa adanya sebagaimana teks manusawi bukan teks untuk Allah. Pemahaman seperti ini akan membawa nuansa baru dalam kajian al-Qur’an untuk mendapatkan rahasia dan segala dimensi keilmuan yang terkandung dalam al-Qur’an. Bukan cara pemahaman seperti yang ditawarkan Imam Humaeni agar para mufasir terlebih dahulu mampu memahami makna batin al-Qur’an. Tawaran Humaeni ini untuk tahapan pe­ngembangan keilmuan sulit dilakukan sampai kapan seseorang telah dipandang mema­hami batin al-Qur’an. Apakah orang harus bertahun-tahun bersemedi mencari wangsit Tuhan sebelum menafsir al-Qur’an. Stelah itu ia diklaim sebagai manusia sakral yang satu-satunya mendapat mandat paling istimewa untuk memahami al-Qur’an. Cara ini justru akan semakin menambah kesulitan ketika adanya problem baru yang menuntut pemecahan cepat tidak dapat dilakukan karena harus menunggu kedatangan ulama yang sedang bertapa.
Pertanyaan berikutnya adakah ulama bertapa yang suci itu akan semakin membawa per­soalan pelik mengingat umatnya tidak bisa mendapat pencerahan sang ulama yang telah terbingkai oleh lilitan feodalisme keagamaan. Di zaman Nabi saja hingga para sahabat tak akan pernah dijumpai ulama tafsir yang menggendong jangkar feodalisme dalam soal tugas menalar al-Qur’an. Tengok saja seperti mufasir besar Ibnu Mas’ud, Ibu Abas dan Ibnu-Ibnu lainnya dalam jumlah berlapis-lapis mereka lebih elegan di tengah perwatakan egaliterianismenya dengan umat. Ada banyak ulama yang memberi kualifikasi kemudahan untuk menafsir al-Qur’an. Al-Ghozali cukup mensaratkan dengan menguasai lima ratus ayat-ayat bidang hukum. Yusuf Qardawi ulama modern yang paling produktif pun berobsesi bahwa di zaman realitas aneka teknologi yang serba canggih ini, tidak ada kesulitan bagi para ulama untuk berijtihad—memaham al-Qur’an.
Tawaran ulama realitas ini logis karena di abad baru ini kita tidak akan menolak aneka rupa pemahaman al-Qur’an. Kemunculan gagasan baru untuk melawan misteri al-Qur’an dengan aneka bentuk metodologi sah-sah saja. Apakah kita akan menghindar dari tahapan alamiah sunatullahnya berpikir dari gaya nalar modernisme, neo modernisme, postmodernisme hingga sampai dekonstruksismenya ala derida Foucult. Tentu saja kita tidak boleh memerahkan jagat muka kita terhadap lahirnya metode ini. Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan kearifan metodologi nalar dengan mem­biarkan Mua’z bin Jabal berdialektika dengan realitas baru (ijtihad) di kota yaman ketika di sana akan menghadapi persoalan baru yang belum ada ketetapannya dalam al-Qur’an dan Hadis.
Tafsir sebagai ilmu yang menjelaskan dan memahami kandungan al-Qur’an dengan menggunakan metode keilmuan al-Qur’an tidak akan berhenti dalam sebuah metoda yang status quo. Dalam sejarahnya selalu berkembang dari satu metode ke metode hingga menemukan aneka macam metode keilmuan al-Qur’an yang baru. Pada mulanya metode tafsir diajarkan melalui dialog face to face antara Nabi dan para sa­habatnya. Sepeninggal Nabi untuk menyatukan umat Islam atas inisiatif Usman, Al-Qur’an menjadi bentuk mushaf. Di zaman Khalifah Ali muncul ilmu I’rab al-Qura’n yang meletakkan kaedah Nahwu dan cara pengucapan Al-Qur’an secara baku dan tepat dengan tokohnya Abu Al-Aswad Ad-Du’ali. Perkembangan selanjutnya pada abad 3 H , lahir Ilmu Asbab An-Nuzul yang menafsirkan berdasarkan latar belakang dan konteks peristiwa turunnya ayat-ayat al-Qur’an dengan tokohnya Ali bin Al-Madany.
Zaman terus bergulir keinginan umat untuk mengungkap misteri kandungan al-Qura’n agar berdialog dengan realitas lebih banyak lagi sehingga pada saat itu muncul ilmu yang mengungkap keajaiban al-Qur’an (ajaib al-Qur’an), ilmu yang mengungkap kesamaran al-Qur’an (Mubhamat al-Qur’an), ilmu yang mengungkap kata yang sukar dipahami (musykil al-Qur’an), ilmu revisi ayat al-Qur’an berdasarkan konteks realitas yang telah berubah (nasikh mansukh) dan lain-lain. Kemunculan ilmu baru mengenai kajian al-Qur’an sangat disadari para ulama di zaman itu sebagai reaksi terhadap per­kembangan zaman dan realitas yang sangat niscaya sehingga tidak mungkin dihindari. Oleh karena itu penolakan ilmu-ilmu baru mengenai al-Qur’an di zaman modern ini merupakan sikap pengingkaran terhadap realitas sejarah.
Bertolak dari sejarah tersebut, maka kemunculan ilmu baru mengenai kajian (tafsir) al-Qur’an yang digagas oleh tokoh-tokoh kontemporer separti antara lain Amin al-Khulli ( kri­tik sastra al-Qur’an), Nasir Hamid (kajian hermeunitik dibalik empirik al-Qur’an sebagai produk budaya), Abid al-Jabiri (perumusan kaidah baru pembentukan hukum Islam), Arkoun ( mengadopsi makna kalam Tuhan ke dalam realitas yang belum dan tak terpikirkan), Hasan Hanafi (pembentukan turas baru Islam), Muhammad Shahrur dengan teori barunya Nazariyat al-Hudud (teori batas bawah dan batas atas), dan masih banyak yang lain seperti tokoh yang termuda Talat Hasan, semuanya merupakan pemikir baru yang tidak boleh dinapikan karena telah turut mempersegar pemahaman al-Qur’an dalam upaya memecahkan problem kemanusian. Pemikiran baru seperti inilah sangat layak kita kembangkan karena telah meletakkan al-Qur’an sebagai teks manusiawi.

Prof Dr H Fauzul Iman, MA
Direktur Pascasarjana IAIN SMH Banten

1 komentar:

  1. Subhanallah Prof. Minta share yang lain lagi prof
    Ahmad Khusaeri
    Mahasiswa Pascasarjana PAI-A

    BalasHapus