Oleh : Prof. DR. H. Fauzul Iman, M.A.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Yang saya hormati Ibu Plt. Gubernur Propinsi Banten
Bapak Rektor dan Anggota Senat IAIN “SMH“ Banten
Bapak-bapak Rektor Pimpinan PTN dan PTS se Propinsi Banten
Bapak-bapak Pejabat Instansi di Propinsi Banten
Para Alim Ulama se Propinsi Bante
Para pimpinan organisasi sosial keagamaan di Propinsi Banten
Para dosen, guru, dan para kolega yang tidak mungkin saya
sebutkan namanya satu persatu, dan para tamu undangan yang berbahagia.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat
Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah dilimpahkanNya
kepada kita sekalian. Selanjutnya, dalam kesempatan ini izinkan kami
untuk menyampaikan sebuah karya ilmiah sebagai salah satu bentuk rasa
syukur atas pengangkatan saya sebagai Guru Besar Madya pada Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah IAIN "SMH" Banten dalam bidang Ilmu Tafsir.
Pidato ini juga diharapkan menjadi bagian sumbangan pemikiran, meskipun
sedikit.
Adapun judul yang telah saya pilih ialah: I’jaz
al-Qur’an (Aspek Konsisi Nabi dan Tadwin). Untuk itu perkenankanlah
berikut ini akan kami bacakan.
I. Pendahuluan.
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW melalui malaikat Jibril. Ia merupakan kitab suci, pedoman seluruh
ummat manusia di muka Bumi. Bagi ummat yang telah tercerahkan
keimanannya meyakini al-Qur’an sebagai kitab lengkap yang tiada
tandingannya dengan kitab atau buku (teks) lain. Para pengagum
al-Qur’an baik dari Islam maupun dari Barat telah membuktikan kebanaran
al-Qur’an sebagai wahyu (bukan ciptaan manusia). Al-Baqilani,
[1]
pengagum al-Qur’an, dari ahli Islam menilai al-Qur’an memiliki gaya
bahasa khas yang dalam penataannya berbeda dengan bahasa yang biasa.
Sementara William Muir
[2]
pengagum al-Qur’an dari ahli Barat menilai bahasa al-Qur’an mengandung
komposisi bahasa asli yang tak pernah berubah dan ia benar-benar
merupakan firman Tuhan.
Pujian para ahli terhadap
al-Qur’an merupakan hal yang wajar karena berdasarkan sejarah
kelahirannya, al-Qur’an telah berhasil menentang masyarakat Arab yang
yang tidak mengenal perikemanusiaan tetapi sangat tinggi peradaban
sastra bahasanya. Bangsa Arab, saat itu, dengan, kepiawaian bahasa
sastranya mencoba menyaingi bahasa al-Qur’an melalui puisi-puisinya yang
terkenal indah, namun bahasa mereka tidak sanggup mengungguli, dan
tenggelam dalam keindahan bahasa al-Qur’an. Dalam kontek ini bahasa
al-Qur’an berarti sebagai pihak pemenang melayani tantangan budaya
bahasa Arab. Kemenangan, kekuatan, keistimewaan atau keunggulan
al-Qur’an melayani tantangan yang membuat pihak penantang tak berkutik
(lemah), dalam diskursus ilmu al-Qur’an disebut denagn I’jaz al-Qur’an.
[3]
Selain para pengagum al-Qur’an dijumpai pula para pengeritik dan
pemaki yang memandang al-Qur’an tidak lebih sebagai karya cipta Nabi
Muhammad dan akal-akalan para pengkodifikasi al-Qur’an yang dipelopori
oleh para sahabat Nabi. Dalam hal ini, misalnya, W. Montegomery Watt
[4]
menuduh Umar dan Hafsah bersekongkol memanipulasi bagian ayat ketika
mengkodifikasi al-Quran. Tuduhan ini telah menciderai al-Quran dan
dengan demikian berarti ia telah memandang al-Qur’an hanyalah kitab
biasa dan sama sekali tidak mengandung I’ajaz (kemukjizatan). Di sisi
lain adalah Nasir Hamid Abu Zaid, seorang pemikir Islam kontemporer,
memandang al-Qur’an sebagai produk budaya (muntaj al-tsaqafi);
[5] bahasa maupun kandungannya tidak lebih hanyalah hasil dialog dengan realitas budaya arab.
Gambaran di atas adalah secuil dari polarisasi pandangan
mengenai al-Qur’an yang perkembangannya akan terus tumbuh sepanjang
bumi ini belum runtuh. Sejak kelahirannya hingga sekarang, al-Qur’an
memang tidak pernah hening dari pujian dan cacian. Inilah agaknya
keunikan al-Qur’an sebagai kitab yang berasal dari kalam Allah yang
selalu membuat cemburu para musuh Allah dan sekaligus membuat penasaran
para pemikir yang ingin meneliti kandungannya.
Penulis
sebagai bagian yang tidak termasuk memahami dan menguasai pengetahuan
mengenai al-Qur’an secara luas, merasa tidak nyaman terhadap
upaya-upaya yang menghilangkan unsur kemujizatan al-Qur’an. Oleh karena
itu melalui Orasi Ilmih ini penulis dengan kemampuan yang ada berupaya
mempertahankan citra kemukjizatan al-Qur’an dengan mencoba
menuangkan-nya dalam sebuh judul: I’JAZ AL-QURAN (Aspek Kondisi Nabi dan
Tadwin).
II. Pengertian dan Aspek I’ajaz al-Quran.
I’jaz berasal dari katai a’jaza ; a’jazahu, artinya ia membuat sesuatu
menjadi tidak mampu baik secara sendiri maupun kolektif, sedangkan kata
mu’jizat berarti sesuatu yang di luar kebiasaan yang membuat manusia
lumpuh mengungkapkan hal yang semisalnya.
[6] A’jaza juga berarti membuat orang menjadi tunduk; sesuatu yang datang kemudian menjadi lemah.
[7]
Az-Zarqani mendefinisikan mu’jizat sebagai suatu yang terjadi di luar
kebiasaan manusia, tidak terikat oleh hukum sebab akibat. Muj’izat
tersebut merupakan pemberian dari Allah SWT kepada Nabi sebagai bukti
kebenaran risalah-Nya.
[8]
Definisi di atas dapat disimpulkan bahwa mu’jizat ialah sesuatu
yang berada di luar kebiasaan manusia atau mahluk lain (jin) yang tidak
berdaya melakukannya. Mu’jizat merupakan pemberian Tuhan kepada
Nabi-nabiNya berupa keistimewaan untuk membaktikan kebenaran risalah
yang dibawanya serta untuk mematahkan argumentasi orang-orang kafir yang
menentangnya.
Tujuan kemu’jizatan (I’jaz) al-Qur’an adalah
untuk memperkokoh keyakinan manusia atas kebenaran Rasul dan al-Qur’an.
Sasaran mu’jizat al-Qur’an adalah nonmuslim yang berusaha mengingkari
kebenarannya. Orang-orang nonmuslim (kafir) diberi kesempatan untuk
mengkaji al-Qur’an. Bagi mereka yang meneliti al-Qur’an – apa pun
alasanya—bisa saja akan memperoleh hidayah sehingga hatinya ditaklukkan
menerima dan meyakini kebenaran wahyu Allah. Namun tidak sedikit pula
dari mereka yang tidak mendapat petunjuk sehingga penelitian yang
dilakukannya hanya menghasilkan cemoohan (penghujatan) terhadap
kandungan al-Qur’an.
Dilihat dari jenisnya, sebagaimana dikemukakan As-Suyuthi
[9],
kemukjijatan (I’jaj) al-Qur’an terdapat dua jenis. Pertama, jenis
mukjizat yang bersifat material (hissiyat). Kedua jenis mukjizat yang
bersifat immaterial (aqliyyat). Jenis pertama merupakan mukjijat yang
langsung ditampilkan di hadapan para penantang. Mukjizat tersebut dapat
dirasakan dan disaksikan secara inderawi oleh mereka. Sebagai contoh
adalah ditunjukkannya wujud ular yang berasal dari tongkat Nabi Musa
kepada masyarakat tempat Nabi menyampaikan risalahnya; perahu Nabi Nuh
yang dibuat Allah untuk menghadapi dan melawan dahsyatnya gelombang
lautan; Mukjizat Nabi Saleh berupa batu karang yang berubah menjadi
seekor unta ditunjukkan kepada kaum Tsamud yang terkenal ahli di bidang
memahat dan melukis sampai pada relief–relief indah; dan mukjizat Nabi
Isa yang dapat menghidupkan orang mati atas izin Allah.
Kesemua contoh kemukjijatan tersebut peristiwanya dibatasi hanya pada
lokasi dan lingkungan para Nabi dimaksud dan berakhir sampai mereka
wafat. Lokus kemukjizatan yang demikian, tampaknya sengaja ditetapkan
Allah SWT karena yang dihadapinya sebagian besar merupakan masyarakat
yang tingkat pemahaman (pemikirannya) masih rendah. Namun tingkat
keterampilannya cukup menantang para Nabi untuk menandinginya dengan
mukjizat. Misalnya di zaman Nabi Saleh masyarakat atau lokus yang
dihadapinya adalah para ahli yang sangat mahir membuat relief.
Berbeda dengan mukjizat Nabi SAW yang sifatnya aqliyyat bukan
materi dan inderawi tapi dijangkau oleh pemikiran akal. Cakupan
sasarannya tidak dibatasi oleh ruang atau masa tertentu. Mukjizat
demikian tidak lain adalah Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Saw yang
subtansinya dapat dijangkau oleh manusia yang menggunakan penalaran
akal. Menufrut Quraish Shihab, perbedaan mukjizat al-Qur’an dengan
Mukjizat para nabi pendahulunya disebabkan dua hal pokok
[10]
Pertama, Misi risalah para nabi sebelum Nabi Muhammad terbatas
kepada masyarakat dan masa tertentu. Batasan ini yang menyebabkan
mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tertentu., tidak
untuk masyarakat sesudahnya.
Kedua, perkembangan
pemikiran manusia seperti digambarkan Auguste Comte (1798-1857)
mengalami beberapa tahap. Sebagai berikut;
Tahap pertama
merupakan fase keyakinan umat manusia terhadap agama yang semata
didasarkan oleh keterbatasan ilmu pengetahuan. Fase ini mendorong
manusia menggantungkan kepada kekuatan tuhan atau dewa dalam setiap
menafsirkan (memahami) fenomena yang terjadi.
Tahap kedua
merupakan fase bagi manusia mengembalikan penafsiran gejala alam kepada
landasan atau prinsip yang menjadi sumber awal atau dasarnya. Semua yang
ada di bumi ini ada awalnya. Manusia, binatang, pohon dan lain-lain
pasti ada awalnya. Faham pemikiran ini dikenal dengan fase pemikiran
metafisika.
Tahap ketiga adalah fase manusia menggunakan
nalarnya secara teliti dalam menafsirkan fenomena yang ada, yaitu
berdasarkan pengamatan teliti dan ekperimen hingga memperoleh
hukum-hukum sunatullah yang mengatur fenomena. Fase ini disebut degan
fase pemikiran ilmiah.
Fase perkembangan pemikiran manusia
di atas, apabila dikaitkan dengan peristiwa kemukjizatan, menurut
Quraish Shihab--sesuai dengan tingkat pemikirannya---peristiwa
kemukjizatan itu harus lansung dibuktikan dengan jelas dan terjangkau
oleh indera umat para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Dalam perjanjian
Baru Isa berkata; “jika kamu tidak melihat tanda dan mukjizat, maka
kamu tidak akan percaya ( Yahya, IV : 48). Pada saat lain ia bersabda,
“jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapak-Ku, janganlah
percaya kepada-Ku” (Yahya X : 37)
[11]
Setelah kondisi pemikiran manusia meningkat pada tahap kematangan
berfikir. bukti indrawi itu tidak lagi dibutuhkan sehingga ketika Nabi
Muhammad SAW diminta bukti yang sama, mereka tidak percaya. Oleh karena
itu Nabi SAW diperintahkan oleh Allah untuk menjawab :
“Katakanlah: "Maha Suci Tuhanku, bukankah Aku Ini Hanya seorang manusia yang menjadi rasul" ( surat al-Isra ayat 93)
Adapun mengenai aspek-aspek kemukjizatan al-Qur’an, para ulama
berbeda pendapat. Sebagian berpendapat mukjizat al-Qur’an meliputi segi
balaghahnya yang adalah kandungan badi’nya yang sangat unik dan tidak
sama dengan apa yang telah popular dalam perkataan arab.
[12]
Ash-Shabuni dalam kitabnya menjelaskan aspek aspek kemukjizatan
al-Qur’an mencakup pada hal-hal, yaitu berupa susunannya yang indah,
uslubnya yang unik, bentuk undang-undangnya detail dan sempurna,
menggambarkan hal-hal yang ghaib, tidak bertentangan dengan ilmu
pengetahuan, menepati janji yang diinformasikan al-Qur’an dan memikat
hati (memberi pengaruh) kepada para pengikut dan musuhnya.
[13]
Dikaitkan dengan judul orasi ilmiah tentang aspek kemukjizatan
al-Qur’an (aspek kondisi nabi dan tadwin) yang akan penulis sampaikan,
tampaknya tidak kelihatan pada penjelasan aspek kemukjizatan yang baru
saja digambarkan di atas. Secara sepintas memang demikian, akan tetapi
berdasarkan temuan penulis membuktikan bahwa kondisi Nabi yang ummi
dapat menunjukkan adanya korelasi kemukjizatan al-Qur’an. Demikian juga
menyangkut keterjagaan dan keotentikan al-Qur’an sejak awal dimulainya
proses kodifikasi hingga di zaman ini—dengan segala tantangannya—juga
telah menunjukkan kemukjizatannya. Untuk membuktikan adanya temuan
tersebut berikut ini penulis berupaya membahasnya.
III. I’jaz al-Qur’an dari Aspek Kondisi Nabi
1. Nabi yang Ummi
Nabi Muhammad SAW. dilahirkan di Kota Mekkah yang masyarakatnya
belum mengenal peradaban (Jahiliyyah). Tradisi yang dianut oleh
masyarakat Mekkah pada saat itu adalah system keyakinan yang sangat kuat
menyembah berhala. Disamping itu, adalah struktur sosial masyarakat
yang didominasi oleh para suku yang menyukai konflik. Belum lagi prilaku
moral masyarakat-nya dikenal saling bunuh, suka berzina dan senang
minuman keras. Di tengah kondisi masyarakat demikian Muhammad kecil
tampaknya hanya menyaksikan saja, tetapi ketika menginjak dewasa ia
mencoba ingin melakukan perbaikan. Namun upaya itu pun terganjal oleh
toko-tokoh jahiliyyah yang notabenenya pamannya sendiri yaitu Abu Jahal
dan Abu Lahab. Bahkan dalam suatu riwayat sejarah istrinya pun, Siti
Khadijah, masih menganut kepercayaan paganism (penyembah berhala).
[14]
Abu Jahal dan Abu Lahab maupun tokoh-tokoh lain yang
menyertainya memang tidak bisa ditentang oleh Nabi Muhammad. Mereka
adalah komunitas yang taraf hidup dan posisinya berada dalan tatanan
penguasa dan kebangsawanan (domain culture), sedangkan Muhammad berada
dalam tatanan rakyat jelata (subordinate culture). Dalam situasi tidak
berdaya, Muhammad selalu mengalami kegelisahan sehingga suara moralnya
bertambah untuk melakukan perenungan kontemplatif di Gua Hira. Sejarah
mengungkapkan hampir setiap bulan Ramadhan Muhammad mengunjungi Gua
Hira.
[15].
Dalam kesempatan sekian kalinya di Gua Hira, Muhammad kemudian
mendapatkan wahyu dari Allah SWT yang diturunkan melalui Malaikat
Jibril. Dalam riwayat digambarkan Malaikat Jibril datang secara
tiba-tiba mendesak muhammad untuk membacakan ayat al-Quran,
“bacalah hai Muhammad” ! Muhammad menjwab, “ma ana bi qari”. Perintah
itu diulanginya dengan memaksa, Muhammad hanya bisa gemetar dan takut
seraya menjawab, “ma ana bi qari”. Baru setelah ketiga kalinya Muhammad
dapat membaca , “iqra bismi rabik” dan seterusnya.
