Oleh
Prof DR H Fauzul Iman MA
Di
era reformasi ini, bangsa Indonesia boleh berbangga karena telah banyak wanita
yang terlibat dalam tugas membangun bangsa. Di antara mereka ada yang menjadi
menteri, pengusaha, hakim, politisi, pengamat, dai, dan polisi. Keterlibatan
para wanita dalam suatu posisi ini, menurut ajaran agama, dipandang telah
menduduki posisi sebagai saksi di tengah umat/syuhada ala an-nas (QS 22:78).
Berdasarkan
ayat ini, baik laki-laki maupun wanita, diperkenankan untuk menjadi saksi
sebagai pemimpin dan penyeru yang benar dan adil guna memperbaiki kehidupan
umat. Raghib al-Ashfihani dalam bukunya Mu’jam Mufradat Alfadz al-Quran
menjelaskan pengertian saksi sebagai sosok yang hadir untuk menyaksikan
sesuatu, baik dengan penglihatan maupun dengan pemikiran cermat (benar). Ini
menunjukkan bahwa siapa saja yang menjadi saksi sebagai pemimpin, baik
laki-laki maupun wanita, harus memiliki pandangan tajam, pemikiran cermat
(cerdas), dan sikap yang jujur (adil). Sarat ini wajib dimilki oleh setiap
saksi karena ia harus melihat, menginformasikan, dan merubah ketimpangan yang
terjadi di lapangan dengan teliti, benar, dan jujur.
Lalu,
bagaimana dengan para wanita kita yang kini berada pada posisi penting?
Sudahkah mereka menunjukkan kesaksian sikap dan pandangannya dengan baik di
tengah masyarakat? Apakah kesaksian para wanita pada posisi strategis telah
benar-benar menjadi saksi untuk melakukan perubahan terhadap ketimpangan yang
terjadi di tengah masyarakat?
Dari
sisi kuantum kita bangga terhadap wanita kita yang berperan pada posisi
strategis telah bertambah dibanding dengan era sebelumnya. Akan tetapi, dari
sisi kualitas, akhir-akhir ini kita prihatin terhadap sebagian wanita yang
tidak lagi berdaya menunjukkan posisi strategisnya sebgai saksi umat yang
cermat, adil dan jujur. Para wanita yang diharapkan melakukan perubahan bangsa
dari segala krisis yang melanda malah kini mereka menjadi bagian yang membuat
krisis itu sendiri. Isu-isu yang tidak sedap kepada para wanita yang berposisi
penting berupa keterlibatannya pada kriminalitas korupsi telah mencoreng citra
wanita sebagai ibu pelembut kedamaian dan penjaga moral bangsa.
Para
wanita itu kini terseret ke sentrum perbincangan pejoratif yang ujung-ujungnya
mereka tertuduh memasuki ranah hukum peradilan. Padahal, posisi penting yang
diraihnya hasil perjuangan letih ketika mereka menuntut kuota wanita di lembaga
perwakilan rakyat. Bahkan, tidak jarang perdebatannya menyangkut gender telah
mengundang ketegangan yang meradang antara pemkir modern dengan pemikiri
fanatic. Setelah posisi kuota itu kini setengahnya direbut ternyata
dijungkirkan kembali secara sia-sia oleh segelintir wanita “penting” yang tidak
lagi berdaya meneguhkan kesaksian moralnya dengan jujur dan adil di tengah
bangsa.
Inikah
sebenarnya pertanda kelemahan wanita karena kodratnya yang cepat melimbung
dalam kepanikan. Lalu, ia begitu saja menyerah dan terpelanting pada situasi
terburuk sehingga harus berurusan dengan hukum demi mengejar kepuasan sesaat
yang menyilaukan. Inikah model wanita yang telah mencederai sederet perjuangan
panjang wanita Indonesia yang dengan darah dan keringatnya telah memperjuangkan
bangsa dari ketertindasan.
Para
Wanita yang diharapkan menjadi penyejuk laki-laki (suami) dan anak-anaknya kini
malah sebagian dari mereka berlomba dengan laki-laki melakukan kejahatan
korupsi bersama. Na'udzubillah. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar