Oleh : Prof Fauzul Iman
Suatu
hari Abu Nawas diundang sultan untuk mengikuti pertemuan di istana yang para
menterinya suka bermaksiat dan cenderung korup. Sebelum pertemuan laksanakan,
Abu Nawas dipanggil menghadap sultan. “Wahai Abu Nawas maukah kau aku beri
tugas?” tanya Sultan. Abu Nawas menyatakan kesediaannya. “Apa hukumannya kalau kau gagal dalam melaksanakan tugas?” desak
Sultan. “Aku siap dihukum 10 kali cambukan,” ujar Abu Nawas.
Sultan
pun memerintahkan para dayangnya untuk mempersiapkan pakaian ala kerajaan
kepada Abu Nawas. Pertemuan dilakukan esok harinya. Abu Nawas muncul di tengah
pertemuan dengan berpakaian ala kerajaan, kecuali pecinya yang kumal dan lusuh.
“Wahai Abu Nawas, mengapa di acara
terhormat seperti ini kau pakai peci kumal?” tegur Sultan. “Asal tahu saja Sultan, peci yang saya pakai
ini wasiat dari ayahku. Bagi siapa yang tidak pernah maksiat, ia akan mampu
membuka peci ini dan merasakan harumnya bau surga,” ujarnya. Raja pun
memerintahkan menteri di sebelah kanannya untuk membuka peci Abu Nawas.
Menteri
itu segera memenuhi perintah Sultan dan membukanya dengan perasaan gemetar. Tak
ada bau surga di dalam peci itu kecuali bau busuk yang menyengat. Tapi, menteri
menutupi kebohongannya dan berpura-pura di hadapan Sul tan. “Benar Tuan, bau surga di peci itu harum
sekali,” ujarnya. Sultan manggut-manggut percaya.
Tidak
cukup dengan pengakuan sang menteri ini, Sultan memerintahkan menteri yang
duduk di sebelah kiri untuk melakukan hal serupa. Ia juga tak mencium bau harum
surga, sebaliknya malah bau busuk yang menyengat. Tapi, ia juga berpura-pura
dan mengatakan bahwa baunya harum sekali. Sultan pun penasaran. Lalu ia
berusaha membuka peci Abu Nawas. Namun, tak lama setelah membukanya, Sultan
langsung melepaskannya. Ia marah kepada Abu Nawas dan kedua menterinya yang tak
jujur. Ia pun memerintahkan kedua menterinya itu dipecat. Abu Nawas, karena
berbohong, dihukum dengan 10 kali cambukan.
Kisah
di atas mempertontonkan dengan jelas bagaimana nasib nahas itu menimpa para
menteri yang suka berbohong, bermaksiat, dan menjilat atasan. Pemecatan itu pun
dinilai wajar. Karena diukur dari segi apa pun, tipe menteri penjilat merupakan
sosok yang bermental lemah (soft culture).
Mereka malas dan tidak akan mampu berpikir serius (high culture), apalagi berbuat untuk kemajuan negara dan rakyatnya.
Sikap
penjilat telah melunturkan idealisme, membunuh kreativitas, dan mematikan kerja
keras. Mereka tak mau pusing dan masa bodoh menyaksikan persoalan kenegaraan
yang menantang dan menuntut pemecahan. Bagi mereka, watak penjilat hanyalah
media hipokrit (kemunafikan) untuk mencari selamat dan menjunjung pimpinannya
agar senang. Sementara urusan negara dan rakyat tak dihiraukan, karena hati dan
telinganya telah disumbat oleh hawa nafsu, kesombongan, dan keserakahan. (QS [31]:
7).
Marilah
kita singkirkan watak penjilat ini. Jangan beri kemudahan untuk membuat
kerusakan dan menyebarkan fitnah dan kemunafikan. Sebab, hal ini akan membuat
rusak akhlak dan moral bangsa. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar