Sabtu, 11 Februari 2012

Kisah Penolong Kucing


Oleh: Prof. Dr. H. Fauzul Iman MA

Sang sufi besar yang bernama Abu Bakar ai-Syibh konon setelah wafatnya hadir dalam mimpi temannya, berdialog dengan Allah SWT. Apa yang menyebabkan dosamu diampuni oleh Aku ?" Tanya Allah SWT pada Syibli. "Shalat tepat pada waktunya, jawab Syibli. Bukan," kata Allah SWT menimpali. Zakat, puasa, dan ha-jiku yang menyebabkan dosaku diampuni," lanjut Syibli. "Bukan juga. cetus Allah SWT. Syibli pun heran, "Kalau semua ibadah yang telah aku jalankan tidak menghapus dosaku. lalu apa yang telah Kau ridha. danku,* tanya Syibli penasaran. "Aku meridai dan mengampuni selu-ruh dosamu lantaran engkau telah menolong seekor kucing yang sedang kedinginan dan kelaparan."
Kisah di atas dimonumentalkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani, dalam kitab syarah Nashaih al-Ibad. Benar dan tidaknya kisah im dan sisi ilmiah bukan hal penting. Pelajaran dan kisah itulah sesungguhnya yang patut kita petik. Utamanya untuk menyikapi situasi kehidupan umat manusia yang semakin han dirasakan jauh dan rasa kasih dan kekeluargaan.
Di berbagai tempat kita miris dengan aneka perilaku yang tidak lagi mencintai bangsa dan aset negaranya sendiri sebagai anugerah Allah. Lihat saja kebrutalan dan kepanikan masyarakat sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Seakan masyarakat telah tercerabut dari tuntunan keadaban yang berakar dan nilai kemanusiaan dan moral agama. Dengan begitu, tanpa rasa kasih mereka nekat membunuh sesamanya dengan sadis. Tidakpeduli apakah yang dibunuh itu rakyatnya, atasannya, teman dekatnya, keluarganya, atau bahkan anak dan orang tuanya sendiri.
Mengapa kekerasan ini makin menjad4adi? Jawabannya berpulang kepada para komponen elite bangsa itu sendin dalam memberikan keteladanan kasih sayang kepada rak-yatnya. Apakah kaum elite yang mengatakan sudah menyuarakan rakyat dan keadilan telah dibuktikan untuk membela negara dan rakyatnya? Justru, rakyat kecil marah dan frustrasi karena kelompok elite tanpa sadar telah melakukan dosa. Berapa banyak peraturan yang mereka legitimasi akhirnya digerus oleh tangan besi yang berdarah kolusi. Harta rakyat disulap dengan cek pelawat demi kekuasaan sesaat. Rakyat menjadi malang karena diadang oleh berbagai kasus korupsi.
Oleh karena itu, kisah sufi di atas seharusnya menjadi ibrah (pelajaran) yang amat berharga bagi kita untukmembiasakan din menanamkan kasih sayang yang bermanfaat kepada siapa pun makhluk Allah SWT. Dengan ibadah simbolis saja yang kita lakukan tanpa diimbangi dengan amal kemanusiaan, tidaklah Tuhan akan mengampuni dan meridai.
Rasa kasih sang sufi di atas yang dicurahkan kepada seekor kucing mengetuk kita semua untuk berlaku sayang dan adil kepada apa pun dan siapa pun umat manusia tanpa diskriminasi. Rasa kasih sayang seperti inilah kelak akan mengantarkan bangsa (negeri) kita menjadi negeri yang kuat (tanpa konflik), selamat, aman, damai, maju, dan beradab. Semoga. Wallahu'alam

Senin, 06 Februari 2012

Pidato Pengukuhan Guru Besar Tafsir

Oleh : Prof. DR. H. Fauzul Iman, M.A.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Yang saya hormati Ibu Plt. Gubernur Propinsi Banten
Bapak Rektor dan Anggota Senat IAIN “SMH“ Banten
Bapak-bapak Rektor Pimpinan PTN dan PTS se Propinsi Banten
Bapak-bapak Pejabat Instansi di Propinsi Banten
Para Alim Ulama se Propinsi Bante
Para pimpinan organisasi sosial keagamaan di Propinsi Banten
Para dosen, guru, dan para kolega yang tidak mungkin saya sebutkan namanya satu persatu, dan para tamu undangan yang berbahagia.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah dilimpahkanNya kepada kita sekalian. Selanjutnya, dalam kesempatan ini izinkan kami untuk menyampaikan sebuah karya ilmiah sebagai salah satu bentuk rasa syukur atas pengangkatan saya sebagai Guru Besar Madya pada Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN "SMH" Banten dalam bidang Ilmu Tafsir. Pidato ini juga diharapkan menjadi bagian sumbangan pemikiran, meskipun sedikit.
Adapun judul yang telah saya pilih ialah: I’jaz al-Qur’an (Aspek Konsisi Nabi dan Tadwin). Untuk itu perkenankanlah berikut ini akan kami bacakan.

I. Pendahuluan.

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Ia merupakan kitab suci, pedoman seluruh ummat manusia di muka Bumi. Bagi ummat yang telah tercerahkan keimanannya meyakini al-Qur’an sebagai kitab lengkap yang tiada tandingannya dengan kitab atau buku (teks) lain. Para pengagum al-Qur’an baik dari Islam maupun dari Barat telah membuktikan kebanaran al-Qur’an sebagai wahyu (bukan ciptaan manusia). Al-Baqilani,[1] pengagum al-Qur’an, dari ahli Islam menilai al-Qur’an memiliki gaya bahasa khas yang dalam penataannya berbeda dengan bahasa yang biasa. Sementara William Muir[2] pengagum al-Qur’an dari ahli Barat menilai bahasa al-Qur’an mengandung komposisi bahasa asli yang tak pernah berubah dan ia benar-benar merupakan firman Tuhan.
Pujian para ahli terhadap al-Qur’an merupakan hal yang wajar karena berdasarkan sejarah kelahirannya, al-Qur’an telah berhasil menentang masyarakat Arab yang yang tidak mengenal perikemanusiaan tetapi sangat tinggi peradaban sastra bahasanya. Bangsa Arab, saat itu, dengan, kepiawaian bahasa sastranya mencoba menyaingi bahasa al-Qur’an melalui puisi-puisinya yang terkenal indah, namun bahasa mereka tidak sanggup mengungguli, dan tenggelam dalam keindahan bahasa al-Qur’an. Dalam kontek ini bahasa al-Qur’an berarti sebagai pihak pemenang melayani tantangan budaya bahasa Arab. Kemenangan, kekuatan, keistimewaan atau keunggulan al-Qur’an melayani tantangan yang membuat pihak penantang tak berkutik (lemah), dalam diskursus ilmu al-Qur’an disebut denagn I’jaz al-Qur’an.[3]
Selain para pengagum al-Qur’an dijumpai pula para pengeritik dan pemaki yang memandang al-Qur’an tidak lebih sebagai karya cipta Nabi Muhammad dan akal-akalan para pengkodifikasi al-Qur’an yang dipelopori oleh para sahabat Nabi. Dalam hal ini, misalnya, W. Montegomery Watt[4] menuduh Umar dan Hafsah bersekongkol memanipulasi bagian ayat ketika mengkodifikasi al-Quran. Tuduhan ini telah menciderai al-Quran dan dengan demikian berarti ia telah memandang al-Qur’an hanyalah kitab biasa dan sama sekali tidak mengandung I’ajaz (kemukjizatan). Di sisi lain adalah Nasir Hamid Abu Zaid, seorang pemikir Islam kontemporer, memandang al-Qur’an sebagai produk budaya (muntaj al-tsaqafi);[5] bahasa maupun kandungannya tidak lebih hanyalah hasil dialog dengan realitas budaya arab.
Gambaran di atas adalah secuil dari polarisasi pandangan mengenai al-Qur’an yang perkembangannya akan terus tumbuh sepanjang bumi ini belum runtuh. Sejak kelahirannya hingga sekarang, al-Qur’an memang tidak pernah hening dari pujian dan cacian. Inilah agaknya keunikan al-Qur’an sebagai kitab yang berasal dari kalam Allah yang selalu membuat cemburu para musuh Allah dan sekaligus membuat penasaran para pemikir yang ingin meneliti kandungannya.
Penulis sebagai bagian yang tidak termasuk memahami dan menguasai pengetahuan mengenai al-Qur’an secara luas, merasa tidak nyaman terhadap upaya-upaya yang menghilangkan unsur kemujizatan al-Qur’an. Oleh karena itu melalui Orasi Ilmih ini penulis dengan kemampuan yang ada berupaya mempertahankan citra kemukjizatan al-Qur’an dengan mencoba menuangkan-nya dalam sebuh judul: I’JAZ AL-QURAN (Aspek Kondisi Nabi dan Tadwin).

II. Pengertian dan Aspek I’ajaz al-Quran.
I’jaz berasal dari katai a’jaza ; a’jazahu, artinya ia membuat sesuatu menjadi tidak mampu baik secara sendiri maupun kolektif, sedangkan kata mu’jizat berarti sesuatu yang di luar kebiasaan yang membuat manusia lumpuh mengungkapkan hal yang semisalnya.[6] A’jaza juga berarti membuat orang menjadi tunduk; sesuatu yang datang kemudian menjadi lemah.[7] Az-Zarqani mendefinisikan mu’jizat sebagai suatu yang terjadi di luar kebiasaan manusia, tidak terikat oleh hukum sebab akibat. Muj’izat tersebut merupakan pemberian dari Allah SWT kepada Nabi sebagai bukti kebenaran risalah-Nya.[8]
Definisi di atas dapat disimpulkan bahwa mu’jizat ialah sesuatu yang berada di luar kebiasaan manusia atau mahluk lain (jin) yang tidak berdaya melakukannya. Mu’jizat merupakan pemberian Tuhan kepada Nabi-nabiNya berupa keistimewaan untuk membaktikan kebenaran risalah yang dibawanya serta untuk mematahkan argumentasi orang-orang kafir yang menentangnya.
Tujuan kemu’jizatan (I’jaz) al-Qur’an adalah untuk memperkokoh keyakinan manusia atas kebenaran Rasul dan al-Qur’an. Sasaran mu’jizat al-Qur’an adalah nonmuslim yang berusaha mengingkari kebenarannya. Orang-orang nonmuslim (kafir) diberi kesempatan untuk mengkaji al-Qur’an. Bagi mereka yang meneliti al-Qur’an – apa pun alasanya—bisa saja akan memperoleh hidayah sehingga hatinya ditaklukkan menerima dan meyakini kebenaran wahyu Allah. Namun tidak sedikit pula dari mereka yang tidak mendapat petunjuk sehingga penelitian yang dilakukannya hanya menghasilkan cemoohan (penghujatan) terhadap kandungan al-Qur’an.
Dilihat dari jenisnya, sebagaimana dikemukakan As-Suyuthi[9], kemukjijatan (I’jaj) al-Qur’an terdapat dua jenis. Pertama, jenis mukjizat yang bersifat material (hissiyat). Kedua jenis mukjizat yang bersifat immaterial (aqliyyat). Jenis pertama merupakan mukjijat yang langsung ditampilkan di hadapan para penantang. Mukjizat tersebut dapat dirasakan dan disaksikan secara inderawi oleh mereka. Sebagai contoh adalah ditunjukkannya wujud ular yang berasal dari tongkat Nabi Musa kepada masyarakat tempat Nabi menyampaikan risalahnya; perahu Nabi Nuh yang dibuat Allah untuk menghadapi dan melawan dahsyatnya gelombang lautan; Mukjizat Nabi Saleh berupa batu karang yang berubah menjadi seekor unta ditunjukkan kepada kaum Tsamud yang terkenal ahli di bidang memahat dan melukis sampai pada relief–relief indah; dan mukjizat Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati atas izin Allah.
Kesemua contoh kemukjijatan tersebut peristiwanya dibatasi hanya pada lokasi dan lingkungan para Nabi dimaksud dan berakhir sampai mereka wafat. Lokus kemukjizatan yang demikian, tampaknya sengaja ditetapkan Allah SWT karena yang dihadapinya sebagian besar merupakan masyarakat yang tingkat pemahaman (pemikirannya) masih rendah. Namun tingkat keterampilannya cukup menantang para Nabi untuk menandinginya dengan mukjizat. Misalnya di zaman Nabi Saleh masyarakat atau lokus yang dihadapinya adalah para ahli yang sangat mahir membuat relief.
Berbeda dengan mukjizat Nabi SAW yang sifatnya aqliyyat bukan materi dan inderawi tapi dijangkau oleh pemikiran akal. Cakupan sasarannya tidak dibatasi oleh ruang atau masa tertentu. Mukjizat demikian tidak lain adalah Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Saw yang subtansinya dapat dijangkau oleh manusia yang menggunakan penalaran akal. Menufrut Quraish Shihab, perbedaan mukjizat al-Qur’an dengan Mukjizat para nabi pendahulunya disebabkan dua hal pokok[10]
Pertama, Misi risalah para nabi sebelum Nabi Muhammad terbatas kepada masyarakat dan masa tertentu. Batasan ini yang menyebabkan mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan masyarakat tertentu., tidak untuk masyarakat sesudahnya.
Kedua, perkembangan pemikiran manusia seperti digambarkan Auguste Comte (1798-1857) mengalami beberapa tahap. Sebagai berikut;
Tahap pertama merupakan fase keyakinan umat manusia terhadap agama yang semata didasarkan oleh keterbatasan ilmu pengetahuan. Fase ini mendorong manusia menggantungkan kepada kekuatan tuhan atau dewa dalam setiap menafsirkan (memahami) fenomena yang terjadi.
Tahap kedua merupakan fase bagi manusia mengembalikan penafsiran gejala alam kepada landasan atau prinsip yang menjadi sumber awal atau dasarnya. Semua yang ada di bumi ini ada awalnya. Manusia, binatang, pohon dan lain-lain pasti ada awalnya. Faham pemikiran ini dikenal dengan fase pemikiran metafisika.
Tahap ketiga adalah fase manusia menggunakan nalarnya secara teliti dalam menafsirkan fenomena yang ada, yaitu berdasarkan pengamatan teliti dan ekperimen hingga memperoleh hukum-hukum sunatullah yang mengatur fenomena. Fase ini disebut degan fase pemikiran ilmiah.
Fase perkembangan pemikiran manusia di atas, apabila dikaitkan dengan peristiwa kemukjizatan, menurut Quraish Shihab--sesuai dengan tingkat pemikirannya---peristiwa kemukjizatan itu harus lansung dibuktikan dengan jelas dan terjangkau oleh indera umat para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Dalam perjanjian Baru Isa berkata; “jika kamu tidak melihat tanda dan mukjizat, maka kamu tidak akan percaya ( Yahya, IV : 48). Pada saat lain ia bersabda, “jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapak-Ku, janganlah percaya kepada-Ku” (Yahya X : 37)[11]
Setelah kondisi pemikiran manusia meningkat pada tahap kematangan berfikir. bukti indrawi itu tidak lagi dibutuhkan sehingga ketika Nabi Muhammad SAW diminta bukti yang sama, mereka tidak percaya. Oleh karena itu Nabi SAW diperintahkan oleh Allah untuk menjawab :
“Katakanlah: "Maha Suci Tuhanku, bukankah Aku Ini Hanya seorang manusia yang menjadi rasul" ( surat al-Isra ayat 93)

Adapun mengenai aspek-aspek kemukjizatan al-Qur’an, para ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat mukjizat al-Qur’an meliputi segi balaghahnya yang adalah kandungan badi’nya yang sangat unik dan tidak sama dengan apa yang telah popular dalam perkataan arab.[12]
Ash-Shabuni dalam kitabnya menjelaskan aspek aspek kemukjizatan al-Qur’an mencakup pada hal-hal, yaitu berupa susunannya yang indah, uslubnya yang unik, bentuk undang-undangnya detail dan sempurna, menggambarkan hal-hal yang ghaib, tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, menepati janji yang diinformasikan al-Qur’an dan memikat hati (memberi pengaruh) kepada para pengikut dan musuhnya.[13]
Dikaitkan dengan judul orasi ilmiah tentang aspek kemukjizatan al-Qur’an (aspek kondisi nabi dan tadwin) yang akan penulis sampaikan, tampaknya tidak kelihatan pada penjelasan aspek kemukjizatan yang baru saja digambarkan di atas. Secara sepintas memang demikian, akan tetapi berdasarkan temuan penulis membuktikan bahwa kondisi Nabi yang ummi dapat menunjukkan adanya korelasi kemukjizatan al-Qur’an. Demikian juga menyangkut keterjagaan dan keotentikan al-Qur’an sejak awal dimulainya proses kodifikasi hingga di zaman ini—dengan segala tantangannya—juga telah menunjukkan kemukjizatannya. Untuk membuktikan adanya temuan tersebut berikut ini penulis berupaya membahasnya.

III. I’jaz al-Qur’an dari Aspek Kondisi Nabi
1. Nabi yang Ummi
Nabi Muhammad SAW. dilahirkan di Kota Mekkah yang masyarakatnya belum mengenal peradaban (Jahiliyyah). Tradisi yang dianut oleh masyarakat Mekkah pada saat itu adalah system keyakinan yang sangat kuat menyembah berhala. Disamping itu, adalah struktur sosial masyarakat yang didominasi oleh para suku yang menyukai konflik. Belum lagi prilaku moral masyarakat-nya dikenal saling bunuh, suka berzina dan senang minuman keras. Di tengah kondisi masyarakat demikian Muhammad kecil tampaknya hanya menyaksikan saja, tetapi ketika menginjak dewasa ia mencoba ingin melakukan perbaikan. Namun upaya itu pun terganjal oleh toko-tokoh jahiliyyah yang notabenenya pamannya sendiri yaitu Abu Jahal dan Abu Lahab. Bahkan dalam suatu riwayat sejarah istrinya pun, Siti Khadijah, masih menganut kepercayaan paganism (penyembah berhala).[14]
Abu Jahal dan Abu Lahab maupun tokoh-tokoh lain yang menyertainya memang tidak bisa ditentang oleh Nabi Muhammad. Mereka adalah komunitas yang taraf hidup dan posisinya berada dalan tatanan penguasa dan kebangsawanan (domain culture), sedangkan Muhammad berada dalam tatanan rakyat jelata (subordinate culture). Dalam situasi tidak berdaya, Muhammad selalu mengalami kegelisahan sehingga suara moralnya bertambah untuk melakukan perenungan kontemplatif di Gua Hira. Sejarah mengungkapkan hampir setiap bulan Ramadhan Muhammad mengunjungi Gua Hira.[15].
Dalam kesempatan sekian kalinya di Gua Hira, Muhammad kemudian mendapatkan wahyu dari Allah SWT yang diturunkan melalui Malaikat Jibril. Dalam riwayat digambarkan Malaikat Jibril datang secara tiba-tiba mendesak muhammad untuk membacakan ayat al-Quran, “bacalah hai Muhammad” ! Muhammad menjwab, “ma ana bi qari”. Perintah itu diulanginya dengan memaksa, Muhammad hanya bisa gemetar dan takut seraya menjawab, “ma ana bi qari”. Baru setelah ketiga kalinya Muhammad dapat membaca , “iqra bismi rabik” dan seterusnya.
Dari proses turunnya wahyu di atas ada dua hal yang perlu dianalisa yaitu, pertama, bahwa menjelang turunnya wahyu Muhammad berada dalam kondisi tidak tenang karena menghadapi masyarakat yang tidak jelas memegang prinsip ajaran. Kedua, jawaban yang diberikan dengan menggunakan kata ma ana bi qari mengindikasikan bahwa Muhammad adalah ummi dalam arti tidak mampu membaca. Ketiga adalah menunjukkan kemampuannya dengan membaca ayat Iqra bismi rabbik.
Sarjana Barat pada umumnya tidak melihat kondisi Nabi Muhammad di atas dalam menilai adanya kemukjizatan al-Quran. Sehingga mereka acap kali meragukan al-Qur’an sebagai kalam Allah. Mereka memandang bahwa Muhammadlah yang sebenarnya menyusun dan membuat al-Quran. Bahkan Nasir Hamid,[16] pemikir Islam kontemporer yang kini tinggal di Belanda dalam karya monumentalnya menyatakan bahwa Muhammad sebagai penerima pertama sekaligus sebagai penyampai teks adalah bagian dari realitas masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari masyarakatnya.
Penulis tidak sepakat dengan pernyatan ini karena sebagaimana pandangan Barat ia ingin menggeser makna ummi yang melekat pada Muhammad ke dalam Muhammad yang berbudaya dan cerdas sebelum menerima wahyu. Padahal kata ummi sebagai dikemukakan Raghif al-Asfihani adalah orang yang tidak mampu menulis dan membaca.[17] Nashir Hamid selanjutnya menyatakan bahwa Muhammad tumbuh dan berkembang di Mekkah sebagai anak yatim dididik dalam suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan badui. Dengan demikian, kata Nashir Hamid, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak membicarakannya sebagai menerima pasif wahyu- Akan tetapi membicarakan Muhammad sebagai seorang manusia yang dalam dirinya terdapat harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya, Muhammad adalah bagian dari sosial budaya dan sejarah masyarakatnya.[18]
Dengan pemahaman seperti itu, jelas bahwa Nabi Muhammad SAW. diposisikan sebagai semacam “pengarang” al-Qur’an. Nabi Muhammad sebagai seorang ummi bukanlah penerima pasif wahyu tetapi juga mengolah redaksi al-Qur’an sesuai dengan kondisinya sebagaimana manusia biasa. Konsep yang menyatakan bahwa teks al-Qur’an spirit wahyu dari Tuhan sama halnya dengan konsep teks Bible, bahwa The whole Bible is given by inspiration of God. Keseluruhan kandungan dan teks Bible diwujudkan atas kerjasama Nabi dengan Tuhan. Pandangan ini pada akhirnya memandang agama Islam sebagai agama buatan Muhammad.
Pemikiran ini, sekali lagi, penulis tidak sependapat karena fenomena sifat ummi yang melekat pada Nabi Muhammad, sangat jelas ditampakkan pada kejadian tak berdayanya ia menjawab desakaan jibril untuk membacakan ayat al-Qur’an di awal permukaan desakannya. Pendapat Nashir yang tanpa melihat fenomena keummian Nabi adalah jelas telah melucuti unsur i’jaz (kemukjizatan) al-Qur’an.
Surat al-‘Alaq yang diturunkan kepada muhamad di satu sisi menyiratkan adanya pristiwa ketidakmampuan nabi membaca (ummi), dan adanya pencerahan kepada Nabi Muhammad di sisi lain. Untuk mendukung secara tegas sifat keummian nabi---selain dari yang tersirat pada pristiwa turunnya al-Qur’an—dapat dilihat dalam surat al-A’raf ayat 157 ;

“(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.”

Ayat di atas menjelaskan kepada Musa tentang akan adanya Nabi yang ummi—sebagai yang telah tertulis dalam kitab Taurat dan Injil.----yang akan bertugas menegakkan amar ma’ruf. Adanya Nabi Ummi yang dikaitkan dengan Kitab Taurat dan Injil dalam ayat tersebut, semakin memperkuat kemukjizatan al-Qur’an dalam menangkal tuduhan kepada Nabi SAW sebagai penjiplak kitab suci dari Taurat dan Injil. Bahasa al-Qur’an yang redaksi dan isinya sangat mengagumkan dan mengungkap banyak hal yang tidak dikenal pada masanya, mustahil dapat dijiplak oleh seorang Nabi yang ummi.
Inilah yang tidak dipahami para pemaki al-Qur’an, terutama para sarjana Barat dan pemikir sekuler, yang terus menerus mengecam orisinilitas al-Qur’an. Mengapa mereka lebih bersemangat meneliti teks al-Quran secara parsial tetapi tidak mampu menelusuri kebenaran Nabi Ummi yang juga terdiktum dalam teks. Padahal kegelisahan Nabi menjelang turunnya wahyu yang tidak mampu memahami kondisi masyakat----termasuk memahami Khadijah sebagai istrinya---yang selalu menyembah berhala, merupakan bukti empiris keawaman Nabi (ummi). Dalam surat al-Ankabut ayat 48 semakin dipertegas kebenaran sifat ummi Nabi.

“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; Andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu) :

Tentu saja sifat ummi nabi ini tidak terjadi lagi setelah mendapat kan wahyu dari Allah SWT. Turunnya surat al-‘Alaq pada Muhammad teleh membentuk keperibadiannya menjadi lebih mantap dalam keimanan dan menjadi luas dalam berwawasan (berilmu pengetahuan). Dengan kata lain Nabi Muhammad SAW. telah memperoleh pendidikan dari Allah SWT dalam melintasi alam keilmuan mikro maupun makro. Kata rabb dalam surat al-‘Alaq yang berarti tuhan berasal dari kata rabba yang mengandung mekna pendidikan secera evolutif. ; sejak merawat, tumbuh lalu berkembang hingga menjadi insan cerdas dan berbudaya.
Quraish Shihab[19] dalam tafsirnya menjelaskan adanya kata rabb dalam bismi rabbik surat al-‘Alaq bukan kata Allah, untuk membedakan dari pikiran masyarakat jahiliyah (kaum musyrik) yang memandang Allah nemiliki anak-anak wanita, Allah tidak bisa mereka hubungi karena demikian tinggi-Nya sehingga para malaikat dan berhala-berhala perlu disembah sebagai perantara mereka dengan Allah. yang punya anak dan menerima sesajen. Dengan demikian kata rabb dalam mata pandangan jahiliyah merupakan fenomena yang berbeda. Bahkan rabb dipahami mereka sebagai tuan-tuan yang mulia yang umumnya disematkan kepada tokoh-tokoh jahilyah yang dipandang terhormat dan mulia. Tokoh-tokoh seperti Abu Jahal, Walid al-Mughirah dan lain lain adalah tokoh yang banyak hartanya karena itu dipandang mulia oleh kaum jahiliyah.[20]
Oleh karena itu, dalam ayat berikutnya surat al-‘Alaq dijumpai kata Rabbuk al-Akram (dalam bentuk superlatif) yang berartiTuhan Paling Mulia, bukan tuhan dalam arti tuannya kaum musyrik yang hanya mulia dengan tidak menggunakan bentuk kata superlative. Dengan demikian Tuhan Nabi adalah Allah yang Paling Mulia yang Maha Kasih, Maha Pendidik dan Maha Pencerah. Tuhan Nabi adalah Allah SWT yang mencerahkan Nabi SAW dari ummi ke dalam keperibadi-an yang cerdas yang mampu menangkap dan memahami lebih mendalam realitas, struktur maupun stratafikisasi social masyarakatnya. Dibanding ketika belum turunnya wahyu, Nabi masih dalam keadaan gelisah pulang pergi ke Gua Hira dan bertanya-tanya dalam memahami kondisi masyarakatnya yang senantiasa terjelembab menyembah dan percaya kepada benda-benda tak berdaya. Seperti kepada berhala dengan menaburkan sesajen.
Dalam kondisi Nabi SAW. yang sudah cerdas karena memperoleh pendidikan dari mukjizat al-Qur’an, maka Allah SWT mengutus Nabi menjadi Rasul untuk betugas mencerahkan dan mengajar di tengah-tengah masyarakat yang ummi (terbelakang), sebagaimana termuat dalam surat al-Jum’ah ayat ayat 2

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.

Ayat ini mengisyaratkan bahwa Muhammad memang sudah cerdas karena kalau Nabi masih ummi tidak mungkin ditugaskan di tengah-tengah masyarakat yang juga ummi. Bagaimna mungkin yang ummi harus mencerdaskan yang ummi. Rasanya mustahil jeruk bertemu jeruk yang sama-sama kecut kecuali yang satu manis diperas dan dimasukkan ke dalam yang kecut baru jeruk yang kecut akan bisa menjadi manis.
Lalu timbul pertanyaan apakah Nabi yang sudah menjadi jeruk manis, dalam arti sudah cerdas dengan pikiran-pikiran manisnya kemudian berdasarkan nafsunya menciptakan ayat-ayat al-Quran dengan licik? Atau sebagaimana sering dituduh kaum kafir arab waktu itu dan sarjana-sarajana barat selama ini, bahwa nabi adalah propaganda yang pandai menyihir atau meramal segala hal yang membuat masyakat terhipnotis oleh ajarannya?
Tuduhan-tuduhan yang demikian adalah juga mustahil bagi Nabi yang sudah mendapatkan mukjizat al-Qur’an melakukan tindakan sesat yang menodai Kemahagungan Allah SWT. Dengan akhlak al-Qur’an yang juga merupakan mukjizat terbesarnya, tidak mungkin bagi Nabi membuat ayat-ayat al-Qur’an baru yang bukan berasal dari wahyu. Taruhan hukumannya sangat beresiko bagi Nabi seandainya ia membikin-bikin ayat al-Qur’an yang bukan dari Allah sebagai pendidiknya. Al-Qur’an selalu mengontrol Nabi dan dengan tegas mengancamnya, akan memotong urat tali jantungnya seandainya ia melakukan hal tersebut. Firman Allah SWT surat al-Haaqqah ayat 44-46.
öqs9ur tA§qs)s? $oYø‹n=tã uÙ÷èt/ È@ƒÍr$s%F{$# ÇÍÍÈ $tRõ‹s{V{ çm÷ZÏB ÈûüÏJu‹ø9$$Î/ ÇÍÎÈ §NèO $uZ÷èsÜs)s9 çm÷ZÏB tûüÏ?uqø9$# ÇÍÏÈ
“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) kami, Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar kami potong urat tali jantungnya”.

Inilah yang membuat Fazlurrahman, pemikir kontemporer Islam, merasa terheran-heran mengapa banyak orang tidak memahami kondisi Nabi yang ummi dengan mukjizat al-Qur’an. Orang orang kafir dan para sarjana Barat selama ini, kata Fazlurrahman, masih memandang Nabi dan mukjizat al-Qur’an berdasarkan penelitian kulitnya saja, tidak menelusuri lebih jauh ke dalam akar-akarnya. Terutama mendalami akar-akar kekokohan ayat al-Qur’an yang satu sama lain saling memperkuat dan memagari. Adalah tidak logis, dangkal, dan pencemburu maniak, demikian Fazlurrahman, jika tuduhan gila, ayan dan tukang ramal yang dilemparkan kafir arab (termasuk sarjana barat zaman ini) kepada Nabi SAW. terjadi setelah al-Qur’an menampakkan gaungnya.[21]
Hemat penulis kemukjizatan al-Qur’an dari aspek kondisi Nabi yang Ummi merupakan rencana agung Tuhan yang sangat cerdas. Hanya Tuhanlah yang Maha Agung yang dapat mengucapkan kata kata indah al-Qur’an, mengolah dan menata logika-logika maknanya. Bukan Muhammad, setan atau jin apalagi tukang peramal yang bisa mendisain proyek logika agung al-Qur’an ini, baik dari segi makna, argumen-argumen maupun akrobatika dialektika teksnya. Terlalu berat resikonya kalau Muhammad yang ummi dan cerdas nalar serta akhlaknya membuat proyek Agung al-Qura’n. Apalagi diserahkan pada pemborong al-Qur’an yang tukang KKN dan menyuap dewa-dewa kayangan.
2. Muhammad Sebagai Nabi Penutup.
Dikaitkan dengan kemukjizatan al-Qur’an kehadiran Nabi penutup ini bukan tidak kuat dijadikan argumen. Tidak sedikit orang mencoba mengaku Nabi baik sejak di zaman Nabi hingga zaman modern ini kandas di tengah jalan. Memang pernah ada yang mengaku Nabi tiba-tiba menjulang ke permukaan tapi hanya terasa kilatan apinya saja, setelah itu padam tak berkilat lagi.
Di zaman Nabi ada seorang murtad yang namanya Musailamah al-Kadzdzab mengklaim dirinya sebagai Nabi. Ia bahkan mengaku mendapat wahyu dari Allah SWT dan mencoba menyampaikan wahyunya itu di tengah-tengah masyarakat Arab dengan ayat wahyunya yang cukup menggelikan yaitu;

“Gajah, apakah gajah, tahukah engkau apa gajah?. Dia mempunyai belalai yang panjang dan ekor yang mantap. Itu bukanlah bagian bagian dari ciptaan Tuhan kitra yang kecil”

Kalimat di atas tampak sangat dangkal maknanya dan terasa dibuat-buat. Kata yang digunakannya tidak tepat dengan kata yang biasa dipakai al-Qur’an. Al-Qur’an tidak pernah menggunakan kata wa ma adraka pada hal-hal seperti binatang gajah, kecuali pada hal-hal yang luhur dan sukar hakekatnya dijangkau oleh pemikiran manusia. Karena itu, al-Qur’an tidak menggunakan kata itu kecuali untuk hari kiamat, surga, neraka, bintang tertentu yang gemerlapnya menembus cakrawala, dan perjuangan mendaki menuju hadirat ilahi.[22]
Di zaman modern ini juga pernah muncul klaim kenabian di India bernama Mirza Ghulam Ahmad, namun dalam beberapa penjelasan terdapat penegasan bahwa kenabian Mirza hanyalah sejenis nabi kecil. Nabi yang tidak berpengaruh karena dia tidak mampu menunjukkan kitab sucinya yang benar-benar asli dari Allah SWT. Konon kitab yang dimilikinya hanyalah cuplikan ayat–ayat al-Qur’an yang direkayasa dengan tambahan-tambahan. Kalimat tambahan itu diklaim sebagai seolah-olah wahyu yang diturunkan kepada Mirza Ghulam Ahmad.
Di Amerika yang bernama Joseph Smith, yang oleh para pengikutnya dari Kristen sekte “The Church of Yesus Chirst of Letter Day Saint” (kaum “mormon”) juga dianggap sebagai Nabi. Tapi, ia setaraf dengan levelitas pengakuan Mirza sebagai hanya Nabi kecil. Pengaruhnya tenggelam dalam lautan tak berasin sehingga mati tak menjadi ikan lagi.[23]
Uraian di atas membuktikan bahwa Muhammad sebagai Nabi penutup benar adanya, dan hingga sekarang tidak mungkin lagi muncul nabi baru yang mampu menandinginya. Apapun symbol, perangkat dan instrumen yang dikerahkannya untuk mengaku sebagai Nabi, termasuk Lia Aminuddin baru–baru ini, tampaknya hanya utopia.
Ketidakmampuan ini, menurut Ismail Al-Faruqi,[24] adalah kelemahan arus manusia modern yang tidak mampu menembus dimensi rantai ilahiyah. Ini berarti dibalik manusia modern terdapat kelumpuhan mutlak meniru apa yang secara genuine diciptakan Yang Maha Mutlak, yaitu Allah. Maka bahasa Nabi lewat kitab sucinya tidak lagi bisa dicontoh oleh manusia modern.
Bahasa Nabi dalah bahasa pamungkas bahasa yang tidak bisa dibuka lagi oleh rivalitas keindahan bahasa manusia. Bahasa Nabi SAW. adalah bahasa Al-Qur’an ; bahasa keindahan yaitu bahasa I’jaz; bahasa penutup yang tidak bisa dibuka dan disaingkan lagi oleh bahasa teks biasa. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah SWT. Surat al-Ahzab ayat 40

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

III. Aspek Tadwin
Tadwin adalah upaya menghimpun atau membukukan al-Qur’an yang dilakukan sejak zaman Abu Bakar hinga zaman Usman bin Affan. Penghimpunan yang sangat sederhana sebenarnya telah dilakukan oleh Nabi SAW sendiri dalam lembaran-lembaran tulisan tangan (manuskrip), dan tidak semata dipertaruhkan kepada hafalan para sahabat belaka. Menurut riwayat, Nabi selalu memerintahkan para sahabatnya untuk menulis (mencatat) wahyu yang baru diterima sehingga saat itu terkenal pembukuan dengan nama lembaran-lembaran (shuhuf). Ini diisayaratkan dalam firman Allah surat al-Bayyinah qyqt 2-3 :
“(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Quran),di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus”

Ayat di atas menyebutkan Rasulullah membacakan ayat–ayat al-Qur’an dari lembaran-lembaran suci. Informasi ini menunjukkan bahwa penulisan dan pencatatan wahyu Allah sudah terwujud sejak zaman Nabi SAW sendiri. Betapa pun penulisan (penghimpunan) itu baru sebatas dalam lembaran lembaran yang tidak dibukukan dalam sebuah buku berjilid atau mushhaf, namun penulisan itu dibuatnya dengan lengkap.
Penghimpunan al-Qur’an secara serius (bentuk jilid) baru dimulai atas usul Umar Ibnu Khaththab kepada Khalifah Abu Bakar. Usul ini dilatarbelakangi oleh banyaknya para khuffadz yang gugur dalam pertempuran Yamamah. Sebuah riwayat menuturkan bahwa Umar bin Khaththab menanyakan tentang sebuah ayat dari Kitab Allah. Setelah dijelaskan bahwa ayat tersebut di tangan seseorang yang telah tewas dalam peperangan Yamamah. Umar terkejut seraya berteriak mengucapkan; “innalilahi wa inna lillahi raji’un. Lalu Umar segera memerintahkan agar semua (catatan) ayat al-Qur’an dikumpulkan. [25]
Dalam riwayat itu Umar disebut yang pertama kali mengumpulkan al-Qur’an ke dalam mushhaf. Tapi sesungguhnya yang dimaksudkan adalah gagasan Umar yang diajukan kepada Abu Bakar yang otoritasnya sebagai khalifah. Tiga tokoh pupuler yang sering disebut pengumpul pertama al-Qur’an adalah Abu Bakar, Umar dan Zaid ibn Tsabit. Abu Bakar memanggil Zaid ibn Tsabit atas gagasan cemerlang Umar untuk mengumpulkan al-Qur’an karena banyaknya Khuffad terbunuh dalam perang Yamamah. Zaid pada mulanya menolak karena tidak pernah terjadi di zaman Nabi, tapi demi kemaslahatan kemudian ia melakukannya.
Atas perintah itu Zaid mulai mengumpulkan al-Qur’an dengan menggunakan metode yang sangat teliti ia ambil data-data dari pelepah kurma, tulang pipih dan hafalan Ia tidak akan mencatat ayat al-Qur’an sebelum adanya dua saksi. Meskipun ia hafal al-Qur’an di luar kepala ia tidak akan menulis al-Qur’an sebelum terlebih dahulu melakukan verifikasi data. Salah satu contohnya adalah dalam menggali dua ayat terakhir surat al-bara’ah yang hilang yang kemudian ditemukan di tangan sahabat yang bernama Abu Khuzaimah al-Anshari.
Ketelitian methode Zaid bukan sebatas penyelusur-an data ayat al-Qur’an yang ada di tangan (hafalan) para sahabat atau dua saksi, melainkan dengan sistem cross-check ia meminta kesaksian pada yang mengaku ayat al-Qur’an itu berasal langsung dari Nabi. Meskipun, sebenarnya, Zaid mengetahui bahwa bagian ayat al-Qur’an itu merupakan bagian ayat yang otentik[26] Hasil penelitian zaid ibn Tsabit yang kemudian menjadi bentuk lembaran-lembaran kitab suci itu tetap disimpan pada Abu Bakar. Setelah ia meninggal lembaran itu dipindahkan ke Umar dan setelah Umar meninggal diserahkan kepada anaknya Hafshah (janda Nabi SAW.)[27]
Pada masa pemerintahan Usman bin Affan, pemimpin perang Hudzaifah ibn al-Yaman melaporkan kepada Usman telah terjadi perbedaan di berbagai tempat mengenai bacaan al-Qur’an. Hudzaifah memberi saran kepada Usman segera mengambil tindakan agar tidak terjadi konflik lebih dalam mngenai bacaan al-Qur’an. Khudzaifah tidak ingin perselisihan bacaan kitab suci seperti terjadi pada kitab kaum keristen dan Yahudi.
Usman kemudian mengirim utusan kepada Khafshah untuk meminjam shuhuf (lembaran-lembaran) kitab suci yang ia warisi dari ayahnya Umar, yang berasal dari Abu Bakar. Setelah Hafsah mengirim shuhuf itu kepada Usman, beberapa orang ditunjuk Usman antara lain Zaid, Sa’id ibn al-‘Ash dan Abdullah ibn al-Zubair untuk menyalin shuhuf tadi ke bebrapa naskah. Kemudian Usman berbicara kepada beberapa kelompok islam dari suku Quraisy, “jika kalian berbeda pendapat dengan Zaid, maka tulislah kata-kata dari al-Qur’an itu menurut dialek Quraisy ksrena ia diturunkan dalaam dialek ini”
Setelah tugas penyalinan shuhuf selesai mereka lakukan, Usman mengirim satu naskah ke masing-masing pusat terpenting wilayah kekhalifahan. Ia selanjutnya mengintruksikan agar membakar semua bahan tertulis tentang al-Qur’an baik yang berbentuk lembaran terpisah maupun yang berwujud buku. Upaya tegasnya itu sangat efektif dalam mempersatukan umat tentang perlunya bacaan induk al-Qur’an. Kini induk al-Qur’an itu terkodifikasi--dengan nama Mushhaf Utsmani--tanpa ada lagi orang yang mampu merombaknya.[28]
Uraian di atas mengungkapkan betapa ketelitian para sahabat dalam menghimpun al-Qur’an. Sejak informasi wahyu dari Nabi yang dihimpun dalam bentuk shuhuf sampai berbentuk mushhaf (tadwin), diproses begitu ketat oleh penggalian data dan diperkokoh dengan pelacakan-pelacakan saksi. Informasi akurat oleh Nabi, daya rekam otak para sahabat yang kukuh, daya lacak. Zaid bin Tsabit yang tinggi serta kontrol otoritas dan wibawa para khalifah (Abu Bakar Umar dan Utsman), semuanya itu menggambarkan betapa dahsyatnya ghirah mereka dalam menjaga kalam Allah, al-Qur’an.
Ghirah yang begitu genuine dan tak dapat dipahami akal karena mereka (para sahabat) tak pernah berbelok dari cintanya pada Nabi dan al-Qur’an. Terbukti ketika Nabi Wafat tidak ada seorang pun dari mereka yang murtad. Umar sang penentang Nabi yang dahulunya singa paling serius hendak menerkam Nabi, begitu diberitahu bahwa ada satu ayat al-Qur’an melekat pada otak pahlawan yang terbunuh, ia berteriak histeri dan bangkit menjadi penjaga gawang al-Qur’an.
Demikianlah cara al-Qur’an mencairkan gumpalan besi, meluluhkan batu cadas dan menyemprotkan sinar cahaya cemerlang yang membuat manusia silau dan tunduk pada kemilaunya cahaya al-Qur’an. Begitulah cara kemu’jizatan al-Qur’an menyelusup dan menyelinap meringkus dan mengikis sedikit demi sedikit sang bandit yang berhati kasar menjadi insan pelunak sekaligus pemihak, pengibah dan penyayang umat.
Berkat kemukjizatan yang melekat pada al-Qur’anlah, ia tetap terjaga dan terpelihra hingga kini tanpa ada ayat satu pun yang tercecer, terbuang apalagi dipalsukan. Inilah yang membuat para ilmuwan barat kewalahan menentang keaslian al-Qur’an. Setiap kali mereka menantang kemurnian al-Qur’an, muncul sang pembela al-Qur’an yang lebih tangkas argumentasinya.
Kajian yang cukup serius membuat hampir kita dikafirkan ialah hasil penelitian J. Wansbrough.[29] Ia mengemukakan bahwa al-Qur’an yang ada di tangan kita dewasa ini merupakan konspirasi kaum muslimin yang awal (sekitar dua abad pertama islam). Wansbrough menganalisis permulaan surat al-Isra sama sekali bukan membahas mengenai peristiwa isra Nabi Muhammad SAW. Ayat ini, menurutnya, lebih tepat membahas peristiwa eksodus Nabi Musa dan kaumnya dari Mesir ke Israil, karena ayat–ayat al-Qur’an lainnya yang menggunakan ungkapan asra bi ‘abdihi laylan–atau yang mirip dengannya—kesemuanya mengisahkan eksodus Musa tersebut.
Wansbrough beralasan bahwa bukti eksodus Musa itu sangat jelas pada ayat-ayat berikutnya dikemukakan kisah panjang mengenai Nabi Musa. Dan kaumnya. Adapun ungkapan min al-masjid al-haram ila al-masjid al-aqsha yang mengidentifikasi diri Muhammad sebagai pelaku perjalanan malam, dipandang Wansbrough sebagai tambahan dari masa yang belakangan dengan tujuan “untuk mengakomodasikan episode evengelium islam dalam teks resmi al-Qur’an. Tambahan ini, lanjut, Wansbrough, jelas berada di bawah pengaruh taurat (perjanjian lama).[30]
Pandangan Wansbrugh ini hemat penulis hanya melihat data fisik teks dengan metode analisa yang tidak lengkap. Akibatnya ia tidak memadai dalam memahami struktur organisme ayat. Padahal kalau dianalisis organisme antara ayat akan melahirkan keserasian makna logika ayat. Disinilah Wansbrough lengah dalam menangkap kesan keserasian ayat. Atau istilah ilmu al-Qur’an adalah ilmu taanasub al-ayaat wa as-suwar, yaitu ilmu yang membicarakan tentang pesan dan keserasian antara ayat dengan ayat dan antar surat dengan surat.
Seandainya Wansbrough tidak dangkal dalam memahami ilmu ini, tentu akan mengatakan bahwa kisah Nabi yang disambung oleh ayat berikutnya dengan kisah Nabi musa adalah bentuk keserasian yang indah. Keserasian iu terletak pada penonjolan dua kisah Nabi. Indikasinya terdapat kata subhana dilanjutkan dengan wau athaf. Subhanallah artinya Mahas Suci Allah yang tidak kurang dari profesionalismenya memperjalankan Nabi Muhammad dari masjid al-haram ke masjid al-aqsha terus kelangit. Demikian pula profesionalismenya Allah memperjalankan Musa dari Mesir ke Palestina. Jadi di sinilah letak makna keserasiannya.
Pandangan Wansbrouhg terhadap adanya ulah Nabi Muhammad Saw menjiplak tradisi bibleisme itu dikarenakan kebebalannya Wansbrouhg memahami kondisi Nabi yang ummi. Sebagai sudah dijelaskan dalam bab dua bahwa sarjana barat belum pernah secara spesifik mengalisis kondisi Nabi yang ummi. Mungkin mereka lebih tertarik meneliti dari aspek teks, perjuangan dan gerakannya. Akibatnya mereka tidak memadai menangkap makna ummi sebagai sifat Nabi yang tidak pernah bisa baca dan tulis. Itulah sebabnya Wansbrough berkeras dengan pendapatnya bahwa Nabi telah menjiplak tradisi kitab suci Yahudi dan Nasrani.
Barangkali Wansbrough punya alasan kuat tidak berminat meneliti kondisi Nabi karena ia mahluk tidak empiris (tidak nyata di dunia hari ini). Ia mungkin memandang lebih tertarik meneliti teks karena data fisik yang masih hidup dan menyata di dunia (empiris). Kalau alasanya demikian mengapa dia percaya bahwa Muhammad menjiplak kitab sucinya Yahudi nasrani, padahal ia tidak pernah melihat Nabi Muhammad secara empiris menjiplak kitab suci Yahudi tersebut. Hemat penulis disinilah letak keganjilan metodologinya.
Di bagian lain dalam tulisannya, Wansbrough meyakini adanya konspirasi Nabi Muhammad dengan para sahabatnya dalam menjiplak kalimat atau term-term baqiah dan al-baqiyun dari Perjanjian Lama yang artinya tradisi tersisa. Sebagaimana di dalam al-Qur’an (Q.S 11 : 116 : 26 :120 : 37 :77; 43 :28; 2:248;69 :8;53:51) . Menurutnya hal ini selaras dengan pengertian perjanjian.
Wanbrogh memandang bahwa dengan terma yang dijiplak itu, kaum muslimin awal telah menyusun al-Qur’an dengan tambahan–tambahan di sana sini untuk mngantisipasi tradisi Yahudi. Mushhaf yang ada di tangan kita sekarng ini, menurutnya, penjejeran berbagai “tradisi kaum muslimin yang awal. Pandangan Wansbrough tentang terma baqiah sebagai pemilihan “tradisi tersisa” sebgai cermin doktin Yahudi ini, dibantah degan tegas oleh Fazlul Rahman.[31] Rahman mengatakan bahwa terma baqiun tidak pernah dijumpai di dalam al-Qur’an dan secara grmatikel tidak tepat.
Term ini seharusnya adalah baqun tapi maksud ayat ini bukanlah keturunanannya. Selain itu di dalam al-Qur’an tidak terdapat kata turunan b-q-y yang berarti “sisa-sisa yang masih hidup”. Kata terakhir baqun yang dikemukkan Wansbrough sebagai “tradisi yang tersisa” Yahudi, tidak tepat diartikan demikian . Kata ini lebih tepat diterjemahkan sebagai “orang-orang yang memiliki keunggulan dan kebijakan”. Sebab bila diterjemahkan dengan “orang-orang yang memiliki yang tersisa”, maka, demikin Rahman, terjemahan itu jelas sangat absurd.
Demikian uraian ini menegaskan pada kita suatu keampuhan al-Qur’an. Lewat kodifikasi yang sudah baku atas jasa-jasa Nabi dan para sahabatnya, ternyata mengandung keunikan yang tidak bisa dibedol oleh siapa pun yang mencoba menghilangkan citra kodifikasi al-Qur’an. Inilah kekuatan kodifikasi al-Qur’an, dan inilah pula i’jaz nya (kemukjizatan al-Qur’an) yang hingga kini ditunjukkan oleh kodifikasi yang tiada pernah terkoyak. Ketika di sana ada pencundang yang menciderai al-Qur’an, maka di sebelah sini tampil sang pembela yang menjaga keotentikannya. Bahkan sang pembela bukan saja dari ahli muslim semacam Fazlu Rahman, tetapi juga muncul dari pena-pena sekuler seperti Farnz Rosenthal[32], Thomas W, Arnold, Michel Hart, Robert N. Bella, Issa J. Bouletta dan lain-lain.
Kemukjizatan lain al-Qur’an atas kodifikasi adalah tidak pernah menyurutnnya konsistensi ragam komunitas Islam dalam meyakini keaslian kodifikasi al-Qur’an. Komunitas Sunni dan Syi’ah adalah bukti kedua aliran yang masih tetap berpegang teguh kepada kodifikasi final, yaitu Rasam Ustmani. Syi’ah yang notabenenya tidak mengakui otoritas Utsman sebagai Khulafaur Rasyidin kini masih tetap mendukung Mushhaf Rasam Ustmani sebagai hasil kodifikasi yang otentik. Bukankah ini bukti I’jaz al-Qur’an dari aspek kodifikasi. Bahkan Ahmadiyyah yang dipandang aliran sesat kini dalam kitab sucinya masih tetap mencuplik ayat al-Qur’an walau dengan karir pelagiatnya. Al-Qur’an surat al-Hijr ayat 9 telah membuktikannya.
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”

IV. Kesimpulan
Al-Qur’an sebagai kalam Allah telah terjaga kemukjizatannya sejalan dengan pengakuan al-Qur’an sendiri. Ia kalam yang telah membuktikan dirinya menghadapi segala denyut tantangan masyarakat yang tidak puas dengan kehadirannya. Tetapi ia bukan kalam ambisius melainkan kalam bijak yang mengatasi dan menahadapi ambisi penantang para pelawannya. Kalam mukjizatnya tidak sporadis, ia menantang lawannya yang mengajak bertanding dengan cara berangsur. Pertama ia menantang dengan satu surat, kedua dengan dengan dua butir surat dan ketiga dengan sepuluh surat. Tahap satu dengan cara minus, para penantang terdiam. Tahap kedua dengan cara midle, para penantang kebingungan, dan pada tahap paling top yaitu dengan sepuluh surat, para penantang pun mati kebelinger tak mampu lagi menandinginya.
Kemukjitan al-Qur’an tidak cukup dengan pengakuan normative belaka. Ia pun menyodorkan figure empiris yaitu sang penerima awal al-Qur’an dalam sosok nabi yang ummi. Nabi yang tidak mampu tulis baca tapi nabi yang cerdas sekaligus senjata pamungkas dalam memerangi para penuduh yang memandang Nabi sebagai penjiplak dan pembuat al-Qur’an. Kecerdasannya merupakan cahaya yang menerangi gurun sahara yang kejam dan terbelakang.
Muhammad Saw hadir sebagai cahaya yang menyedot dan mengairi hati dan kapala para tokoh gurun sahara . Umar yang begitu gersang hatinya menjadi teduh melembuti Nabi sang Ummi. Abu Sufyan yang kepalanya botak gersang menjadi rimbun dengan rambut kesayangannya. Kehadirannya mengundang banyak hujatan yang memaki tapi juga banyak yang yang memuji. Segudang pujaan padanya muncul dari pena-pena sekuler seperti Thomas w. Arnold yang mengagumi cara da’wah nabi, Robert N. Bella yang bangga dengan etos tawhidnya Nabi yang demokratis dan Maichel Hart yang mengalem kedahsyatan pengaruhnya Nabi di dunia.
Kemukjijatan yang paling empiris adalah kekuatan dan keterpeliharaan kodifikasi al-Qur’an. Sungguh telah membuktikan bahwa al-Qur’an hingga kini tidak ada yang tercabik ayatnya, tidak ada yang tertukar suratnya. Dari dulu hingga kini tetap tidak berubah; rapih dan tertata. Ia tetap tertutup dengan emas pencerahan meskipun dihujat dan diinjak atau disimpan dalam kastok. Ia masih tetap menyemburkan cahaya ke alun-alun dunia, dan memikat awan para intelektual yang ikut menderaskan hujan pengamalannya. Tentu dari sinilah kita harus terus menangkap deras cinta al-Qur’an untuk bersama-sama dengan sekuat tekad pengamalan dan tenaga penjagaanya. Bukan membiarkannya di kastok atau menjualnya kepada para konsumen murahan yang banyak fulusnya tapi dangkal ketulusannya.
Kemukjizanan al-Qur’an ini tidak terletak pada keindahan dan kekutan di atas, tetapi yang lebih penting adalah pengagalian kandungan dari berbagai bidang baik rohani maupun ilmu pengetahuan. Dengan demikian al-Qur’an akan benar-benar dijadikan pedoman kehidupan dan landasan idiologi yang terus bersumber dan tiada pernah kekeringan. Tidak sedikit sesungguhnya isyarah-isyarah ilmiah yang akan menjadi pembangkit umat manusia dalam membangun peradaban di dunia.
Akhirnya dalam kesempatan yang terhormat ini, izinkan kami mengucapkan terimakasih kepada Senat IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten yang telah menyetujui dan mengusulkan saya sebagai Guru Besar Madya pada Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN “SMH” Banten. Saya juga mengucapkan terimakasih kepada Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama dan Menteri Agama yang telah berkenan meneruskan usul tersebut kepada Menteri Pendidikan Nasional RI untuk penetapannya. Kepada yang disebut terakhir juga, kami mengucapkan terima kasih.
Kami ucapkan terima kasih juga kepada Bapak Rektor IAIN “SMH” Banten Bapak Prof. Dr. M.A. Tihami selaku pimpinan dan sekaligus orang tua kami yang telah selalu memberikan dorongan, perhatian, bantuan berupa moral dan material. Demikian juga kepada Bapak Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah yang telah ikut memperlancar usulan kami., kepada Para Guru Besar IAIN “SMH” Banten Bapak Prof. K.H. Wahab Afif, M.A, Bapak Prof. Somad Jawawi, M.Ag. Bapak Prof. Dr. H.M. Yunus Ghozali, dan Bapak Prof Dr. H. Suparman, S.H, sebagai tuan guru dan sesepuh kami yang telah menanamkan keteladanan dan dorongan yang sangat berharga bagi kami.
Tak lupa juga kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Prof Dr. Azyumardi, M.A, Rektor UIN Syahid Jakarta, Prof. Dr. Quraish Shihab, M.A, Bapak Prof. Dr. Said Agil Munawar, MA, Bapak Prof Dr. Komaruddin Hidayat, Bapak Prof Dr. Nasaruddin Umar, Bapak Prof. Dr Tibraya, Bapak Prof Dr. Suwito, Bapak Prof. Dr. Atho Muzhar dan Ibu Prof. Dr. Chuzaemah T. Yanggo, yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada kami selama meyelesaikan disertasi dan usulan guru besar. Demikian juga kami ucapka terimakasih kepada Bapak Ir. H. Akbar Tanjung, dan al-Marhum Bapak Ekki Syachrudin yang telah membantu kami baik moral maupun material. Kepada guru-guru kami, para kiyai yaitu Bapak K.H. Zainul Asyikin, Bapak K.H. Abdul Muin, Bapak K.H. Hamni, Bapak K.H. Sofwani, Bapak K.H. Abdul Aziz, Bapak K.H. Burhanuddin dan bapak K.H. Wardi juga kami ucapkan terimakasih atas segala bimbingannya.
Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan juga kami tujukan kepada semua pihak yang telah membantu perjalanan hidup kami, khususnya para guru kami, di Sekolah Dasar, Madrasah Ibtidaiyyah, Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, PGAN 6 tahun Serang dan seluruh dosen-dosen kami selama di Perguruan Tinggi (IAIN Serang dan UIN Jakarta). Kepada Karyawan IAIN. Panitia dan mahasiswa kami juga ucapkan terima kasih atas segala partisipasinya.
Kemudian kepada isteri tersayang, Dra. Fatimah binti H.A. Nachrawi Abbas, kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesabaran dan dorongannya. Kepada anak tercinta kami Alfi Syahriyani, Muhammad Wildan Al-Farabi dan Wilda Risni yang telah memberikan semangat dan perhatiannya.
Kepada semua keluarga besar kami dari Kalapa dua, Sumur pecung, Cilegon dan kawan kawan kami yang tidak bisa disebut namanya, kami juga mengucapkan terimakasih atas perhatian, do’a dan dorongannya. Terakhir, Khusus kepada kedua orang tua kami yang tercita, ayahanda Bapak K.H. Moh Rafei bin K.H. Nawawi (almarhum), dan kepada Ibu Hj. Ummu Kulsum (almarhumah) yang tiada putus-putusnya memberikan pendidikan dan kasih sayangnya, sehingga menjadi salah satu sumber motivasi perjuangan dalam kehidupan, demikian pula kepada Bapak dan Ibu mertua Bapak H. A. Nachrawi bin H. Abbas (almarhum) dan Ibu Hajjah Nafsiah binti Abdul Haq, kami haturkan rasa terima kasih yang mendalam dan penghargaan kami yang tinggi tiada tara.
Akhirnya kepada semua yang kami sebutkan di atas, kami do’akan semoga segala budi baik yang telah mereka berikan dan amal shaleh yang telah mereka lakukan, mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin Ya Rabbal alamin.
[1] Imam Qadhi Abi Bakr Al-Baqilani, dalam Jalaluddin Assuyuthi catatan pinggir al-Itqan fi ulum al-Quran ( t.t.:Dar al-Fikr, t.th.), h. 55-56.
[2] William Muir, The Life of Muhammad (Ediinburgh: Jhon Grant, 1923), h. xxviii.
[3]Apabila pihak yang ditantang berhasil melakukan hal serupa ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi di sini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh orang-orang yang ditantang .Al-Qur’an digunakan Nabi SAW untuk menentang orang-orang pada masa beliau dan generasi sesudahnya yang tidak percaya akan kebenaran al-Qur’an. Lihat M.Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qu’ran (Bandung:Mizan, 1997), h. 259 : lihat pula Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Quran ( ttp.: Mansyurat al-ashr al-Hadits , 1973 ), h. 259.
[4]W.M. Watt dan R. Bell, Islamic surveys : Introduction to the Qur’an, (Edinburgh: University Press , 1991), h. 43-44.
[5]Nashir Hamid adalah seorang pemikir kontemporer berasal dari Mesir yang menekuni bidang linguistik. Sejak kecil ia rajin menulis dan menghafal al-Qur’an. Ia aktif dalam gerakan Ikhwan al-Muslimun. Namun karena pemikirannya dipandang liberal ia lebih nyaman untuk tinggal di Belanda. Lihat Moch Nur Ichwan, Meretas Keserjanaan Keritis Al-Qur’an : Teori Hermeneutika Nashir Abu Zayd, (Jakarta: Taraju, 2003), h. 15-16. Selanjutya lihat ; Nashir Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash Dirasat fi ‘Ulum al-Quran, (Beirut :Al–Markaz Ats-Tsaqafi al -‘Arabi, 1998), h. 24.
[6]Luwis Ma’luf, al-Munjid ( Beirut: Mathba’at al-Kastulikiyyat, t.th) h. 256.
[7]Raghib al-Asfihani, Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th. ), h.334.
[8]Muhammad Abd Azhim az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, ( t.tp : Isa al-Babi al-Halani, t.th ), h.72.
[9] Jalaluddin As-suyuthi, Op.Cit., h.ll6.
[10] M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an : Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, ( Mizan ; Jakarta, 1997), h. 36-37.
[11] I b i d., h. 37.
[12]Manna’ al-Qaththan, Op.Cit., h.379.
[13]Muhammad Ali-Ash-Shabuni, .At-Tibyan fi Ulum al-Qur’an, (Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1390 ), h. 105.
[14] Pada setiap ada kematian di zaman jahiliyyah Khadijah pergi menghadap berhala. kepada berhala ia menanyakan mengapa tidak melimpahkan kasih sayang sehingga membuat diri Khadijah ditimpa kemalangan dan kesedihan karena kematian anaknya. Rasa sedih demikian dirasakan juga oleh Muhammad sebagai suaminya. Khadijah kemudian membuat sesajen yang diberikan kepada berhala-berhala yang ada dalam ka’bah. Ia juga menyembelih hewan buat Hubal, ‘Uzza dan Mannat. Ketiga berhala tersebut merupakan sembahan arab Pagan. Hubal berhala terbesar yang tinggal dalam kabah dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia. Lihat Muhammad Husain Haekal, Fi manzil al-wahy (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1979.) , h. 125: selanjtnya lihat Haekal, Hayat an-Nabi, alih bahasa Ali Audah, ( Jakarta :Tinta Ma, 1984 ), h.82.
[15]I b id., h. 86.
[16] Nashir Hamid Abu Zaid, Op.Cit., h.59.
[17] Raghib Al-Ashfihani, Op.Cit., hal. 19.
[18] Nashir Hamid Abu Zaid, Loc.Cit.
[19]Quraish Shihab, Tafsir al-Amanah, ( t.tp ; Pustaka Kartini, i992), h. 17.
[20]Taufik Adnan Amal dan Syamsul Rizal Panggabean, Tafsir Kontektual Al-Qur’an Sebuah Kerangka Konseptual, (Bandung ; Mizan, 1990), h.65.
[21] Fazlur Rahman, Islam Second Edition, (Chicago And London, ; Universit of Chicago Press, 1979), 13.
[22]Quraish Shihab, Op-Cit, h. 270
[23] Nurcholish Madjid, Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam sejarah, (Jakarta: Yayasan Paramadina , 1994 ), h. 525.
[24]Penyair dan ahli sastra dari seluruh Arabia diminta mememenuhi tantangan untuk melawan keindahan bahasa al-Qur’an. Mereka dijanjikan hadiah besar. Salah seorang dari mereka Al-Walid bin Al-Mughirah. Ia mendengarkan al-Qur’an yang dibaca oleh Nabi dan ia terpukau dengan bacaannya itu. Abu Jahal pemimpin Mekkah mendekatinya untuk mengadakan perlawanan dan menjanjikan kekayaannya. Al-Walid mendengar al-Qur’an itu lalu berkata; “Akulah ahli syair dan sastra pertama di Arabia, dan aku berbicara dengan otoritas yang jelas. Al-Qur’an ini bukan karya manusia, bukan pula karya jin. Al-Qur’an memiliki keindahan yang istimewa dan nada yang istimewa. Al walid lalu ditekan Abu Jahal sehingga ia berkata; al-Qur’an luar biasa, ia tetap karya manusia, karya sihir bukan karya Tuhan, namun tak dapat ditiru seperti yang dikatakan Nabi. Tidak puas dengan itu, para penyair pun menantang lagi dengan membawakan karyanya lagi, namun dinyatakan gagal tidak mampu lagi melawan keindahan bahasa al-Qur’an.. Lihat Ismail R. Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam : Menjelajah Khazanah Peradaban Islam, alih bahasa ; Ilyas Hasan, ( t.tp ; Mizan, 2001.), h.140-l4l.
[25] Abu bakar ‘Abd Allah ibn Abi Dawud, Kitab al-Mashahif, ( Kairo, :t.p. , 1936), h. 10.
[26] Ibnu hajar al-‘Asy qalani, Fath al-Bari (13 jilid), ( Kairo : t.p, 1939), jilid 9, h.11.
[27] I b i d., h. 9.
[28] I b i d. , h. 13.
[29] J. Wansbrough, Quranic Studies Sources and methods of scriptural interpretation, ( London : Oxford University Press, ), h. 68.
[30] I b i d., h. 68.
[31] Fazlu Rahman, Mayor Themes of the Qur’an, ( Chicago & Minneapolis ; Bibliotheca Islamica , 198o), h.125.
[32]Franz Rosenthal mengemukakan bahwa meskipun kajian-kajian penyudutan kepada Muhammad dan al-Qur’annya berhasil menemukan bukti yang meyakinkan mengenai pengaruh asing terhadap formasi spiritual dan intelektual Muhammad, namun upaya-upaya tersebut tidak mungkin menjelaskan secara memuaskan keberhasilannya(Yakni Muhammad) dalam menciptakan sesuatu dan mentransformasikannya dalam suatu kekuatan abadi seluruh umat manusia. Kajian semavam ini hanya menyetuh kulit luar dan tidak pernah mencapai intinya. Lihst pengsntsr F. Rosenthal dalam karya C.C. Torrey, Jewish Foundation, h. Xvii.