Oleh : Prof. Dr. Fauzul Iman
Guru besar IAIN se-Indonesia diberi kesempatan untuk berdialog dengan ulama dan pemikir di universitas terkemuka Mesir. Dari IAIN SMH Banten, yang berangkat adalah Prof Dr H Fauzul Iman, MA. Berikut laporannya setelah Fauzul tiba di Banten.
Di Universitas Al-Azhar kami berdialog dengan Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Prof Dr Abdullah al-Husaini Ahmad Hilal. Di antara poin menarik dari dialog itu ialah mengisahkan al-Azhar sebagai perguruan tinggi tertua yang berdiri melewati sejarah panjang dan berliku-liku.
Bermula al-Azhar berdiri dari masjid ke masjid dengan pengajian alakadarnya oleh ulama ke ulama secara turun-temurun. Dengan bekal keimanan dan ketulusan tanpa mengharap suatu materi, pengajian itu mendapatkan dukungan masyarakat luas hingga pada puncaknya mendapat perhatian khalifah al-Hakim bi Amrillah dari Dinasti Fathimiyah dengan bantuan dana wakaf. Lalu, diikuti oleh khalifah berikutnya serta dermawan setempat dan seluruh dunia Islam. Konon kabarnya, sampai saat ini, wakaf tersebut pernah mencapai sepertiga dari kekayaan Mesir.
Kini Universitas al-Azhar telah memilki mahasiswa 420.000 terdiri dari 160.000 mahasiswa asing serta 104 mahasiswa arab. Mereka masing- masing tersebar dalam enam puluh delapan fakultas dan enam fakultas cabang. Semua mahasiswa asing tersebut termasuk mahasiswa Indonesia yang belajar di al-Azhar dibebaskan dari biaya dan diberi bantuan dana setiap bulan masing-masing 160 pon (junaih). Bahkan mereka disediakan asrama (tempat menginap) yang bernama Madinat al-Bu’us al-Islamiyah. Seluruh bantuan pendidikan yang diberikan pada mahasiswa berasal dari dana wakaf yang terkumpul di Universitas Al-Azhar. Saya berani mengatakan Indonesia belum signifikan memberikan bantuan biaya kepada mahasiswa di Mesir kecuali hanya menfasilitasi melalui seleksi ujian.
Para alumninya sejak dahulu tersebar menjadi ulama, pemikir dan tokoh dunia. Bahkan dewasa ini tesebar di berbagai instansi baik di politik, hakim, jaksa, menteri serta ada di antaranya tokoh dunia dan pemikir-pemikir Islam liberal. Hal ini terjadi karena al- Azhar merupakan universitas terbuka yang menghargai toleransi dan mengajarkan kebebasan bermazhab. Tidak heran jika kini dunia telah mengenal pemikir-pemikir Islam liberal legendaris lulusan al-Azhar seperti Muhammad Abduh, Ali Abdurraziq, Toha Husain, Qasim Amin dan pemikir Islam tradisionalis tingkat dunia seperti antara lain Yusuf Qordowi. Bahkan saya dengar Syeikh Thantawi sebagai Grand Syekh al- Azhar pernah mewacanakan pemikiran liberalnya tentang bunga bank, bom bunuh diri, dan dukungan terhadap pemerintah Perancis yang melarang wanita memakai cadar penutup muka (niqab). Walaupun Grand Syekh mendapat kecaman dari para ulama setempat dan dunia Islam bahkan fatwa fatwanya dituduh sebagai pesanan dari Amerika, namun ia dan al-Azhar masih tetap bergulir dan eksis seperti sekarang.
Uraian sepintas ini memperlihatkan bagaimana Al-azhar hingga kini tidak pernah kedap menghadapi tantangan modern. Ia tetap unik dengan konsisten mempertahankan tradisinya di samping proyek modernisasi dan liberasinya. Terbukti walau dengan pemikiran liberasinya Thantawi, sebagai seorang Grand Syekh, Universitas Al-Azhar hingga kini tetap masih mandapat dukungan dan mengunduh dana wakaf dengan amat signifikan dari masyarakat. Keunikan lain adalah sikap guru besarnya baik yang mengabdi di al- Azhar maupun di luar al-Azhar telah menunjukkan sikap tawadu dan biasa-biasa saja bergaul dan berbaur. Saya menjumpai mereka naik angkot dan makan bersama mahasiswa di warung-warung makan yang berada di sekitar al-Azhar Kota Kairo. Para guru besarnya bersahaja namun juga diperkenankan mereka berbeda dan tidak setuju dengan tradisi pemikiran al-Azhar.
Ketika bekunjung ke Universitas Qanat Swes (Suez Canal) dan Universtitas Kairo. Saya berdialog dengan Prof Dr Abdurrahim al-Kurdi, Dekan Fakultas Bahasa Universitas Swez Canal dan Prof Dr Hasan Hanafi, Guru Besar Universitas Cairo. Kedua Guru Besar ini bersegmen sama dalam tradisi pemikiran keislaman. Mereka dalam beberapa hal tidak sejalan dengan tradisi pemikiran al-Azhar. “Saya alumni al-Azhar dididik dan dibesarkan ilmunya dari sana, tapi tidak berarti saya sejalan dengan semua stradisi pemikiran dan sistem pendidikan al-Azhar”, cetus Prof Dr Abdurrahmin al-Kurdi, ketika menjawab pertanyaan saya dalam dialog.
Sementara Hasan Hanafi, tokoh yang bukan alumni langsung al-Azhar tapi ia banyak menimba ilmu dari guru-gurunya di al-Azhar, adalah tokoh pemikir Islam liberal dunia yang bersahaja, hangat, senang bergurau dan akrab dalam berdialog. Hasan Hanafi memang terhitung pemikir Islam liberal di Mesir. Ia menggagas perlunya meninggalkan turas Islam yang tidak lagi sejalan dengan zaman. Turas masa lalu yang berorientasi pada klaim paling benar harus diubah dengan pikiran kontekstual yang tidak menggunakan kategori iman dan kafir. Kategori iman dan kafir akan mempersempit pergaulan ilmiah yang membuat umat Islam selalu berada pada peradaban terbelakang, kebodohan dan kemiskinan.
Hasan Hanafi, mendorong umat Islam berpikir demokratis, independen dan lintas kultural sehinga tidak terjebak pada perangkap sekte sempit. Namun, dalam membela akidah, Hasan Hanafi tidak kalah keras dengan Islam fundamentalis. Dalam dialognya, ia mengajak umat Islam dunia untuk menegakkan teologi tanah, yaitu teologi yang berprinsip bahwa tanah milik adalah anugerah Tuhan yang harus direbut secara revolusioner. Karena itu, Hasan Hanafi mengajak umat Islam merebut tanah umat di Palestina dari tangan orang-orang Yahudi/Israel dengan revolusionir dan perang.
Uraian sepintas ini menggambarkan bahwa sejak dahulu pertarungan pemikiran dialektis antara pemikiran liberal dengan tradisional di Universitas al-Azhar, Kairo, tampak berjalan inten dan terkadang menegangkan. (*)Menurut Ahmad Hilal, berdirinya Universitas al-Azhar tidak dapat dipisahkan dari perjuangan gigih Amru bin Ash ketika menguasai wilayah Mesir atas perintah Umar bin Khathab. Di sana Amru bin Ash mendirikan masjid dan membangun kota dengan nama Fushthat. Kemudian kekuasaan berpindah ke khilafah Abassiyyah yang mengubah nama kota menjadi al-Qatha.
Sementara Hasan Hanafi, tokoh yang bukan alumni langsung al-Azhar tapi ia banyak menimba ilmu dari guru-gurunya di al-Azhar, adalah tokoh pemikir Islam liberal dunia yang bersahaja, hangat, senang bergurau dan akrab dalam berdialog. Hasan Hanafi memang terhitung pemikir Islam liberal di Mesir. Ia menggagas perlunya meninggalkan turas Islam yang tidak lagi sejalan dengan zaman. Turas masa lalu yang berorientasi pada klaim paling benar harus diubah dengan pikiran kontekstual yang tidak menggunakan kategori iman dan kafir. Kategori iman dan kafir akan mempersempit pergaulan ilmiah yang membuat umat Islam selalu berada pada peradaban terbelakang, kebodohan dan kemiskinan.
Hasan Hanafi, mendorong umat Islam berpikir demokratis, independen dan lintas kultural sehinga tidak terjebak pada perangkap sekte sempit. Namun, dalam membela akidah, Hasan Hanafi tidak kalah keras dengan Islam fundamentalis. Dalam dialognya, ia mengajak umat Islam dunia untuk menegakkan teologi tanah, yaitu teologi yang berprinsip bahwa tanah milik adalah anugerah Tuhan yang harus direbut secara revolusioner. Karena itu, Hasan Hanafi mengajak umat Islam merebut tanah umat di Palestina dari tangan orang-orang Yahudi/Israel dengan revolusionir dan perang.
Uraian sepintas ini menggambarkan bahwa sejak dahulu pertarungan pemikiran dialektis antara pemikiran liberal dengan tradisional di Universitas al-Azhar, Kairo, tampak berjalan inten dan terkadang menegangkan. (*)Menurut Ahmad Hilal, berdirinya Universitas al-Azhar tidak dapat dipisahkan dari perjuangan gigih Amru bin Ash ketika menguasai wilayah Mesir atas perintah Umar bin Khathab. Di sana Amru bin Ash mendirikan masjid dan membangun kota dengan nama Fushthat. Kemudian kekuasaan berpindah ke khilafah Abassiyyah yang mengubah nama kota menjadi al-Qatha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar