Oleh : Fauzul
Iman
I.
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang entitas dengan perbedaan baik
dari sisi agama, social, politik maupun kebudayaan. Sebagai negara kepulauan
yang besar dengan jumlah pulau sekitar 14.000 pulau, jumlah penduduk 237
juta lebih dan 300 suku dengan menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda,
Indonesia pada hakekatnya berpeluang besar untuk dapat membangun peradabannya[1]. Namun dengan entitasnya yang ragam tadi,
diakui atau tidak dapat menimbulkan masalah sosial yang melibatkan konflik
antar bangsa. Kasus kerusuhan yang merebak di berbagai daerah adalah salah satu
bukti efek dari keragaman tadi. Belum lagi kasus kriminal dan pelanggaran etika
yang melibatkan kaum elit seperti pelaku korupsi hingga kini masih menjadi
persoalan yang belum kunjung usai.
Kenyataan di atas
apapun kejadiannya merupakan dilema yang menuntut kearifan pemikiran dan
regulasi spiritual. Dalam kontek ini, regulasi spiritual sebenarnya telah
lama dimiliki Indonesia berupa common platform umat yang disebut dengan
pancasila. Regulasi spiritual ini hasil karya peradaban (hasil ijtihad) pemikir
bangsa yang subtansinya diinspirasi oleh ajaran agama[2]. Singkatnya ajaran agama-- melalui
pemikir bangsa-- telah meletakan fundamen kokoh bangsa (pancasila) untuk
mengelola kehidupan bermasyarakat dan bernegara tanpa melihat perbedaan suku,
status sosial, politik bahkan agama itu senidiri. Berdasarkan fundamen ini,
segenap bangsa berarti mendapat legalitas moral untuk hidup dalam perbedaan
sekaligus diberi kebebasan untuk membangun peradabannya. Peradaban yang
dimaksud di sini tentunya adalah berkaitan dengan kehidupan yang saling
menghargai, menegakkan toleransi dan demokrasi serta membangun ide keilmuan
dan aksi untuk kemajuan dan peradaban bersama (umat)[3].
Umat islam
Indonesia dengan mayoritas penduduknya menjadi strategis dan sekaligus
tantangan dalam menghadapi keanekaan bangsa (pluralitas). Strategis karena
dengan jumlah yang besar umat Islam dapat berperan menjadi pelopor penegakkan
peradaban. Adapun tantangannya adalah pluralitas dan taraf kesejahteraan di
tubuh umat Islam itu sendiri yang belum dapat dikelola dengan kualitas
SDM. Akibatnya setiap persoalan kebangsaan yang melibatkan konflik dari
perbedaan tidak dihadapi dengan kualitas keilmuan (scientific problem).Akan
tetapi kerap disikapi oleh sebagian umat dengan cara emosi yang dapat
menegangkan publik. Cara yang tidak intelektual ini berimplikasi kepada
munculnya tindakan sebagian umat Islam yang tidak berperadaban. Kasus
kekerasan yang bertypologi tawuran, demonstrasi liar, pengrusakan tempat
ibadah,political mob dan terorisme ala bom bunuh diri, jelas akan
merusak citra perbedaan untuk mewujudkan peradaban.
Makalah ini akan
mencoba menjawab dua permasalahan pokok bagaimana kondisi perbedaan dan pengelolaannya
di Indonesia saat ini, dan bagaimana perbedaan itu dapat mewujudkan peradaban
berdasarkan ukhuwwah Islamiyyah
II.
Kondisi Perbedaan di Indonesia dan
Pengelolaaannya saat ini
Tidak dapat
dipungkiri bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang telah berpengalaman
menghadapi perbedaan. Sejak era Orde baru perbedaan di antara
bangsa baik yang menyangkut perbedaan etnis, agama, politik, sosial,
ekonomi dapat diatasi oleh bangsa dan pemerintah. Persoalannya sejauh mana
pengeloalaan perbedaan itu efeknya dalam menjaga kelanjutan konsistensi
keharmonisan di antara sesama bangsa. Realitas yang terjadi justru konsistensi
tadi ternafikan oleh regulasi otoritas orde baru yang sangat represif . Tidak
sedikit regulasi (undang-undang) yang dibuat oleh negara dirasakan
rakyat sangat mengekang kebebasan untuk menikmati perbedaaan itu
sendiri. Pada akhirnya perbedaan bukan lagi dihargai oleh negara sebagai
entitas yang dihormati tetapi menjadi barang najis yang harus ditumpas dari bumi
Indonesia.[4]
Efek dari
tindakan negara yang tidak demokratis itu, rakyat semakin terdesak oleh super
power negara yang berakibat rakyat menderita karena terjadi penindasan. Tak
urung konflik horizontal pun muncul dengan amat mengerikan sehingga pada
akhirnya konflik itu mengarah ke pemerintah secara vertikal. Pada kondisi ini
tak pelak lagi, pemerintah Orde baru harus digulingkan dengan tuntutan
perlunya agenda reformasi dalam segala aspek kehidupan. Reformasi itu
disatu sisi menggembirakan rakyat karena negara bersedia menciptakan regulasi
yang adil, demokratis dan tidak diskriminatif. Melalui regulasi ini rakyat
diberi kebebasan menyampaikan aspirasi ke ruang public yang klimaknya negara
mengizinkan berdirinya partai-partai baru dan organisasi dari berbagai latar
belakang dan aliran. Bahkan negara pun dengan desakan rakyat dapat membentuk
Undang-Undang tentang otonomi daerah.
Namun regulasi
ini ternyata tidak mampu menghasilkan sebuah konsorsium pemerataan bagi
masyarakat Indonesia pada umumnya dan khususnya komunitas-komunitas minoritas.
Reformasi yang bergulir ternyata tidak memberikan solusi bagi konflik
yang terjadi di negeri ini. Sebagai contoh, konflik yang terjadi di hampir
seluruh wilayah Indonesia dimulai dari Aceh, Ambon, Kalimantan, Poso, Papua dan
baru-baru ini merembet ke wilayah Jawa Barat.[5] Konflik antar agama menjadi isu
terkini yang selalu actual ketika dibicarakan. Hal ini dikarenakan bahwa isu
sara menjadi seperti api dalam sekam yang menyimpan bara permusuhan dan
petikaian. Isu sara itu berpotensi membakar dan memunculkan pertikaian dan
pertentangan yang mengancam keutuhan umat berbangsa dan bernegara. Dalam
faktanya konflik yang terjadi tidak hanya antar umat beragama, namun juga
berkembang di tubuh umat Islam sendiri. Kita lihat konflik terjadi di
mana-mana, di Lombok jamaah Salafy yang diusir dari tempat tinggalnya, kemudian
Ahmadiyah juga menjadi sumber masalah di Lombok. Di Ambon pun letupan-letupan
konflik terus berlangsung dan terakhir peristiwa di Cikesik Pandeglang Banten
yang merupakan bentuk dari konflik intern umat Islam. Permasalahan yang muncul
memang konflik horizontal yang terjadi antara umat Islam yang telah mengarah
kepada bentuk anarkisme dan egoisme mayoritas, khususnya terhadap kasus-kasus
yang terjadi dengan komunitas minoritas. Bukanlah sikap yang arif ketika sebuah
perbedaan yang terjadi disikapi dengan anarkisme dan premanisme, apalagi sampai
memakan korban.
Boleh jadi
beberapa pihak akan mengklaim bahwa konflik yang terjadi di Indonesia terkait
erat dengan pihak ketiga yang memprovokasi. Namun tentu bukan sesuatu yang
elegan ketika konflik terjadi di wilayah sendiri kemudian menyalahkan pihak
lain[6]. Klaim ini bisa benar dan bisa salah,
namun yang lebih pasti adalah bahwa konflik tersebut dilakukan oleh masyarakat
Indonesia sendiri, sehingga diagnose yang efektif adalah pada masayarakat itu
sendiri. Lantas bagaimana pengelolaan konflik yang efektif agar seluruh lapisan
masyarakat merasakan kedamaian dan mendapatkan haknya masing-masing?
Sebelum
membahas bagaimana pengelolaan konflik yang efektif, terlebih dahulu kita flash
back sejenak ke akar permasalahan konflik tersebut. Bila kita telisik lebih
mendalam kita lihat akar permasalahan dalam setiap konflik yang ada adalah
kesenjangan yang terjadi di masyarakat. Kesenjangan yang dimaksud tidak hanya
dalam hal ekonomi, namun juga terkait erat dengan kesenjangan dalam bidang
sosial, kebudayaan dan agama.
Indonesia sebagai
sebuah negara besar sejatinya memiliki satu budaya yang bisa menjadikan solusi
bagi problema bangsa ini. Sikap masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi
rasa toleransi dan saling menghormati antara berbagai keyakinan dan kebudayaan
adalah kunci dalam menyelesaikan problem bangsa ini. Kearifan local (local
wisdom) yang tumbuh dan berkembang di seluruh ranah nusantara adalah warisan
leluhur yang harus senantiasa dilestarikan. Beberapa kearifan lokal yang dapat
menjadi pijakan dalam penyelesaian berbagai konflik tersebut adalah :
1.
Sikap Masyarakat Indonesia yang terbuka dengan
budaya lain
2.
Perilaku ramah dari masyarakat Indonesia
tercermin dari berbagai semboyan masyarakat adat yang terkristalisasi dalam
Bhineka Tunggal Ika
3.
Mayoritas masyarakat Indonesia yang muslim
juga memberikan sumbangsih perdamaian yang besar, misalnya bagaimana umat Islam
Indonesia menerima demokrasi sebagai bagian dari perpolitikan nasional.
Bangsa Indonesia
sedari dulu masyhur dengan sikap ramah tamah, sopan santun dan hidup dalam atmosphere
multikulturalisme. Tidaklah heran jika di negeri ini begitu banyak
berkembang jenis agama dan keyakinan. Semuanya diterima dengan suka cita oleh
bangsa ini. Mereka meyakini bahwa agama selalu mengajak kepada keadaan yang
lebih baik dan menjadikan para pemeluknya sebagai orang baik. Maka pengelolaan
perbedaan yang dapat ditawarkan di sini yang pertama adalah penggalian kembali
nilai-nilai kearifan local yang selama ini menjadi ciri khas dan perabadan
bangsa Indonesia. Bisa jadi selama ini kearifan tersebut telah tertutupi oleh
berbagai pemahaman yang kurang tepat dalam menafsirkan teks-teks suci agama.
Penggalian kearifan lokal sendiri meliputi berbagai bentuk penyadaran dan
rethinking mengenai kebudayaan Indonesia. Misalnya di bidang pendidikan
pemerintah saat ini tengah gencar-gencarnya mensosialisasikan model pendidikan
berkarakter.[7] Maksudnya di sini adalah pendidikan yang
berbasis karakter murni bangsa Indonesia yang penuh dengan keramahan, kedamaian
dan rasa saling menghormati. Kita tidak perlu silau dengan berbagai peradaban
luar yang tampak gemilang dan merasa apriori dengan budaya bangsa sendiri. Para
leluhur kita telah mencapai ke puncak peradaban, dan tugas kita untuk kembali
membangkitkannya lagi.
Solusi kedua yag
ditawarkan adalah dengan pendekatan ukhuwah Islamiyah dalam ruang
lingkup keislaman. Sebagaimana telah mafhum bahwa dalam Islam telah
diatur bagaimana pengelolaan perbedaan dalam rangka mewujudkan perdamaian
bersama. Dalam Islam diatur tidak hanya hubungan antara umat Islam, melainkan
juga hubungan dengan penganut agama lain dan bahkan seluruh makhluk yang ada[8]. Menyitir pendapat yang dikemukakan oleh
Quraisy Syihab bahwa seluruh makhluk yang ada di muka bumi adalah ciptaanNya
dan mereka adalah makhluk seperti manusia, karena itu perlakuan terhadap mereka
haruslah sama. Sama dalam artian berkeadilan dalam melakukan interaksi dengan
mereka, tidak saling menghina, mengintimidasi dan saling menjatuhkan.
Lantas timbul pertanyaan,
model ukhuwah Islamiah seperti apa yang dimaksud? Bila selama ini kita memahami
bahwa ukhuwah Islamiyah hanya sebatas hubungan internal antar umat Islam, maka
sudah saatnya kita meredefinisi istilah ini. Ukhuwah Islamiyah adalah sebuah
ikatan yang dianjurkan oleh Islam, tidak hanya intern antar sesama muslim namun
juga ekstern dengan seluruh umat manusia yang ada. Maka bisa dipahami bahwa
model ukhuwah Islamiyah yang dimaksud adalah bentuk dari ikatan yang menjadikan
setiap makhluk terikat dengan yang lainnya dalam bingkai ketuhanan[9]. Dalam hal ini redefinisi yang dimaksud
adalah ukhuwah Islamiyah sebagai persaudaraan tidak hanya dalam intern Islam
(sesama Muslim) akan tetapi juga persaudaraan dengan seluruh makhlukNya.
Pemahaman ini
bisa kita kaji lebih mendalam dari rangkaian kata “Ukhuwah Islamiyah”, kata
islamiyah yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai
adjektifa sehingga ukhuwah Islamiyah berarti persaudaraan yang bersifat Islami
atau yang diajarkan oleh Islam. Hal ini didasarkan pada dua alasan : Pertama
: Al-Qur’an dan Al-Hadits memperkenalkan bermacam-macam persaudaraan. Kedua:
Karena alasan kebahasaan yaitu dalam bahasa Arab kata sifat selalu harus
disesuaikan dengan yang disifatinya. Jika yang disifati berbentuk indefinitif
maupun feminism, kata sifatnya pun harus demikian dan hal ini terlihat jelas
dalam kalimat ukhuwah Islamiyah dan al-ukhuwah al-Islamiyah. Sebagai
bukti kedua alasan tersebut adalah firman Allah ta’ala dalam Al-Qur’an Surat
Al-A’raf : 65, Allah menyebutkan kaum ‘Ad yang durhaka kepada nabi mereka namun
dalam konteks ini mereka juga adalah akh (saudara). Demikian juga dalam
QS Shaad : 23 “Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing
betina, dan aku mempunyai seekor saja, maka dia berkata “Serahkan kambingmu itu
kepadaku” dan dia mengalahkan aku di dalam perdebatan. Maksudnya adalah
walaupun terjadi perselisihan di antara mereka namun tetaplah mereka saudara
dalam bingkai kemasyarakatan.
Karena itu
redefinisi dari kalimat ukhuwah Islamiyah seharusnya dimaknai dengan
persaudaraan yang diajarkan oleh Islam. Dan persaudaraan yang diajarkan oleh
Islam tersebut adalah persaudaraan antara sesama makhluk Tuhan. Dari sini dapat
dikembangkan bagaimana ukhuwah Islamiyyah dapat dijadikan acuan dalam merangkai
perdamaian bagi seluruh umat manusia. Dalam skala yang lebih regional bahwa
sudah seharusnya ukhuwah Islamiyah menjadi inspirasi bagi perdamaian di
Indonesia ini. Tentunya tidak hanya antara sesama umat Islam namun juga dengan
agama lainnya.[10]
Dua pendekatan
ini dapat diramu dalam sebuah wacana ukhuwah Islamiyyah yang dibangun
dari puzzle kearifan lokal yang ada di nusantara ini. Rancang bangun ukhuwah
Islamiyah berbingkai kearifan local sebenarnya bukanlah hal baru dalam
masayarakat Indonesia. Pada masyarakat di Papua Barat mereka memiliki satu
pepatah toleransi yaitu “Satu Tungku Tiga Batu” maksud dari pepatah ini adalah
bahwa kita adalah satu walaupun berbeda keyakinan. Dalam hal ini tentu saja
bukan untuk menyamakan seluruh agama, walaupun kita ketahui bahwa setiap agama
juga mengajarkan kebaikan kepada seluruh pengikutnya. Artinya bahwa walaupun
kita berbeda keyakinan, namun tidak menghalangi untuk selalu berbuat baik
kepada siapa saja yang ada di negeri ini karena mereka juga saudara kita dan
makhluk ciptaan Tuhan. Kearifan local dalam bentuk gotong-royong dalam
memabangun rumah seharusnya juga tetap dipertahankan, karena hal ini telah
dilakukan oleh masyarakat kita sejak dahulu kala tanpa melihat perbedaan suku
rasa dan agama. Model ukhuwah Islamiyyah berbasis kearifan local ini
menjadi mudah diimplementasikan karena walaupun secara teori adalah sesuatu
yang baru namun secara sosial kemasyarakatan telah dipraktekan dalam
keseharian masyarakat Indonesia.
Bagaimana dengan
di Jawa Barat dan khususnya di Banten? Maka secara historis pada umumnya
masyarakat Indonesia terbiasa dengan sikap hidup senasib dan sepenanggungan
maka demikian juga yang terjadi pada suku Sunda yang tinggal di tatar pasundan
ini. Lihatlah bagaimana nenek moyang kita bahu membahu dan saling menghormati
keyakinan masing-masing. Lihatlah suku Badui yang tetap harmonis dengan umat
Islam walaupun berbeda keyakinan. Demikian pula umat Islam menghormati penganut
agama lain dengan penuh kesadaran.
III.
Merayakan Perbedaan Untuk Peradaban
Bangsa Indonesia
adalah bangsa besar, mengutip pendapat Profesor Arisio Santos dari Brasil bahwa
bangsa Indonesia adalah pewaris dari Peradaban Atlantis yang menjadi sumber
bagi seluruh peradaban yang ada di dunia. Maka hipotesa Santos bukanlah omong
kosong, Indonesia dengan masyarakat yang plural telah sejak berabad lalu
memiliki kebudayaan yang menjujung tinggi asas perbedaan. Ketika saat ini
perbedaan sangat kentara pada setiap ruang public maka sudah seharusnya masyarakat
Indonesia kembali untuk melihat warisan adi luhung bangsa ini, khususnya
mengenai penerimaan terhadap segala bentuk pemahaman yang berbeda.
Kembali menengok
ukhuwah Islamiyah dalam bingkai kearifan local yang ada di Indonesia, ini
adalah solusi tepat bagi segala bentuk konflik dan perselisihan di negeri ini.
Banyak sekali kearifan local yang dapat menjadi pilar bagi ukhuwah Islamiiyah,
sebagai contoh, masyarakat di Papua Barat memiliki satu pepatah yaitu “Satu
Tungku Tiga Batu”, di Palembang terkenal dengan “Wong Kito Galo” semua kita
adalah saudara, pada suku Jawa dengan “Wonge Dewe” orang kita, pada suku Bangka
Belitung dengan sebutan “Sarumpun Sabalai”satu rumah, pepatah seperti ini
menyebar pada setiap suku bangsa yang ada di Indonesia[11]. Perlu diingat bahwa konteks dari
pepatah tersebut tidak membedakan apakah seseorang itu memiliki kesamaan agama
dan keyakinan karena dalam perkembangan yang mutakhir siapa saja yang menjadi
dari bagian suatu suku di Indonesia maka mereka semua adalah saudara. Dan
pepatah-pepatah ini pula yang menjadi dasar bagi munculnya semboyan Bhineka
Tunggal Ika.
Intinya adalah
bahwa masyarakat Indonesia telah terbiasa dalam kehidupan yang berdampingan
dengan komunitas lainnya, entah itu komunitas yang berbeda dari segi agama,
keyakinan, budaya dan sosial kemasyarakatnnya. Adanya suku bangsa di Indonesia
yang begitu banyak adalah bukti dari multikulturalisme yang ada di Indonesia.
Mereka hidup berdampingan dan berinteraksi antara satu suku dengan suku yang
lainnya. Dari sini tentunya kita telah melangkah lebih dulu dibanding barat
yang terseok-seok dalam mengenalkan multikulturalisme kepada warga dunia.
Dalam kaca mata
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, perbedaan adalah sebuah
keniscayaan. Allah ta’ala berfirman dalam QS Al-Hujuraat 13:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan kalian
dari seorang laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa) dan telah menjadikan
kalian bersuku-suku dan berbangsa agar kalian saling mengenal,
sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di
antara kalian”.
Kita sudah sering
membaca ayat ini namun, sering kali dilanggar. Dalam ayat ini jelas
sekali Allah ta’ala memberikan statement bahwa adanya perbedaan yang terjadi
adalah sesuatu yang harus dimaklumi, ia adalah sunatullah yang menjadi salah
satu bentuk kuasaNya. Perbedaan dalam kacamata Islam adalah sebuah anugerah
bukan musibah. Ia adalah anugerah yang diberikan kepada orang beriman agar
memahami apa tujuan dari banyaknya perbedaan yang terjadi. Akhir dari ayat ini
juga menyebutkan bahwa sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah
yang bertakwa. Namun apa ciri-ciri orang mulia tersebut? Jawabannya adalah
kalimat sebelumnya yaitu mereka yang dapat memahami (dalam makna yang luas
“merayakan”) perbedaan yang terjadi di masyarakat. Dalam ayat yang lainnya
Allah ta’ala berfirman :
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami
berikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan
kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu mengenai pemberianNya, maka
berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. QS Al-maidah : 48.
Dari sini seorang
muslim dapat memahami adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan
pandangan agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada di luar kehendak
Ilahi. Kalaupun nalarnya tidak memahami kenapa Tuhan berbuat demikian,
kenyataan yang diakui Tuhan itu tidak akan menggelisahkan atau mengantarkannya
“mati” atau memaksa orang lain secara halus maupun kasar agar menganut
pandangan agamnya. Sehingga sudah selayaknya seorang muslim memahami dan
mengamalkan bahwa perbedaan sekalipun dalam agama tidak menghalanginya untuk
berbuat baik. Inilah yang disebutkan Allah dalam firmanNya :
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik
dan berbuat adil (memberikan sebagian hartamu) kepada orang yang tidak
memerangi kamu karena agama, tidak pula mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. QS Al-Mumtahanah :
8.
Inilah spirit
Islam dalam menghargai sebuah perbedaan, ia adalah bentuk dari tasamuh (toleransi)
yang didasarkan pada nash-nash Ilahi. Sehingga sudah selayaknya setiap muslim
menerima perbedaan tersebut. Apalagi jika menyitir ucapan dari DR Yusuf
Al-Qaradhawi bahwa “Perbedaan di Antara Umatku adalah rahmat”. Jika perbedaan
yang ada dalam tubuh umat Islam adalah rahmat maka perbedaan yang ada di
masyarakat adalah sesuatu yang menjadi bukti dari Tuhan.
Marilah kita
kembali kepada ukhuwah Islamiyah dalam bingkai warisan budaya leluhur
bangsa ini, khususnya mengenai bagaimana kita bisa menyikapi perbedaan yang
ada. Perbedaan bukanlah sesuatu yang harus dihilangkan, akan tetapi perbedaan
adalah sesuatu yang harus dirayakan. Sebuah kebun tidak terasa indah jika hanya
memiliki satu jenis bunga, namun kebun itu akan sangat indah ketika terdiri
dari berbagai jenis bunga-bungaan, Wallahu a’lam.
IV.
Kesimpulan
Dari pembahasan
mengenai perbedaan dan konflik yang terjadi di masyarakat serta bagaimana
pengelolaannya serta bagaimana kita bisa merayakan perbedaan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa :
1.
Perbedaan yang terjadi di masyarakat telah
mengarah kepada konflik dan perselisihan yang mengkhawatirkan.
2.
Konflik yang terjadi tidak hanya terjadi antar
umat beragama namun juga terjadi pada intern umat Islam yang merupakan agama
mayoritas
3.
Pengelolaan yang efektif adalah dengan
menggunakan pendekatan Ukhuwah Islamiyah dengan bingkai kearifan lokal (local
wisdom)
4.
Ukhuwah Islamiyah bermakna persaudaraan
(ikatan) yang didasarkan pada nilai-nilai Islam yang tidak hanya berlaku bagi
umat Islam saja melainkan juga bagi umat agama lainnya
5.
Perbedaan adalah sunatullah yang secara
aplikatif telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari budaya bangsa Indonesia
sehingga perbedaan ini seharusnya bisa dirayakan untuk membangun sebuah
peradaban yang berperikemanusiaan
Daftar Bacaan :
M. Quraisy
Syihab, Wawasan Al-Quran : tafsir Maudhu’i Atas pelbagai Persoalan umat,Penerbit
Mizan : Bandung, cet. I tahun 1996
M. Ainul Yaqin, Pendidikan
Multikulturalisme, Penerbit Pilar Media : Jakarta, tahun 2005
Nurcholish Majid,
Islam : Kemodernan dan keindonesiaan, Penerbit Mizan : Bandung, tahun
2008
Amiur Nuruddin, Ijtihad
‘Umar bin Al-Khatab : Studi Tentang Perubahan Hukum Dalam Islam, Rajawali :
Jakarta, cet. I tahun 1991
Hendar Riyadi, Melampaui
Pluralisme, RMBook & PSAP : Jakarta, tt
Azumardi Azra, Pergolakan
Politik Islam : Dari Fundamentalisme, Modernisme dan Post-Modernisme,
Paramadina : Jakarta, Cet. I tahun 1996
Eko Prasetyo, Membela
Agama Tuhan : Potert Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik Global, Insist
Press : Jakarta, tahun 2002
Said Agil Siraj, Tasawuf
sebagai Kritik Sosial, Penerbit Mizan : Bandung, tahun 2006.
Alwi Syihab, Islam
Inklusif : Menuju Sikap terbuka dalam Agama, Penerbit Mizan : Bandung,
cet.V, tahun 1999
----------, Badan
Pusat Statistik, Statistik Indonesia : 2010
[1] Badan Pusat Statistik, 2010, Statistik Indonesia, hal. 8
[2] Nurcholish Majid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Hal.
50
[3] Alwi Syihab, Islam Inklusif, hal. 80
[4] Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, hal. 186
[5] Dalam hal ini konflik terjadi secara intern umat Islam dan
ekstern dengan umat lain
[6] Hendar Riyadi, Melampaui Pluralisme, hal. 122
[7] Ainul yaqin, Pendidikan Multi Kultural, hal. 176
[8] M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur’an, hal. 486
[9] M. Quraisy Syihab, Wawasan Al-Qur’an, hal. 489
[10] Nurcholish Majid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, hal.
128
[11] Lihat Jurnal Penamas, Agama dan Multikulturalisme