Oleh : Nurul H MaARIF
Guru kita, Prof. Dr. H. Fauzul Iman, M.A., yang juga Direktur Pascasarjana IAIN SMH Banten, menulis artikel menarik di Radar Banten (Jumat, 25/11/2011), terutama bagi penggemar atau tepatnya pegiat studi al-Qur’an. Dengan judul sensasional, “Al-Quran Teks Manusiawi”, beliau hendak mengajak umat muslim untuk berinteraksi langsung dengan al-Quran. Siapapun dia.
Guru kita, Prof. Dr. H. Fauzul Iman, M.A., yang juga Direktur Pascasarjana IAIN SMH Banten, menulis artikel menarik di Radar Banten (Jumat, 25/11/2011), terutama bagi penggemar atau tepatnya pegiat studi al-Qur’an. Dengan judul sensasional, “Al-Quran Teks Manusiawi”, beliau hendak mengajak umat muslim untuk berinteraksi langsung dengan al-Quran. Siapapun dia.
Semangat interaksi langsung dengan al-Quran yang disampaikannya ini, barangkali identik dengan pengalaman Sir Muhammad Iqbal, yang mendapat wejangan dari ayahnya; “Bacalah al-Quran seakan ia hanya diturunkan untukmu.” (H.A. Mustofa, Filsafat Islam, 1997, h. 331). Hal sama diutarakan Ali bin Abi Thalib jauh hari sebelumnya. Dikatakannya: “Al-Quran adalah mushhaf yang tidak berbicara. Manusialah yang mengucapkannya.” (Nashr Hamid Abu Zayd, Teks, Otoritas, Kebenaran, 2003, h. 159). Tugas pembaca untuk membunyikannya, melalui penafsiran.
Tulisan guru kita yang menarik itu, hemat kami, perlu dicermati dalam beberapa seginya, sebagai silaturahim intelektual kami. Pertama, pemaknaan atas judul yang dipilih. Selintas membaca judul artikelnya, yang lantas terbersit dalam pikiran kami adalah al-Quran sebagai muntaj tsaqafi (produk budaya). Pemikiran “unik” yang ditelurkan Nashr Hamid (beliau tampak menyetujui beberapa pandangan Nashr, semisal akar kata quran dan “al-Quran sebagai produk budaya” yang disebut di bagian akhir tulisannya) ini, lantas memantik kontroversi berkepanjangan. Hatta, penggagasnya diusir dari negerinya, Mesir, dan selanjutnya menetap di Belanda, menjadi intelektual yang bebas. Karenanya, jika hanya membaca judul tulisan guru kita itu, bisa jadi kita akan salah menangkap maksudnya. Inilah pentingnya keterkaitan judul dan isi tulisan.
Kedua, korelasi judul dan pesan pokok artikel. Bagi kami, diksi yang beliau pilih untuk judul artikelnya, “al-Quran Teks Manusiawi”, sama sekali tidak menggambarkan pesan yang hendak disampaikan. “Teks manusiawi”, mengandaikan hubungan antara shifat dan maushuf (yang disifati). Bagi kami, “teks manusiawi” itu semakna dengan “teks atau tulisan yang bersifat manusia”, yang lebih menekankan sisi profanitas ketimbang skralitas. Itu sebabnya, dengan istilah “teks ma-nusiawi”, secara sadar atau tidak, al-Quran telah diturunkan derajatnya menjadi semacam teks karya manusia. Sekelas buku, daras, cerpen, opini atau sejenisnya.
Melihat isi pokok artikel beliau, tampaknya bukan pemaknaan demikian yang dimaksud. Yang ingin beliau sampaikan, adalah al-Quran itu teks yang diperuntukkan bagi manusia. Makanya, beliau menuliskan: “Tidak ada yang namanya Qur’an Allah, yang ada Qur’an untuk manusia. Tidak ada hukum Allah, yang ada adalah hukum untuk manusia.” Dengan demikian nyata, istilah “teks manusiawi”, sejatinya tidak sejalan dengan pesan yang disampaikan, karena yang diinginkan adalah “al-Quran sebagai teks untuk manusia” yang bisa ditafsirkan siapapun sesuai kadar intelektual dan kecenderungannya. Ini kian tergambar dari pernyataannya: “teks manusiawi, bukan teks untuk Allah.” Jika penafsiran kami tepat, maka sejatinya yang ingin beliau katakan adalah; al-Quran itu teks ilahi, namun untuk keperluan manusia.
