Oleh : Prof. Dr. H. Fauzul Iman, M. A
Mengikiti
Studi Strategis Luar Negeri ke Jepang
(SSDN)yang dibidani oleh Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) beberpa minggu
yang lalu banyak menorehkan catatan pengalaman yang sangat berharga. Penulis
sebagai salah satu peserta dalam kegiatan tersebut ditugaskan untuk mencermati kehidupan
masyarakat jepang sehari hari dari sudut pandang etika.Tugas ini sangat berat
karena penulis harus menuangkannya dalam sebuah naskah ilmiah kurang lebih
sebanyak empat puluh halaman dengan metode
dan analisa penulisan yang teruji. Sementara waktu yang disediakan lemhannas
sangat terbatas dan menuntut untuk segera selesai tepat pada waktunya. Dengan
alasan ini, tentu saja penulis tidak bisa membeberkan seluruh tulisan dimaksud
dengan pembahsan yang lengkap apalagi di
sebuah surat habar yang notabenenya tersedia dengan setandar halaman terbatas.
Penulis
hanya ingin mengulas secara diskriptif bagaimana keunikan Negara Jepang menanamkan etika kedisiplinan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara dengan baik dan benar. Padahal
selama ini masyarakat Jepang tidak pernah mengenal agama, tidak dijumpai di
sana symbol-symbol atau sarana yang menunjukkan adanya kegiatan ibadah
keagamaan yang disediakan untuk mereka.. Dalam sejarahnya jepang memang dikenal
menganut agama Shinto, yaitu ajaran yang meyakini matahari sebagai penguasa
alam yang wajib disembah karena mampu memberikan hukuman dan kesalamatan. Namun
ajaran Shinto ini dipandang dapat membahayakan rakyat Jepang karena ajaranya
sangat ambisi mendorong peperangan dengan Negara-negara lain yang mengantarkan
keterlibatan Jepang pada perang dunia ke
II. Perang tersebut tidak hanya menghancurkan tatanan segala aspek kehidupan
bekas Negara jajahan, tetapi juga sangat merugikan Negara Jepang sendiri dari
banyaknya dendam dan kecaman bekas Negara jajahannya termasuk oleh dunia pada
umumnya.
Belajar
dari pengalaman ini, maka Jepang merubah strategi kebudayaannya , terutama
setelah era restorasi Meiji (1868-1912) dan Era Taisho (1912-1926) yang
melahirkan era modernisasi mulai tahun 1854. Strategi itu berbentuk penghapusan
ajaran agama Shinto yang beretoskan kekerasan hingga dari akarnya sampai meniadakan kurikulum agama dalam sistem
pendidikan Jepang. Seiring dengan itu di berbgai sekolah dan perguruan tingi
yang ada di jepang diberlakukan pengajaran etika yang meliputi etika disiplin
bekerja, berprilaku jujur, menghargai
dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan, menjaga lingkungan dan memelihara
kebersihan. Pendidikan etika ini ternyata efektif mewarnai keseharian kehidupan
bangsa Jepang tidak saja dalam level
kaum elite di pemerintahan tapi juga tumbuh di tengah-tengah kehidupan
masyarakat pada umumnya.
Dalam
level pemerintahan, misalnya, pengamalan
etika ditandai dengan integritas tinggi para pemimpin atau tokoh pemerintah
dalam menjalankan amanah pemerintahan. Budaya mengundurkan diri dari seorang pemimpin Jepang yang
dipandang sudah tidak mampu menjalankan amanah,
adalah bukti adanya rasa
tanggungjawab dan kepedulian seorang pemimpin dalam mengutamakan integritas dari pada ngotot
mempertahankan jabatannya yang sudah tidak efektif. Rendahnya prilaku korupsi para pejabat Jepang ditunjukkan dalam indek korupsi internasional dengan nomr
urut ke 164 menunjukkan tingginya integritas tersebut. Dibanding dengan prilaku korupsi Negara Indonesia yang jauh
lebih tinggi yaitu mencapai angka urut
ke 36. Disusul dengan negara-negara lain yang tingkat korupsinya paling rendah
yaitu negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Jerman dan lain-lain.
Pengamalan
etika yang paling menarik justru terjadi pada masyarakat jepang yang berlevel
status biasa. Suatu ketika penulis belanja di warung kecil yang secara
kebetulan kendaraan yang kami tumpangi berhenti di depan warung tersebut. Saya
berbelanja di warung itu dengan uang senilai sepeluh ribu yen. Dengan tidak
sadar penulis meninggalkan warung tanpa mengambil uang sisa karena harus
mengejar kegiatan lain. Setelah empat jam lebih saya kembali bersama rombongan
ke kendaraan, tiba-tiba sang pedagang
tadi mencari saya di kendaraan untuk menyerahkan uang sisa. Saya pun terkaget-kaget
pada pedagang tersebut dan berucap syukur alhmdulillah. Namun hati saya
berkata, “betapa jujurnya orang ini” . Supir yang kami tumpangi ternyata juga
memiliki etika yang baik. Ia seperti para supir lainnya mengemudi dengan cara
tertib dan mengindahkan tata kesopanan berlalu lintas tanpa harus kebut-kebutan
dan membunyikan kelakson dengan keras. Ia juga tidak membuang sampah di sembarang tempat tetapi
membuangnya di kantong sampah yang telah
disediakan. Rasa simpati penulis tumbuh untuk memberikan uang tambahan pada
supir semata-mata karena ia seorang supir yang jujur, kerja jeras dan disiplin.
Namun sang supir ternyata berkeras hati untuk menolak karena menurut pengakuannya sudah diberi upah oleh perusahaan traveling.
Pengalaman
lain yang tidak kalah menarik adalah menyaksikan
prilaku para polisi Jepang yang menjalankan tugasnya dengan tenang, jujur dan
tanggungjawab. Penulis menyaksikan sendiri bagaimana para polisi menangani kaum
demonstran dengan tenang dan penuh keramahan. Para demonstran pun menyikapi
polisi dengan tindakan yang elegan dan penuh kearifan dalam menyampaikan
aspirasinya di kantor Parlemen Jepang.
Cerita polisi jujur dijumpai pula pada saat teman kami kehilngan
tas yang berisi uang dan surat berharga. Teman kami melaporkan kejadian itu
kepada polisi Jepang dengan menjelaskan cirri-ciri sepesifik barang yang hilang
tersebut. Sungguh luar biasa dalam waktu yang cepat polisi bertindak hingga
hanya dalam batas dua hari barang yang hilang tersebut diantarkan oleh polisi
ke hotel tempat kami menginap dengan utuh dan lengkap tanpa satu pun yang raib.
Sebaliknya justru kami sangat kecewa terhadap staf KBRI di Jepang yang tidak
bekerja disiplin dalam memenuhi janjinya untuk membawakan buku agenda penulis
yang tertinggal saat berkunjung di
KBRI.
Gambaran
di atas mengisyaratkan bahwa meskipun masayarakat Jepang tidak menganut suatu
agama, namun mereka telah mengamalkan subtansi ajaran agama dengan baik dan benar.
Masyarakat jepang tidak butuh symbol yang dibungkus dengan ornamen-ornamen kemunafikan dalam mengamalkan ajaran. Mereka lebih
tertarik mengaplikasikannya ke dalam level bukti dan tatanan yang kongkrit. Tegasnya ajaran agama bagi masyarakat jepang
bukanlah kata pemukau dan propaganda yang menghipnotis umat manusia tanpa realitas
perbaikan (etika) individu, penyelesaian sosial dan penataan lingkungan. Jepang
menjadi dinamis dan maju SDM-nya bukan dengan agama yang mengawang-awang melainkan dengan pendidikan etika memberesi manusia dari kelumpuhan moral
dan menata lingkungan dari kekumuhan politik, social, ekonomi dan budaya.
Sungguh
ironis apa yang terjadi di Indonesia sebagai negara yang sebagian besar
penganut agama, namun pelanggaran moral dan hukum masih saja terjadi baik di
kalangan elite sendiri maupun di kalangan masyarakat biasa. Sejak dari budaya
pungli, suap, manipulasi, many politik, hingga KKN merupakan budaya yang
meremehkan etika secara kasat mata,
rupaya sukar dipadamkan dari bumi Indonesia. Timbul pertanyaan apakah agama
sudah tidak lagi relevan di negara kita?. Hemat penulis agama tetap berperan
sebagai lokomotif rohaniah yang menyadarkan mental manusia melakukan perbuatan
terpuji dan berkualitas. Namun, tentu terpulang pada manusia itu sendiri dalam
memperlakukan agama. Bila agama hanya sebagai penyedap dan kosmetik pengelabu
belaka tentu agama menjadi tidak efektif sebagai sumber inspirasi dan etika
kehidupan.
Oleh
karena itu, bangsa Indonesia perlu belajar dari komitmen dan keteguhan jepang
menerapkan pendidikan etika dalam kehidupan praktis. Meski tulisan ini hasil
rekaman selintas penulis selama perjalanan di Jepang, namun secara realitas
etika masyarakat (bangsa) Jepang memang terbukti dan teraplikasikan dalam kehidupan nyata.
Bagi masyarakat Banten yang terkenal
religius juga harus belajar dari kenyataan Jepang. Dalam hal ini, Masyarakat
Banten tidak boleh bangga dengan mengklaim sebagai kota santri yang paling
religius, sementara dari sudut pengamalan dan kekuatan SDM-nya masih limbung karena tercerabut dari akar
pendidikan etika yang benar.