Dari
proses turunnya wahyu di atas ada dua hal yang perlu dianalisa yaitu,
pertama, bahwa menjelang turunnya wahyu Muhammad berada dalam kondisi
tidak tenang karena menghadapi masyarakat yang tidak jelas memegang
prinsip ajaran. Kedua, jawaban yang diberikan dengan menggunakan kata ma
ana bi qari mengindikasikan bahwa Muhammad adalah ummi dalam arti tidak
mampu membaca. Ketiga adalah menunjukkan kemampuannya dengan membaca
ayat Iqra bismi rabbik.
Sarjana Barat pada umumnya tidak
melihat kondisi Nabi Muhammad di atas dalam menilai adanya kemukjizatan
al-Quran. Sehingga mereka acap kali meragukan al-Qur’an sebagai kalam
Allah. Mereka memandang bahwa Muhammadlah yang sebenarnya menyusun dan
membuat al-Quran. Bahkan Nasir Hamid,
[16]
pemikir Islam kontemporer yang kini tinggal di Belanda dalam karya
monumentalnya menyatakan bahwa Muhammad sebagai penerima pertama
sekaligus sebagai penyampai teks adalah bagian dari realitas masyarakat.
Ia adalah buah dan produk dari masyarakatnya.
Penulis tidak sepakat
dengan pernyatan ini karena sebagaimana pandangan Barat ia ingin
menggeser makna ummi yang melekat pada Muhammad ke dalam Muhammad yang
berbudaya dan cerdas sebelum menerima wahyu. Padahal kata ummi sebagai
dikemukakan Raghif al-Asfihani adalah orang yang tidak mampu menulis
dan membaca.
[17]
Nashir Hamid selanjutnya menyatakan bahwa Muhammad tumbuh dan
berkembang di Mekkah sebagai anak yatim dididik dalam suku Bani Sa’ad
sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan badui. Dengan demikian,
kata Nashir Hamid, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama,
berarti tidak membicarakannya sebagai menerima pasif wahyu- Akan tetapi
membicarakan Muhammad sebagai seorang manusia yang dalam dirinya
terdapat harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya,
Muhammad adalah bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya.
[18]
Dengan pemahaman seperti itu, jelas bahwa Nabi Muhammad SAW.
diposisikan sebagai semacam “pengarang” al-Qur’an. Nabi Muhammad
sebagai seorang ummi bukanlah penerima pasif wahyu tetapi juga mengolah
redaksi al-Qur’an sesuai dengan kondisinya sebagaimana manusia biasa.
Konsep yang menyatakan bahwa teks al-Qur’an spirit wahyu dari Tuhan sama
halnya dengan konsep teks Bible, bahwa The whole Bible is given by
inspiration of God. Keseluruhan kandungan dan teks Bible diwujudkan atas
kerjasama Nabi dengan Tuhan. Pandangan ini pada akhirnya memandang
agama Islam sebagai agama buatan Muhammad.
Pemikiran ini,
sekali lagi, penulis tidak sependapat karena fenomena sifat ummi yang
melekat pada Nabi Muhammad, sangat jelas ditampakkan pada kejadian tak
berdayanya ia menjawab desakaan jibril untuk membacakan ayat al-Qur’an
di awal permukaan desakannya. Pendapat Nashir yang tanpa melihat
fenomena keummian Nabi adalah jelas telah melucuti unsur i’jaz
(kemukjizatan) al-Qur’an.
Surat al-‘Alaq yang diturunkan
kepada muhamad di satu sisi menyiratkan adanya pristiwa ketidakmampuan
nabi membaca (ummi), dan adanya pencerahan kepada Nabi Muhammad di sisi
lain. Untuk mendukung secara tegas sifat keummian nabi---selain dari
yang tersirat pada pristiwa turunnya al-Qur’an—dapat dilihat dalam surat
al-A’raf ayat 157 ;
“(yaitu) orang-orang yang
mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di
dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang
mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang
yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang
beruntung.”
Ayat di atas menjelaskan kepada Musa
tentang akan adanya Nabi yang ummi—sebagai yang telah tertulis dalam
kitab Taurat dan Injil.----yang akan bertugas menegakkan amar ma’ruf.
Adanya Nabi Ummi yang dikaitkan dengan Kitab Taurat dan Injil dalam ayat
tersebut, semakin memperkuat kemukjizatan al-Qur’an dalam menangkal
tuduhan kepada Nabi SAW sebagai penjiplak kitab suci dari Taurat dan
Injil. Bahasa al-Qur’an yang redaksi dan isinya sangat mengagumkan dan
mengungkap banyak hal yang tidak dikenal pada masanya, mustahil dapat
dijiplak oleh seorang Nabi yang ummi.
Inilah yang tidak
dipahami para pemaki al-Qur’an, terutama para sarjana Barat dan pemikir
sekuler, yang terus menerus mengecam orisinilitas al-Qur’an. Mengapa
mereka lebih bersemangat meneliti teks al-Quran secara parsial tetapi
tidak mampu menelusuri kebenaran Nabi Ummi yang juga terdiktum dalam
teks. Padahal kegelisahan Nabi menjelang turunnya wahyu yang tidak mampu
memahami kondisi masyakat----termasuk memahami Khadijah sebagai
istrinya---yang selalu menyembah berhala, merupakan bukti empiris
keawaman Nabi (ummi). Dalam surat al-Ankabut ayat 48 semakin dipertegas
kebenaran sifat ummi Nabi.
“Dan kamu tidak pernah membaca
sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis
suatu Kitab dengan tangan kananmu; Andaikata (kamu pernah membaca dan
menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu) :
Tentu saja sifat ummi nabi ini tidak terjadi lagi setelah
mendapat kan wahyu dari Allah SWT. Turunnya surat al-‘Alaq pada Muhammad
teleh membentuk keperibadiannya menjadi lebih mantap dalam keimanan dan
menjadi luas dalam berwawasan (berilmu pengetahuan). Dengan kata lain
Nabi Muhammad SAW. telah memperoleh pendidikan dari Allah SWT dalam
melintasi alam keilmuan mikro maupun makro. Kata rabb dalam surat
al-‘Alaq yang berarti tuhan berasal dari kata rabba yang mengandung
mekna pendidikan secera evolutif. ; sejak merawat, tumbuh lalu
berkembang hingga menjadi insan cerdas dan berbudaya.
Quraish Shihab
[19]
dalam tafsirnya menjelaskan adanya kata rabb dalam bismi rabbik surat
al-‘Alaq bukan kata Allah, untuk membedakan dari pikiran masyarakat
jahiliyah (kaum musyrik) yang memandang Allah nemiliki anak-anak wanita,
Allah tidak bisa mereka hubungi karena demikian tinggi-Nya sehingga
para malaikat dan berhala-berhala perlu disembah sebagai perantara
mereka dengan Allah. yang punya anak dan menerima sesajen. Dengan
demikian kata rabb dalam mata pandangan jahiliyah merupakan fenomena
yang berbeda. Bahkan rabb dipahami mereka sebagai tuan-tuan yang mulia
yang umumnya disematkan kepada tokoh-tokoh jahilyah yang dipandang
terhormat dan mulia. Tokoh-tokoh seperti Abu Jahal, Walid al-Mughirah
dan lain lain adalah tokoh yang banyak hartanya karena itu dipandang
mulia oleh kaum jahiliyah.
[20]
Oleh karena itu, dalam ayat berikutnya surat al-‘Alaq
dijumpai kata Rabbuk al-Akram (dalam bentuk superlatif) yang
berartiTuhan Paling Mulia, bukan tuhan dalam arti tuannya kaum musyrik
yang hanya mulia dengan tidak menggunakan bentuk kata superlative.
Dengan demikian Tuhan Nabi adalah Allah yang Paling Mulia yang Maha
Kasih, Maha Pendidik dan Maha Pencerah. Tuhan Nabi adalah Allah SWT yang
mencerahkan Nabi SAW dari ummi ke dalam keperibadi-an yang cerdas yang
mampu menangkap dan memahami lebih mendalam realitas, struktur maupun
stratafikisasi social masyarakatnya. Dibanding ketika belum turunnya
wahyu, Nabi masih dalam keadaan gelisah pulang pergi ke Gua Hira dan
bertanya-tanya dalam memahami kondisi masyarakatnya yang senantiasa
terjelembab menyembah dan percaya kepada benda-benda tak berdaya.
Seperti kepada berhala dengan menaburkan sesajen.
Dalam
kondisi Nabi SAW. yang sudah cerdas karena memperoleh pendidikan dari
mukjizat al-Qur’an, maka Allah SWT mengutus Nabi menjadi Rasul untuk
betugas mencerahkan dan mengajar di tengah-tengah masyarakat yang ummi
(terbelakang), sebagaimana termuat dalam surat al-Jum’ah ayat ayat 2
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang
Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah).
dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang
nyata”.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Muhammad memang
sudah cerdas karena kalau Nabi masih ummi tidak mungkin ditugaskan di
tengah-tengah masyarakat yang juga ummi. Bagaimna mungkin yang ummi
harus mencerdaskan yang ummi. Rasanya mustahil jeruk bertemu jeruk yang
sama-sama kecut kecuali yang satu manis diperas dan dimasukkan ke
dalam yang kecut baru jeruk yang kecut akan bisa menjadi manis.
Lalu timbul pertanyaan apakah Nabi yang sudah menjadi jeruk
manis, dalam arti sudah cerdas dengan pikiran-pikiran manisnya kemudian
berdasarkan nafsunya menciptakan ayat-ayat al-Quran dengan licik? Atau
sebagaimana sering dituduh kaum kafir arab waktu itu dan
sarjana-sarajana barat selama ini, bahwa nabi adalah propaganda yang
pandai menyihir atau meramal segala hal yang membuat masyakat
terhipnotis oleh ajarannya?
Tuduhan-tuduhan yang demikian
adalah juga mustahil bagi Nabi yang sudah mendapatkan mukjizat
al-Qur’an melakukan tindakan sesat yang menodai Kemahagungan Allah SWT.
Dengan akhlak al-Qur’an yang juga merupakan mukjizat terbesarnya,
tidak mungkin bagi Nabi membuat ayat-ayat al-Qur’an baru yang bukan
berasal dari wahyu. Taruhan hukumannya sangat beresiko bagi Nabi
seandainya ia membikin-bikin ayat al-Qur’an yang bukan dari Allah
sebagai pendidiknya. Al-Qur’an selalu mengontrol Nabi dan dengan tegas
mengancamnya, akan memotong urat tali jantungnya seandainya ia melakukan
hal tersebut. Firman Allah SWT surat al-Haaqqah ayat 44-46.
öqs9ur tA§qs)s? $oYø‹n=tã uÙ÷èt/ È@ƒÍr$s%F{$# ÇÍÍÈ $tRõ‹s{V{ çm÷ZÏB ÈûüÏJu‹ø9$$Î/ ÇÍÎÈ §NèO $uZ÷èsÜs)s9 çm÷ZÏB tûüÏ?uqø9$# ÇÍÏÈ
“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan
atas (nama) kami, Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan
kanannya. Kemudian benar-benar kami potong urat tali jantungnya”.
Inilah yang membuat Fazlurrahman, pemikir kontemporer Islam,
merasa terheran-heran mengapa banyak orang tidak memahami kondisi Nabi
yang ummi dengan mukjizat al-Qur’an. Orang orang kafir dan para sarjana
Barat selama ini, kata Fazlurrahman, masih memandang Nabi dan mukjizat
al-Qur’an berdasarkan penelitian kulitnya saja, tidak menelusuri lebih
jauh ke dalam akar-akarnya. Terutama mendalami akar-akar kekokohan ayat
al-Qur’an yang satu sama lain saling memperkuat dan memagari. Adalah
tidak logis, dangkal, dan pencemburu maniak, demikian Fazlurrahman,
jika tuduhan gila, ayan dan tukang ramal yang dilemparkan kafir arab
(termasuk sarjana barat zaman ini) kepada Nabi SAW. terjadi setelah
al-Qur’an menampakkan gaungnya.
[21]
Hemat penulis kemukjizatan al-Qur’an dari aspek kondisi Nabi
yang Ummi merupakan rencana agung Tuhan yang sangat cerdas. Hanya
Tuhanlah yang Maha Agung yang dapat mengucapkan kata kata indah
al-Qur’an, mengolah dan menata logika-logika maknanya. Bukan
Muhammad, setan atau jin apalagi tukang peramal yang bisa mendisain
proyek logika agung al-Qur’an ini, baik dari segi makna, argumen-argumen
maupun akrobatika dialektika teksnya. Terlalu berat resikonya kalau
Muhammad yang ummi dan cerdas nalar serta akhlaknya membuat proyek Agung
al-Qura’n. Apalagi diserahkan pada pemborong al-Qur’an yang tukang KKN
dan menyuap dewa-dewa kayangan.
2. Muhammad Sebagai Nabi Penutup.
Dikaitkan
dengan kemukjizatan al-Qur’an kehadiran Nabi penutup ini bukan tidak
kuat dijadikan argumen. Tidak sedikit orang mencoba mengaku Nabi baik
sejak di zaman Nabi hingga zaman modern ini kandas di tengah jalan.
Memang pernah ada yang mengaku Nabi tiba-tiba menjulang ke permukaan
tapi hanya terasa kilatan apinya saja, setelah itu padam tak berkilat
lagi.
Di zaman Nabi ada seorang murtad yang namanya Musailamah
al-Kadzdzab mengklaim dirinya sebagai Nabi. Ia bahkan mengaku mendapat
wahyu dari Allah SWT dan mencoba menyampaikan wahyunya itu di
tengah-tengah masyarakat Arab dengan ayat wahyunya yang cukup
menggelikan yaitu;
“Gajah, apakah
gajah, tahukah engkau apa gajah?. Dia mempunyai belalai yang panjang dan
ekor yang mantap. Itu bukanlah bagian bagian dari ciptaan Tuhan kitra
yang kecil”
Kalimat di atas tampak sangat dangkal
maknanya dan terasa dibuat-buat. Kata yang digunakannya tidak tepat
dengan kata yang biasa dipakai al-Qur’an. Al-Qur’an tidak pernah
menggunakan kata wa ma adraka pada hal-hal seperti binatang gajah,
kecuali pada hal-hal yang luhur dan sukar hakekatnya dijangkau oleh
pemikiran manusia. Karena itu, al-Qur’an tidak menggunakan kata itu
kecuali untuk hari kiamat, surga, neraka, bintang tertentu yang
gemerlapnya menembus cakrawala, dan perjuangan mendaki menuju hadirat
ilahi.
[22]
Di zaman modern ini juga pernah muncul klaim kenabian di
India bernama Mirza Ghulam Ahmad, namun dalam beberapa penjelasan
terdapat penegasan bahwa kenabian Mirza hanyalah sejenis nabi kecil.
Nabi yang tidak berpengaruh karena dia tidak mampu menunjukkan kitab
sucinya yang benar-benar asli dari Allah SWT. Konon kitab yang
dimilikinya hanyalah cuplikan ayat–ayat al-Qur’an yang direkayasa dengan
tambahan-tambahan. Kalimat tambahan itu diklaim sebagai seolah-olah
wahyu yang diturunkan kepada Mirza Ghulam Ahmad.
Di
Amerika yang bernama Joseph Smith, yang oleh para pengikutnya dari
Kristen sekte “The Church of Yesus Chirst of Letter Day Saint” (kaum
“mormon”) juga dianggap sebagai Nabi. Tapi, ia setaraf dengan levelitas
pengakuan Mirza sebagai hanya Nabi kecil. Pengaruhnya tenggelam dalam
lautan tak berasin sehingga mati tak menjadi ikan lagi.
[23]
Uraian di atas membuktikan bahwa Muhammad sebagai Nabi
penutup benar adanya, dan hingga sekarang tidak mungkin lagi muncul nabi
baru yang mampu menandinginya. Apapun symbol, perangkat dan instrumen
yang dikerahkannya untuk mengaku sebagai Nabi, termasuk Lia Aminuddin
baru–baru ini, tampaknya hanya utopia.
Ketidakmampuan ini, menurut Ismail Al-Faruqi,
[24]
adalah kelemahan arus manusia modern yang tidak mampu menembus dimensi
rantai ilahiyah. Ini berarti dibalik manusia modern terdapat kelumpuhan
mutlak meniru apa yang secara genuine diciptakan Yang Maha Mutlak, yaitu
Allah. Maka bahasa Nabi lewat kitab sucinya tidak lagi bisa dicontoh
oleh manusia modern.
Bahasa Nabi dalah bahasa pamungkas
bahasa yang tidak bisa dibuka lagi oleh rivalitas keindahan bahasa
manusia. Bahasa Nabi SAW. adalah bahasa Al-Qur’an ; bahasa keindahan
yaitu bahasa I’jaz; bahasa penutup yang tidak bisa dibuka dan
disaingkan lagi oleh bahasa teks biasa. Inilah yang dimaksud dengan
firman Allah SWT. Surat al-Ahzab ayat 40
“Muhammad itu
sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu.,
tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.
III. Aspek Tadwin
Tadwin adalah upaya menghimpun atau membukukan al-Qur’an yang dilakukan
sejak zaman Abu Bakar hinga zaman Usman bin Affan. Penghimpunan yang
sangat sederhana sebenarnya telah dilakukan oleh Nabi SAW sendiri dalam
lembaran-lembaran tulisan tangan (manuskrip), dan tidak semata
dipertaruhkan kepada hafalan para sahabat belaka. Menurut riwayat, Nabi
selalu memerintahkan para sahabatnya untuk menulis (mencatat) wahyu yang
baru diterima sehingga saat itu terkenal pembukuan dengan nama
lembaran-lembaran (shuhuf). Ini diisayaratkan dalam firman Allah surat
al-Bayyinah qyqt 2-3 :
“(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad)
yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Quran),di dalamnya
terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus”
Ayat di atas
menyebutkan Rasulullah membacakan ayat–ayat al-Qur’an dari
lembaran-lembaran suci. Informasi ini menunjukkan bahwa penulisan dan
pencatatan wahyu Allah sudah terwujud sejak zaman Nabi SAW sendiri.
Betapa pun penulisan (penghimpunan) itu baru sebatas dalam lembaran
lembaran yang tidak dibukukan dalam sebuah buku berjilid atau mushhaf,
namun penulisan itu dibuatnya dengan lengkap.
Penghimpunan al-Qur’an secara serius (bentuk jilid) baru dimulai atas
usul Umar Ibnu Khaththab kepada Khalifah Abu Bakar. Usul ini
dilatarbelakangi oleh banyaknya para khuffadz yang gugur dalam
pertempuran Yamamah. Sebuah riwayat menuturkan bahwa Umar bin Khaththab
menanyakan tentang sebuah ayat dari Kitab Allah. Setelah dijelaskan
bahwa ayat tersebut di tangan seseorang yang telah tewas dalam
peperangan Yamamah. Umar terkejut seraya berteriak mengucapkan;
“innalilahi wa inna lillahi raji’un. Lalu Umar segera memerintahkan agar
semua (catatan) ayat al-Qur’an dikumpulkan.
[25]
Dalam riwayat itu Umar disebut yang pertama kali
mengumpulkan al-Qur’an ke dalam mushhaf. Tapi sesungguhnya yang
dimaksudkan adalah gagasan Umar yang diajukan kepada Abu Bakar yang
otoritasnya sebagai khalifah. Tiga tokoh pupuler yang sering disebut
pengumpul pertama al-Qur’an adalah Abu Bakar, Umar dan Zaid ibn
Tsabit. Abu Bakar memanggil Zaid ibn Tsabit atas gagasan cemerlang Umar
untuk mengumpulkan al-Qur’an karena banyaknya Khuffad terbunuh dalam
perang Yamamah. Zaid pada mulanya menolak karena tidak pernah terjadi di
zaman Nabi, tapi demi kemaslahatan kemudian ia melakukannya.
Atas perintah itu Zaid mulai mengumpulkan al-Qur’an dengan
menggunakan metode yang sangat teliti ia ambil data-data dari pelepah
kurma, tulang pipih dan hafalan Ia tidak akan mencatat ayat al-Qur’an
sebelum adanya dua saksi. Meskipun ia hafal al-Qur’an di luar kepala ia
tidak akan menulis al-Qur’an sebelum terlebih dahulu melakukan
verifikasi data. Salah satu contohnya adalah dalam menggali dua ayat
terakhir surat al-bara’ah yang hilang yang kemudian ditemukan di
tangan sahabat yang bernama Abu Khuzaimah al-Anshari.
Ketelitian methode Zaid bukan sebatas penyelusur-an data ayat al-Qur’an
yang ada di tangan (hafalan) para sahabat atau dua saksi, melainkan
dengan sistem cross-check ia meminta kesaksian pada yang mengaku ayat
al-Qur’an itu berasal langsung dari Nabi. Meskipun, sebenarnya, Zaid
mengetahui bahwa bagian ayat al-Qur’an itu merupakan bagian ayat yang
otentik
[26]
Hasil penelitian zaid ibn Tsabit yang kemudian menjadi bentuk
lembaran-lembaran kitab suci itu tetap disimpan pada Abu Bakar. Setelah
ia meninggal lembaran itu dipindahkan ke Umar dan setelah Umar meninggal
diserahkan kepada anaknya Hafshah (janda Nabi SAW.)
[27]
Pada masa pemerintahan Usman bin Affan, pemimpin perang
Hudzaifah ibn al-Yaman melaporkan kepada Usman telah terjadi perbedaan
di berbagai tempat mengenai bacaan al-Qur’an. Hudzaifah memberi saran
kepada Usman segera mengambil tindakan agar tidak terjadi konflik lebih
dalam mngenai bacaan al-Qur’an. Khudzaifah tidak ingin perselisihan
bacaan kitab suci seperti terjadi pada kitab kaum keristen dan Yahudi.
Usman kemudian mengirim utusan kepada Khafshah untuk
meminjam shuhuf (lembaran-lembaran) kitab suci yang ia warisi dari
ayahnya Umar, yang berasal dari Abu Bakar. Setelah Hafsah mengirim
shuhuf itu kepada Usman, beberapa orang ditunjuk Usman antara lain Zaid,
Sa’id ibn al-‘Ash dan Abdullah ibn al-Zubair untuk menyalin shuhuf tadi
ke bebrapa naskah. Kemudian Usman berbicara kepada beberapa kelompok
islam dari suku Quraisy, “jika kalian berbeda pendapat dengan Zaid, maka
tulislah kata-kata dari al-Qur’an itu menurut dialek Quraisy ksrena ia
diturunkan dalaam dialek ini”
Setelah tugas penyalinan
shuhuf selesai mereka lakukan, Usman mengirim satu naskah ke
masing-masing pusat terpenting wilayah kekhalifahan. Ia selanjutnya
mengintruksikan agar membakar semua bahan tertulis tentang al-Qur’an
baik yang berbentuk lembaran terpisah maupun yang berwujud buku. Upaya
tegasnya itu sangat efektif dalam mempersatukan umat tentang perlunya
bacaan induk al-Qur’an. Kini induk al-Qur’an itu terkodifikasi--dengan
nama Mushhaf Utsmani--tanpa ada lagi orang yang mampu merombaknya.
[28]
Uraian di atas mengungkapkan betapa ketelitian para sahabat
dalam menghimpun al-Qur’an. Sejak informasi wahyu dari Nabi yang
dihimpun dalam bentuk shuhuf sampai berbentuk mushhaf (tadwin), diproses
begitu ketat oleh penggalian data dan diperkokoh dengan
pelacakan-pelacakan saksi. Informasi akurat oleh Nabi, daya rekam otak
para sahabat yang kukuh, daya lacak. Zaid bin Tsabit yang tinggi serta
kontrol otoritas dan wibawa para khalifah (Abu Bakar Umar dan Utsman),
semuanya itu menggambarkan betapa dahsyatnya ghirah mereka dalam menjaga
kalam Allah, al-Qur’an.
Ghirah yang begitu genuine dan
tak dapat dipahami akal karena mereka (para sahabat) tak pernah berbelok
dari cintanya pada Nabi dan al-Qur’an. Terbukti ketika Nabi Wafat
tidak ada seorang pun dari mereka yang murtad. Umar sang penentang Nabi
yang dahulunya singa paling serius hendak menerkam Nabi, begitu
diberitahu bahwa ada satu ayat al-Qur’an melekat pada otak pahlawan yang
terbunuh, ia berteriak histeri dan bangkit menjadi penjaga gawang
al-Qur’an.
Demikianlah cara al-Qur’an mencairkan gumpalan
besi, meluluhkan batu cadas dan menyemprotkan sinar cahaya cemerlang
yang membuat manusia silau dan tunduk pada kemilaunya cahaya al-Qur’an.
Begitulah cara kemu’jizatan al-Qur’an menyelusup dan menyelinap
meringkus dan mengikis sedikit demi sedikit sang bandit yang berhati
kasar menjadi insan pelunak sekaligus pemihak, pengibah dan penyayang
umat.
Berkat kemukjizatan yang melekat pada al-Qur’anlah,
ia tetap terjaga dan terpelihra hingga kini tanpa ada ayat satu pun
yang tercecer, terbuang apalagi dipalsukan. Inilah yang membuat para
ilmuwan barat kewalahan menentang keaslian al-Qur’an. Setiap kali mereka
menantang kemurnian al-Qur’an, muncul sang pembela al-Qur’an yang lebih
tangkas argumentasinya.
Kajian yang cukup serius membuat hampir kita dikafirkan ialah hasil penelitian J. Wansbrough.
[29]
Ia mengemukakan bahwa al-Qur’an yang ada di tangan kita dewasa ini
merupakan konspirasi kaum muslimin yang awal (sekitar dua abad pertama
islam). Wansbrough menganalisis permulaan surat al-Isra sama sekali
bukan membahas mengenai peristiwa isra Nabi Muhammad SAW. Ayat ini,
menurutnya, lebih tepat membahas peristiwa eksodus Nabi Musa dan kaumnya
dari Mesir ke Israil, karena ayat–ayat al-Qur’an lainnya yang
menggunakan ungkapan asra bi ‘abdihi laylan–atau yang mirip
dengannya—kesemuanya mengisahkan eksodus Musa tersebut.
Wansbrough beralasan bahwa bukti eksodus Musa itu sangat jelas
pada ayat-ayat berikutnya dikemukakan kisah panjang mengenai Nabi Musa.
Dan kaumnya. Adapun ungkapan min al-masjid al-haram ila al-masjid
al-aqsha yang mengidentifikasi diri Muhammad sebagai pelaku perjalanan
malam, dipandang Wansbrough sebagai tambahan dari masa yang belakangan
dengan tujuan “untuk mengakomodasikan episode evengelium islam dalam
teks resmi al-Qur’an. Tambahan ini, lanjut, Wansbrough, jelas berada di
bawah pengaruh taurat (perjanjian lama).
[30]
Pandangan Wansbrugh ini hemat penulis hanya melihat data
fisik teks dengan metode analisa yang tidak lengkap. Akibatnya ia tidak
memadai dalam memahami struktur organisme ayat. Padahal kalau
dianalisis organisme antara ayat akan melahirkan keserasian makna logika
ayat. Disinilah Wansbrough lengah dalam menangkap kesan keserasian
ayat. Atau istilah ilmu al-Qur’an adalah ilmu taanasub al-ayaat wa
as-suwar, yaitu ilmu yang membicarakan tentang pesan dan keserasian
antara ayat dengan ayat dan antar surat dengan surat.
Seandainya Wansbrough tidak dangkal dalam memahami ilmu ini, tentu akan
mengatakan bahwa kisah Nabi yang disambung oleh ayat berikutnya dengan
kisah Nabi musa adalah bentuk keserasian yang indah. Keserasian iu
terletak pada penonjolan dua kisah Nabi. Indikasinya terdapat kata
subhana dilanjutkan dengan wau athaf. Subhanallah artinya Mahas Suci
Allah yang tidak kurang dari profesionalismenya memperjalankan Nabi
Muhammad dari masjid al-haram ke masjid al-aqsha terus kelangit.
Demikian pula profesionalismenya Allah memperjalankan Musa dari Mesir ke
Palestina. Jadi di sinilah letak makna keserasiannya.
Pandangan Wansbrouhg terhadap adanya ulah Nabi Muhammad Saw menjiplak
tradisi bibleisme itu dikarenakan kebebalannya Wansbrouhg memahami
kondisi Nabi yang ummi. Sebagai sudah dijelaskan dalam bab dua bahwa
sarjana barat belum pernah secara spesifik mengalisis kondisi Nabi yang
ummi. Mungkin mereka lebih tertarik meneliti dari aspek teks,
perjuangan dan gerakannya. Akibatnya mereka tidak memadai menangkap
makna ummi sebagai sifat Nabi yang tidak pernah bisa baca dan tulis.
Itulah sebabnya Wansbrough berkeras dengan pendapatnya bahwa Nabi telah
menjiplak tradisi kitab suci Yahudi dan Nasrani.
Barangkali Wansbrough punya alasan kuat tidak berminat meneliti kondisi
Nabi karena ia mahluk tidak empiris (tidak nyata di dunia hari ini). Ia
mungkin memandang lebih tertarik meneliti teks karena data fisik yang
masih hidup dan menyata di dunia (empiris). Kalau alasanya demikian
mengapa dia percaya bahwa Muhammad menjiplak kitab sucinya Yahudi
nasrani, padahal ia tidak pernah melihat Nabi Muhammad secara empiris
menjiplak kitab suci Yahudi tersebut. Hemat penulis disinilah letak
keganjilan metodologinya.
Di bagian lain dalam
tulisannya, Wansbrough meyakini adanya konspirasi Nabi Muhammad dengan
para sahabatnya dalam menjiplak kalimat atau term-term baqiah dan
al-baqiyun dari Perjanjian Lama yang artinya tradisi tersisa.
Sebagaimana di dalam al-Qur’an (Q.S 11 : 116 : 26 :120 : 37 :77; 43
:28; 2:248;69 :8;53:51) . Menurutnya hal ini selaras dengan pengertian
perjanjian.
Wanbrogh memandang bahwa dengan terma yang
dijiplak itu, kaum muslimin awal telah menyusun al-Qur’an dengan
tambahan–tambahan di sana sini untuk mngantisipasi tradisi Yahudi.
Mushhaf yang ada di tangan kita sekarng ini, menurutnya, penjejeran
berbagai “tradisi kaum muslimin yang awal. Pandangan Wansbrough tentang
terma baqiah sebagai pemilihan “tradisi tersisa” sebgai cermin doktin
Yahudi ini, dibantah degan tegas oleh Fazlul Rahman.
[31] Rahman mengatakan bahwa terma baqiun tidak pernah dijumpai di dalam al-Qur’an dan secara grmatikel tidak tepat.
Term ini seharusnya adalah baqun tapi maksud ayat ini
bukanlah keturunanannya. Selain itu di dalam al-Qur’an tidak terdapat
kata turunan b-q-y yang berarti “sisa-sisa yang masih hidup”. Kata
terakhir baqun yang dikemukkan Wansbrough sebagai “tradisi yang tersisa”
Yahudi, tidak tepat diartikan demikian . Kata ini lebih tepat
diterjemahkan sebagai “orang-orang yang memiliki keunggulan dan
kebijakan”. Sebab bila diterjemahkan dengan “orang-orang yang memiliki
yang tersisa”, maka, demikin Rahman, terjemahan itu jelas sangat
absurd.
Demikian uraian ini menegaskan pada kita suatu
keampuhan al-Qur’an. Lewat kodifikasi yang sudah baku atas jasa-jasa
Nabi dan para sahabatnya, ternyata mengandung keunikan yang tidak bisa
dibedol oleh siapa pun yang mencoba menghilangkan citra kodifikasi
al-Qur’an. Inilah kekuatan kodifikasi al-Qur’an, dan inilah pula i’jaz
nya (kemukjizatan al-Qur’an) yang hingga kini ditunjukkan oleh
kodifikasi yang tiada pernah terkoyak. Ketika di sana ada pencundang
yang menciderai al-Qur’an, maka di sebelah sini tampil sang pembela yang
menjaga keotentikannya. Bahkan sang pembela bukan saja dari ahli muslim
semacam Fazlu Rahman, tetapi juga muncul dari pena-pena sekuler seperti
Farnz Rosenthal
[32], Thomas W, Arnold, Michel Hart, Robert N. Bella, Issa J. Bouletta dan lain-lain.
Kemukjizatan lain al-Qur’an atas kodifikasi adalah tidak
pernah menyurutnnya konsistensi ragam komunitas Islam dalam meyakini
keaslian kodifikasi al-Qur’an. Komunitas Sunni dan Syi’ah adalah bukti
kedua aliran yang masih tetap berpegang teguh kepada kodifikasi final,
yaitu Rasam Ustmani. Syi’ah yang notabenenya tidak mengakui otoritas
Utsman sebagai Khulafaur Rasyidin kini masih tetap mendukung Mushhaf
Rasam Ustmani sebagai hasil kodifikasi yang otentik. Bukankah ini bukti
I’jaz al-Qur’an dari aspek kodifikasi. Bahkan Ahmadiyyah yang dipandang
aliran sesat kini dalam kitab sucinya masih tetap mencuplik ayat
al-Qur’an walau dengan karir pelagiatnya. Al-Qur’an surat al-Hijr ayat 9
telah membuktikannya.
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”
IV. Kesimpulan
Al-Qur’an sebagai kalam Allah telah terjaga kemukjizatannya
sejalan dengan pengakuan al-Qur’an sendiri. Ia kalam yang telah
membuktikan dirinya menghadapi segala denyut tantangan masyarakat yang
tidak puas dengan kehadirannya. Tetapi ia bukan kalam ambisius
melainkan kalam bijak yang mengatasi dan menahadapi ambisi penantang
para pelawannya. Kalam mukjizatnya tidak sporadis, ia menantang lawannya
yang mengajak bertanding dengan cara berangsur. Pertama ia menantang
dengan satu surat, kedua dengan dengan dua butir surat dan ketiga dengan
sepuluh surat. Tahap satu dengan cara minus, para penantang terdiam.
Tahap kedua dengan cara midle, para penantang kebingungan, dan pada
tahap paling top yaitu dengan sepuluh surat, para penantang pun mati
kebelinger tak mampu lagi menandinginya.
Kemukjitan
al-Qur’an tidak cukup dengan pengakuan normative belaka. Ia pun
menyodorkan figure empiris yaitu sang penerima awal al-Qur’an dalam
sosok nabi yang ummi. Nabi yang tidak mampu tulis baca tapi nabi yang
cerdas sekaligus senjata pamungkas dalam memerangi para penuduh yang
memandang Nabi sebagai penjiplak dan pembuat al-Qur’an. Kecerdasannya
merupakan cahaya yang menerangi gurun sahara yang kejam dan terbelakang.
Muhammad Saw hadir sebagai cahaya yang menyedot dan
mengairi hati dan kapala para tokoh gurun sahara . Umar yang begitu
gersang hatinya menjadi teduh melembuti Nabi sang Ummi. Abu Sufyan yang
kepalanya botak gersang menjadi rimbun dengan rambut kesayangannya.
Kehadirannya mengundang banyak hujatan yang memaki tapi juga banyak yang
yang memuji. Segudang pujaan padanya muncul dari pena-pena sekuler
seperti Thomas w. Arnold yang mengagumi cara da’wah nabi, Robert N.
Bella yang bangga dengan etos tawhidnya Nabi yang demokratis dan Maichel
Hart yang mengalem kedahsyatan pengaruhnya Nabi di dunia.
Kemukjijatan yang paling empiris adalah kekuatan dan keterpeliharaan
kodifikasi al-Qur’an. Sungguh telah membuktikan bahwa al-Qur’an hingga
kini tidak ada yang tercabik ayatnya, tidak ada yang tertukar suratnya.
Dari dulu hingga kini tetap tidak berubah; rapih dan tertata. Ia tetap
tertutup dengan emas pencerahan meskipun dihujat dan diinjak atau
disimpan dalam kastok. Ia masih tetap menyemburkan cahaya ke alun-alun
dunia, dan memikat awan para intelektual yang ikut menderaskan hujan
pengamalannya. Tentu dari sinilah kita harus terus menangkap deras
cinta al-Qur’an untuk bersama-sama dengan sekuat tekad pengamalan dan
tenaga penjagaanya. Bukan membiarkannya di kastok atau menjualnya kepada
para konsumen murahan yang banyak fulusnya tapi dangkal ketulusannya.
Kemukjizanan al-Qur’an ini tidak terletak pada keindahan dan
kekutan di atas, tetapi yang lebih penting adalah pengagalian
kandungan dari berbagai bidang baik rohani maupun ilmu pengetahuan.
Dengan demikian al-Qur’an akan benar-benar dijadikan pedoman kehidupan
dan landasan idiologi yang terus bersumber dan tiada pernah kekeringan.
Tidak sedikit sesungguhnya isyarah-isyarah ilmiah yang akan menjadi
pembangkit umat manusia dalam membangun peradaban di dunia.
Akhirnya dalam kesempatan yang terhormat ini, izinkan kami
mengucapkan terimakasih kepada Senat IAIN Sultan Maulana Hasanuddin
Banten yang telah menyetujui dan mengusulkan saya sebagai Guru Besar
Madya pada Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN “SMH” Banten. Saya juga
mengucapkan terimakasih kepada Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Islam Departemen Agama dan Menteri Agama yang telah berkenan meneruskan
usul tersebut kepada Menteri Pendidikan Nasional RI untuk penetapannya.
Kepada yang disebut terakhir juga, kami mengucapkan terima kasih.
Kami ucapkan terima kasih juga kepada Bapak Rektor IAIN “SMH”
Banten Bapak Prof. Dr. M.A. Tihami selaku pimpinan dan sekaligus orang
tua kami yang telah selalu memberikan dorongan, perhatian, bantuan
berupa moral dan material. Demikian juga kepada Bapak Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah yang telah ikut memperlancar usulan kami., kepada
Para Guru Besar IAIN “SMH” Banten Bapak Prof. K.H. Wahab Afif, M.A,
Bapak Prof. Somad Jawawi, M.Ag. Bapak Prof. Dr. H.M. Yunus Ghozali, dan
Bapak Prof Dr. H. Suparman, S.H, sebagai tuan guru dan sesepuh kami
yang telah menanamkan keteladanan dan dorongan yang sangat berharga
bagi kami.
Tak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada
Bapak Prof Dr. Azyumardi, M.A, Rektor UIN Syahid Jakarta, Prof. Dr.
Quraish Shihab, M.A, Bapak Prof. Dr. Said Agil Munawar, MA, Bapak Prof
Dr. Komaruddin Hidayat, Bapak Prof Dr. Nasaruddin Umar, Bapak Prof. Dr
Tibraya, Bapak Prof Dr. Suwito, Bapak Prof. Dr. Atho Muzhar dan Ibu
Prof. Dr. Chuzaemah T. Yanggo, yang telah memberikan arahan dan
bimbingan kepada kami selama meyelesaikan disertasi dan usulan guru
besar. Demikian juga kami ucapka terimakasih kepada Bapak Ir. H. Akbar
Tanjung, dan al-Marhum Bapak Ekki Syachrudin yang telah membantu kami
baik moral maupun material. Kepada guru-guru kami, para kiyai yaitu
Bapak K.H. Zainul Asyikin, Bapak K.H. Abdul Muin, Bapak K.H. Hamni,
Bapak K.H. Sofwani, Bapak K.H. Abdul Aziz, Bapak K.H. Burhanuddin dan
bapak K.H. Wardi juga kami ucapkan terimakasih atas segala bimbingannya.
Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan juga kami
tujukan kepada semua pihak yang telah membantu perjalanan hidup kami,
khususnya para guru kami, di Sekolah Dasar, Madrasah Ibtidaiyyah,
Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, PGAN 6 tahun Serang dan seluruh dosen-dosen
kami selama di Perguruan Tinggi (IAIN Serang dan UIN Jakarta). Kepada
Karyawan IAIN. Panitia dan mahasiswa kami juga ucapkan terima kasih atas
segala partisipasinya.
Kemudian kepada isteri tersayang,
Dra. Fatimah binti H.A. Nachrawi Abbas, kami juga mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya atas kesabaran dan dorongannya. Kepada anak
tercinta kami Alfi Syahriyani, Muhammad Wildan Al-Farabi dan Wilda Risni
yang telah memberikan semangat dan perhatiannya.
Kepada
semua keluarga besar kami dari Kalapa dua, Sumur pecung, Cilegon dan
kawan kawan kami yang tidak bisa disebut namanya, kami juga mengucapkan
terimakasih atas perhatian, do’a dan dorongannya. Terakhir, Khusus
kepada kedua orang tua kami yang tercita, ayahanda Bapak K.H. Moh Rafei
bin K.H. Nawawi (almarhum), dan kepada Ibu Hj. Ummu Kulsum (almarhumah)
yang tiada putus-putusnya memberikan pendidikan dan kasih sayangnya,
sehingga menjadi salah satu sumber motivasi perjuangan dalam kehidupan,
demikian pula kepada Bapak dan Ibu mertua Bapak H. A. Nachrawi bin H.
Abbas (almarhum) dan Ibu Hajjah Nafsiah binti Abdul Haq, kami haturkan
rasa terima kasih yang mendalam dan penghargaan kami yang tinggi tiada
tara.
Akhirnya kepada semua yang kami sebutkan di atas,
kami do’akan semoga segala budi baik yang telah mereka berikan dan amal
shaleh yang telah mereka lakukan, mendapat balasan yang setimpal dari
Allah SWT. Amin Ya Rabbal alamin.
[1] Imam Qadhi Abi Bakr Al-Baqilani, dalam Jalaluddin Assuyuthi
catatan pinggir al-Itqan fi ulum al-Quran ( t.t.:Dar al-Fikr, t.th.),
h. 55-56.
[2] William Muir, The Life of Muhammad (Ediinburgh: Jhon Grant, 1923), h. xxviii.
[3]Apabila pihak yang ditantang berhasil melakukan hal serupa ini
berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu
digarisbawahi di sini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar
dipahami oleh orang-orang yang ditantang .Al-Qur’an digunakan Nabi SAW
untuk menentang orang-orang pada masa beliau dan generasi sesudahnya
yang tidak percaya akan kebenaran al-Qur’an. Lihat M.Quraish Shihab,
Mukjizat Al-Qu’ran (Bandung:Mizan, 1997), h. 259 : lihat pula Manna’
al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Quran ( ttp.: Mansyurat al-ashr
al-Hadits , 1973 ), h. 259.
[4]W.M. Watt dan R. Bell, Islamic surveys : Introduction to the Qur’an, (Edinburgh: University Press , 1991), h. 43-44.
[5]Nashir Hamid adalah seorang pemikir kontemporer berasal dari
Mesir yang menekuni bidang linguistik. Sejak kecil ia rajin menulis dan
menghafal al-Qur’an. Ia aktif dalam gerakan Ikhwan al-Muslimun. Namun
karena pemikirannya dipandang liberal ia lebih nyaman untuk tinggal di
Belanda. Lihat Moch Nur Ichwan, Meretas Keserjanaan Keritis
Al-Qur’an : Teori Hermeneutika Nashir Abu Zayd, (Jakarta: Taraju,
2003), h. 15-16. Selanjutya lihat ; Nashir Hamid Abu Zaid, Mafhum
an-Nash Dirasat fi ‘Ulum al-Quran, (Beirut :Al–Markaz Ats-Tsaqafi
al -‘Arabi, 1998), h. 24.
[6]Luwis Ma’luf, al-Munjid ( Beirut: Mathba’at al-Kastulikiyyat, t.th) h. 256.
[7]Raghib al-Asfihani, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th. ), h.334.
[8]Muhammad Abd Azhim az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, ( t.tp : Isa al-Babi al-Halani, t.th ), h.72.
[9] Jalaluddin As-suyuthi, Op.Cit., h.ll6.
[10] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an : Ditinjau dari Aspek
Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, ( Mizan ; Jakarta,
1997), h. 36-37.
[11] I b i d., h. 37.
[12]Manna’ al-Qaththan, Op.Cit., h.379.
[13]Muhammad Ali-Ash-Shabuni, .At-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1390 ), h. 105.
[14] Pada setiap ada kematian di zaman jahiliyyah Khadijah pergi
menghadap berhala. kepada berhala ia menanyakan mengapa tidak
melimpahkan kasih sayang sehingga membuat diri Khadijah ditimpa
kemalangan dan kesedihan karena kematian anaknya. Rasa sedih demikian
dirasakan juga oleh Muhammad sebagai suaminya. Khadijah kemudian membuat
sesajen yang diberikan kepada berhala-berhala yang ada dalam ka’bah. Ia
juga menyembelih hewan buat Hubal, ‘Uzza dan Mannat. Ketiga berhala
tersebut merupakan sembahan arab Pagan. Hubal berhala terbesar yang
tinggal dalam kabah dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia. Lihat
Muhammad Husain Haekal, Fi manzil al-wahy (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1979.)
, h. 125: selanjtnya lihat Haekal, Hayat an-Nabi, alih bahasa Ali
Audah, ( Jakarta :Tinta Ma, 1984 ), h.82.
[15]I b id., h. 86.
[16] Nashir Hamid Abu Zaid, Op.Cit., h.59.
[17] Raghib Al-Ashfihani, Op.Cit., hal. 19.
[18] Nashir Hamid Abu Zaid, Loc.Cit.
[19]Quraish Shihab, Tafsir al-Amanah, ( t.tp ; Pustaka Kartini, i992), h. 17.
[20]Taufik Adnan Amal dan Syamsul Rizal Panggabean, Tafsir
Kontektual Al-Qur’an Sebuah Kerangka Konseptual, (Bandung ; Mizan,
1990), h.65.
[21] Fazlur Rahman, Islam Second Edition, (Chicago And London, ; Universit of Chicago Press, 1979), 13.
[22]Quraish Shihab, Op-Cit, h. 270
[23] Nurcholish Madjid, Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam sejarah, (Jakarta: Yayasan Paramadina , 1994 ), h. 525.
[24]Penyair dan ahli sastra dari seluruh Arabia diminta
mememenuhi tantangan untuk melawan keindahan bahasa al-Qur’an. Mereka
dijanjikan hadiah besar. Salah seorang dari mereka Al-Walid bin
Al-Mughirah. Ia mendengarkan al-Qur’an yang dibaca oleh Nabi dan ia
terpukau dengan bacaannya itu. Abu Jahal pemimpin Mekkah mendekatinya
untuk mengadakan perlawanan dan menjanjikan kekayaannya. Al-Walid
mendengar al-Qur’an itu lalu berkata; “Akulah ahli syair dan sastra
pertama di Arabia, dan aku berbicara dengan otoritas yang jelas.
Al-Qur’an ini bukan karya manusia, bukan pula karya jin. Al-Qur’an
memiliki keindahan yang istimewa dan nada yang istimewa. Al walid lalu
ditekan Abu Jahal sehingga ia berkata; al-Qur’an luar biasa, ia tetap
karya manusia, karya sihir bukan karya Tuhan, namun tak dapat ditiru
seperti yang dikatakan Nabi. Tidak puas dengan itu, para penyair pun
menantang lagi dengan membawakan karyanya lagi, namun dinyatakan gagal
tidak mampu lagi melawan keindahan bahasa al-Qur’an.. Lihat Ismail R.
Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam : Menjelajah Khazanah Peradaban Islam,
alih bahasa ; Ilyas Hasan, ( t.tp ; Mizan, 2001.), h.140-l4l.
[25] Abu bakar ‘Abd Allah ibn Abi Dawud, Kitab al-Mashahif, ( Kairo, :t.p. , 1936), h. 10.
[26] Ibnu hajar al-‘Asy qalani, Fath al-Bari (13 jilid), ( Kairo : t.p, 1939), jilid 9, h.11.
[27] I b i d., h. 9.
[28] I b i d. , h. 13.
[29] J. Wansbrough, Quranic Studies Sources and methods of
scriptural interpretation, ( London : Oxford University Press, ), h. 68.
[30] I b i d., h. 68.
[31] Fazlu Rahman, Mayor Themes of the Qur’an, ( Chicago & Minneapolis ; Bibliotheca Islamica , 198o), h.125.
[32]Franz Rosenthal mengemukakan bahwa meskipun kajian-kajian
penyudutan kepada Muhammad dan al-Qur’annya berhasil menemukan bukti
yang meyakinkan mengenai pengaruh asing terhadap formasi spiritual dan
intelektual Muhammad, namun upaya-upaya tersebut tidak mungkin
menjelaskan secara memuaskan keberhasilannya(Yakni Muhammad) dalam
menciptakan sesuatu dan mentransformasikannya dalam suatu kekuatan abadi
seluruh umat manusia. Kajian semavam ini hanya menyetuh kulit luar dan
tidak pernah mencapai intinya. Lihst pengsntsr F. Rosenthal dalam karya
C.C. Torrey, Jewish Foundation, h. Xvii.