Kami sendiri meyakini, terlepas dari perdebatan serius perihal posisi “teks al-Quran” apakah karya Allah, Muhammad, atau karya bersama Allah, Jibril dan Muhammad, al-Quran adalah teks ilahi yang sakral, yang ditransmisikan melalui Muhammad. Ia hanya menyampaikan, tanpa mereduksi atau mengorupsi lafal dan maknanya. Itulah sifat tabligh-nya. Itu sebabnya, dalam tulisan ini, kami menggunakan judul “al-Qur’an Teks Manusiawi?” (dengan tanda tanya), sebagai bentuk ketidaksepahaman kami atas judul yang dipilih guru kami itu. Bagi kami, al-Quran bukan teks manusiawi, melainkan teks ilahi untuk manusia.
Ketiga, al-Quran sebagai kitab bebas tafsir. Benar belaka, ayat-ayat al-Quran itu bebas tafsir, karena sifatnya yang terbuka. Tak bisa dielakkan, siapapun bisa memaknai ayat-ayat al-Qur’an sesuai kemapanan intelektualnya; yang tak jarang menghasilkan keragaman. Inilah kenyataan al-Qur’an sebagai mutiara, seperti diutarakan Abdullah al-Darraz. Kita bisa menemukan cahaya berbeda-beda, tergantung dari sisi mana menatapnya.
Kendati siapapun memiliki kebebasan menafsir al-Quran, namun efek produksi tafsirnya harus diperhatikan. al-Qur’an adalah kitab hudan (petunjuk, Qs. 2: 2), yang tidak etis jika ditafsir sembarangan, yang efeknya justru mengerdilkan kebesaran dan universalitas al-Quran. Itu sebabnya, kendatipun mengakui keterbukaan al-Quran, M. Quraish Shihab mewanti-wanti supaya penafsiran dilakukan “secara sadar dan penuh tanggung jawab.” (M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, 1998, h. 77).
Boleh saja memahami al-Quran menggunakan pendekatan modern yang canggih, semisal hermeneutika, nadhariyat al-hudud, dan sebagainya. Namun hendaknya, teori ini digunakan secara “sadar dan penuh tanggung jawab”, sehingga tafsiran yang dihasilkan tidak mengeliminasi al-Quran sebagai kitab hidayah. Ibarat pedang bermata dua, al-Quran bisa “laka” (menyelamatkanmu) atau “’alaika” (mencelakakanmu), tergantung siapa dan untuk apa menggunakannya.
Dengan alasan kebebasan menafsir ini, sayangnya, lantas muncul banyak penafsiran yang mengebiri kehudanan dan universalitas al-Quran. Diantara kasusnya, oleh kelompok politik tertentu (dan sangat mungkin juga oleh kelompok kepentingan lainnya), ayat-ayat tertentu dipelintir dan dipolitisasi untuk mendukung kelompoknya. Inilah yang oleh Azyumardi Azra disebut “abuse of quranic verses” (Abdullah Saaed, Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia, 2005, h. 193-207) dan oleh Stefan Wild disebut “political interpretation of the Qur’a’n” (Jane Dammen McAuliffe, the Cambridge Companion to the Qur’an, 2010, h. 273-289). Kami sendiri menyebutnya “politisasi al-Quran”.
Dengan demikian, kebebasan menafsir yang diinginkan Prof Fauzul Iman, hendaknya tetap mengedepankan nadhariyat al-hudud (tapal batas demarkasi). Kebebasan tidak bermakna semua orang tanpa tanggung jawab dan kemapanan berhak menafsirinya. Apalagi jika produk tafsirnya mencerabut al-Quran sebagai kitab petunjuk, dan mengebiri universalitasnya, dan lantas mempersempitnya untuk kepentingan pragmatis belaka. Inilah yang akan menjadikan al-Quran “’alaika” (mencelakakanmu), bukan “laka” (menyelamatkanmu). Wa Allah a’lam.
Nurul H MaARIF
Mahasiswa Program Doktor Kajian al-Quran SPs UIN Jakarta dan pengajar di Ponpes Qothrotul Falah Cikulur, Lebak, Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar